MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Mujtama’at
al-Arabiyah
Dosen Pengampu:
M. Anwar Mas’adi M.A.
Disusun Oleh:
Faisal Akbar (10310028)
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS
HUMANIORA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sastra adalah
penggunaan bahasa yang diungkapakan dengan indah penuh makna dan berguna yang
menandakan hal-hal lain sehingga mengahasilkan efek ‘asing’ (deoutomatisasi)
dalam penerapannya (Yoseph Yapi Taum, 1997:13). Dalam bahasa Arab sampai
sekarang tidak sebuah kata yang artinya bertepatan dengan sastra, kata yang
paling dekat barangkali adalah kata adab (أدب ). Dalam arti
sempit, adab berarti belles-letters atau susastra, tetapi sekaligus juga
berarti kebudayaan ( civilization ) atau dalam kata Arab lain tamaddun
(A.Muzakki, 2011: 22).
Dalam perjalanan sejarahnya, sastra Arab
tidak timbul sekaligus dalam bentuknya yang sempurna. Akan tetapi sastra Arab
mengalami perkembangan-perkembangannya secara sedikit demi sedikit dengan
adanya inovasi-inovasi dalam setiap fase perkembangan yang dilaluinya. Adapun
fase sejarah perkembangan sastra Arab dibagi menjadi masa jahiliyah, masa shadr
al-Islam,Umawiyah,
Abbasiyyah, Turki Usmani dan masa modern.
Sebagaimana diketahui bahwa bahasa dan sastra Arab pernah mengalami
kevakuman atau tidak mengalami perkembangan yang signifikan pada masa Turki
Usmani menguasai kawasan Arab dan sebagian besar dunia Islam lainnya. Bahkan
bisa dikatakan pengetahuan dan keilmuan bangsa Arab jauh lebih terpuruk
ketimbang bangsa Eropa ketika itu. Fase modern dalam sejarah sastra Arab telah
menjawab keterpurukan tersebut, dan ini menjadi titik terang dalam sejarah
lahirnya kebangkitan sastra Arab di
jazairah pada masa itu.
Permulaan
fase modern dalam sejarah sastra Arab dimulai sejak pemerintahan Muhammad Ali
di Mesir setelah hengkangnya Prancis yang cukup lama menganeksasi negeri
piramida ini pada tahun 1801 atau sering disebut masa kebangkitan sastra Arab.
Meskipun secara umum tujuan penggubahan puisi pada masa ini masih sama seperti
pada masa-masa sebelumnya yang masih berkaitan dengan pujian, membangkitkan
semangat, kebanggaan, perumpamaan-perumpamaan dan mensifati sesuatu. Akan
tetapi, pada masa ini secara berangsur-angsur tema-tema yang sudah mendarah
daging dalam sastra Arab mulai ditinggalkan dan para sastrawan Arab mulai
beralih pada tema-tema yang aktual dan relevan dengan kondisi terkini, seperti
nasionalisme, humanisme, persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa Arab akibat
adanya imperialisme yang membuat bentuk puisi Arab pun berubah menjadi bentuk
mursal dan cenderung bebas.
Sesuai judul
makalah tersebut kami hanya memaparkan interaksi sastra atau percampuran sastra
Arab Modern di Jazirah Arab yang mana dari sini kami akan menjelaskan lebih
jauh dan lebih detail tentang sejarah kemunculan sastra Arab pada masa
kebangkitan serta perkembangan genre, aliran-aliran dan tema-tema sastra Arab
modern pada masa kebangkitan.
1.2 Rumusan
Masalah
Sesuai
dengan deskripsi singkat dalam latar belakang di atas, dapat ditegaskan dalam
makalah ini rumusan masalahnya sebagaimana berikut :
1.
Bagaimana sejarah lahirnya kebangkitan sastra Arab modern
?
2.
Bagaimana perkembangan genre sastra Arab modern?
1.3 Tujuan Masalah
Sesuai
dengan rumusan masalah yang tersebut di atas, maka tujuan dalam makalah ini
adalah :
1. Mengetahui sejarah
lahirnya kebangkitan sastra Arab modern.
2.
Mengetahui perkembangan genre sastra Arab modern.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Sejarah Lahirnya Sastra Arab Modern
Tahun 1798 adalah saat Napoleon
Bonaparte menginjakkan kaki di Mesir.Tahun itu sangat bersejarah. Bernard Lewis
menyebutnya sebagai a watershed in history dan the first shock to Islamic
complacency, the first impulse to westernization and reform (Lewis1964:34).
Para ahli sejarah sepakat, kedatangan Bonaparte di Mesir merupakan tonggak
penting bagi kaum Muslim dan juga bagi bangsa Eropa. Bagi kaum Muslim,
kedatangan itu membuka mata betapa tentara Eropa yang modern mampu menaklukkan
dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan itu menyadarkan
betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu berjaya dan
sulit ditaklukkan.
Ditubuh militer Turki terdapat
seorang yang berperan besar dalam mengusir Napoleon Bonaperte dari Mesir, yaitu
seorang pejabat yang lahir di Macedonia bernama Muhammad Ali. Porte Agung di
Turki mengangkatnya sebagai Pasya Mesir pada tahun 1805, dan dia menjadikan
dirinya sebagai penguasa baru lembah sungai Nil, yang secara nominal berada
dibawah kekuasaan Porte. Sejarah Mesir pada paruh pertama abad ke-19 sebenarnya
adalah sejarah tentang satu orang ini (Phillip Hitti,2002:925).
Para pembaharu awal seperti
al-Tahtawi, al-Tunisi, dan al-Kawakibi menyadari betul kondisi kaum Muslim yang
terbelakang adalah ironis, peradaban yang pada masa silam memiliki sejarah
gemilang dan kitab sucinya mewartakan “umat terbaik di dunia” (khayru ummatin
ukhrijat linnas) berada pada titik nadir peradaban. Bukan hanya berada dalam
keterbelakangan, mereka juga dalam penjajahan bangsa lain. Mesti ada satu sebab
utama mengapa kaum Muslim terbelakang dan mengapa bangsa Eropa maju?
Rifa’a al-Tahtawi (1801-1873)
adalah salah satu tokoh pembaharu pertama yang mencoba menjawab pertanyaan itu.
Menurut al-Tahtawi, kunci pertanyaan itu adalah “kebebasan” (hurriyyah). Bangsa
Eropa maju karena memiliki kebebasan. Temuan sains dan teknologi di Eropa sejak
abad ke-16 didorong oleh suasana kebebasan dalam masyarakat itu. Tahtawi
menganggap kebebasan bukan hanya kunci bagi kebahagiaan, tapi juga bagi
keamanan dan kesejahteraan.
Menurut Al-Tahtawi, salah satu
jalan untuk kesejahteraan adalah berpegang pada agama dan budi pekerti yang
baik. Untuk itu pendidikan perlu ditingkatkan. Pendidikan dasar mesti bersifat
Universal dan sama bentuknya untuk segala golongan. Didikan tengah mesti
mempunyai kualitas tinggi. Karena ia berpikir bahwa tujuan pendidikan bukanlah
hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi terutama untuk membentuk rasa
kepribadian dan untuk menanamkan rasa patriotisme.
Patriotisme adalah dasar yang kuat
untuk mendorong orang mendirikan suatu masyarakat yang mempunyai peradaban.
Al-Tahtawi adalah orang Mesir yang pertama sekali menganjurkan patriotisme,
faham bahwa seluruh dunia islam adalah tanah air tiap orang muslim telah mulai
berubah tekanannya. Tanah air sekarang ditekankan artinya pada tanah tumpah
darah seseorang dan bukan seluruh dunia islam. Jadi ada dua persaudaraan,
persaudaraan islam dan persaudaraan setanah air. Mana yang lebih penting di
antara keduanya ini bagi Al-Tahtawi tidak jelas.
Semua ini adalah konsep baru bagi
dunia islam di zaman Al-tahtawi. Persaudaraan yang di kenal orang adalah
persaudaraan ke-Islaman, dan tanah air adalah seluruh Negara islam dan sejarah
adalah sejarah Islam. Dalam konsep baru ini terdapat benih Nasionalisme. Karena
rasa patriotisme yang dimiliki inilah maka kami menganggap perlu untuk membuat
makalah yang menjabarkan tentang riwayat Rifa’ah Tahtawi, khususnya pemikiran
dan karyanya yang berisikan tentang patriotisme.
Setelah beberapa kawasan Arab,
seperti Mesir, diambil alih oleh Prancis yang memperkenalkan beragam
perlengkapan modern seperti peralatan cetak serta model-model bahasa dan sastra
yang baru maka lambat laun sastra Arab kembali menggeliat. Perkembangan sastra
Arab mengalami perkembangan yang signifikan setelah hengkang Prancis dari bumi
piramida pada tahun 1801 dan disusul dengan naiknya Muhammad Ali sebagai
penguasa Mesir. Karena perhatian Ali yang cukup besar terhadap ilmu
pengetahuan, maka ia mengirimkan duta-duta Mesir untuk menimba beragam
ilmu pengetahuan di berbagai negara Eropa seperti Prancis, Inggris dan Italia.
Sekembalinya para pelajar tersebut ke Mesir, maka dimulailah beragam inovasi
terhadap aneka ilmu pengetahuan yang termasuk di dalamnya sastra Arab. Dari
sini geliat kebangkitan sastra Arab semakin menampakkan eksistensinya yang
merupakan perpaduan dari proses panjang asimilasi dengan berbagai kebudayaan
seperti Prancis dan Inggris (assimilation), penerjemahan beragam karya asing
(translation), peniruan berbagai naskah asing (imitation) yang dilakukan oleh
beragam pihak yang berkecimpung dalam dunia sastra Arab.
Peristiwa-peristiwa yang
diperkenalkan oleh Perancis tersebut dimanfaatkan betul oleh Muhammad Ali,
sehingga beliau memberikan sumbangsi berupa pembuatan suatu majalah harian di
Mesir dengan memanfaatkan mesin cetak yang telah diperkenalkan perancis yang
berjudul “al-Waqa’ al-Mishriy” peristiwa-peristiwa Mesir.
Sejarah sastra Arab kemudian
mencatat orang-orang seperti al-Barudi, Ahmad Syauqi dan Hafidz Ibrahim sebagai
orang-orang pertama yang memperkenalkan inovasi-inovasi dalam sastra Arab. Tokoh-tokoh
ini kemudian disebut sebagai pengusung aliran pertama dalam sastra Arab modern
yang dikenal dengan nama Neo-Klasik. Kemunculan aliran ini menandai dimulainya
sastra Arab berada dalam fase modernnya karena adanya beragam pengaruh dari
luar sebagai hasil interaksi dengan banyak budaya dan tradisi, baik yang datang
secara langsung karena penjajahan maupun yang dibawa oleh para duta Mesir yang
menimba ilmu pengetahuan di Eropa.
2.2 Genre Sastra
Arab Modern
Sastra adalah bagian dari
entitas budaya yang wujudnya tercermin dalam karya –karya sastra, sastra Arab
pada masa ini mendapatkan pengaruh besar terhadap sastra Barat terutama
di Eropa. Pengaruh inilah yang nantinya akan mempengaruhi genre sastra arab
modern. Secara garis besar, kesusastraan Arab di bagi menjadi dua bagian, yaitu
prosa (an-Natsr) dan puisi (syi’r). Perkembangan puisi pada masa
ini, secara bertahap, mendapat pengaruh dari Eropa Baru. Keterpengaruhan sastra
arab oleh sastra Eropa dan sebaliknya bukanlah suatu keterpurukan, justru
menjadi fenomena yang indah dalam fora pergaulan sastra dunia, yang pada
gilirannya melahirkan karya-karya sastra yang bermutu.
2.2.1 Drama
Sastra Arab baru mengenal genre drama pada masa
modern. Mereka mengambil genre tersebut dari Barat. Dalam perkembangan berikutnya,
seni drama di dalam sastra Arab adalah melalui empat fase (http://riungsastra.wordpress.com/2010/10/16/kritik-sastra-pada-masa-modern-2/):
- fase Marun
Nuqas al-Lubnani yang meresepsi seni drama ini dari Italia. Dalam karya dramanya
berjudul al-Bakhil karya Muller. Kemudian diikuti pula oleh karya-karya
drama yang lain seperti Harun al-Rasyid (1850). Karya dramanya yang
bersifat jenaka musikal lebih dapat dikatakan sebagai seni operet yang
begitu memperhatikan aspek musikalitas dari pada dialoq. Karya-karya
dramanya dapat dicerna oleh cita rasa awam, hanya saja karya ini ditulis
dengan menggunakan bahasa campuran antara fusha, ami, dan
Turki dalam gaya longgar (tidak baku).
- fase Abu
Khalil al-Qubbani di Damaskus yang memajukan seni drama dengan menampilkan banyak
sekali kriteria-kriterianya serta bercita rasa dapat dinikmati oleh awam
dengan cara memilih drama-drama kerakyatan seperti alfu laylah. Dialognya
menggunakan bahsa fusha berupa campuran antara puisi dan
prosa yang kadang-kadang mempertimbangkan juga sisi persajakan. Ia terus
menghasilkan karya-karya drama di Damskus antara 1878-1884. Sayangnya,
beberapa saat setelah itu panggung dramanya ditutup dia pun lalu hijrah ke
Mesir dan tetap menulis karya drama.
- fase Yakkub
Sannu’. Pada
masa pemerintahan Ismail Basha yang pada saat itu dibangun gedung
pertunjukan di mana disitu ditampilkan opera “Aida’ dengan menggunakan
bahasa Perancis, dipentaskan pada pembukaan terusan Suez tahun 1869. Pada
tahun 1876 muncul tokoh Mesir dalam bidang drama yang bernama Sannu’,
populer dengan nama Abu Nazarah. Ia cenderung mengkritisi sosial politik
dengan menggunakan bahasa ammi. Kelompok-kelompok penulis
Siria dan Mesir melanjutkan penulisan karya drama di Mesir.
- fase
perkembangan pada awal abad 20. Hingga pada tahap ini, banyak drama di Mesir
merupakan hasil terjemahan atau resepsi, sebagian diantaranya
diterangkan ini. Fase pertama 1910, George
Abyad pulang dari Perancis setelah di sana mempelajari prinsip-prinsip
seni drama, lalu dibuatkan karya drama sosial antara lain berjudul Misr
al-Jadidah tulisan Farh Anton, juga dibantu oleh Khalil Mutron
dalam menerjemahkan beberapa novel Shakespeare seperti Tajir
al-Bunduqiyah,Athil, Macbat, dan Hamlet. Fase
kedua, adalah Yusuf Wahbi mendirikan kelompok ramsis yang
memperhatikan tragedi. Ketua kelompok ini telah menulis kurang lebih 200
drama. muncul pula kelompok Najib al-Raihani yang memiliki kecenderungan
drama komedi kritik sosial. Fase ketiga, pasca perang
dunia pertama. Di dalam dunia drama muncul aliran Mesir Baru (madrasah
al-Misriyah al-Jadidah) yang begitu perhatian terhadap karya drama.
Memberikan sentuhan pada probelatika sosial serta cara-cara mengatasinya
dengan pasti. Di antara tokohnya adalah Muhammad dan Mahmud Taymur. Fase
keempat, mucullah penulis drama Arab modern terbesar Taufiq
el-Hakim yang berhasil menuntaskan studi atas prinsip pokok drama di
Perancis. Ia menulis lebih dari 60 judul karya drama lengkap dengan
struktur dan temanya, demikian pula dialog dan penokohannya. Taufiq begitu
ambisius untuk dapat menyertai gerakan perkembanga modern dalam dunia
drama. Oleh karena itu, tampak terus mengikuti perkembanga draman barat
beserta kecenderungannya. Tidak heran, bila ia dapat berpindah-pindah tema
dari drama sejarah ke drama sosial, lalu drama ideologis yang
menyelesaikan problema mentalitas. Setelah di dunia Barat muncul drama
absurd, ia pun juga melakukan hal yang sama berjudul, Ya Tali’ Syajarah,
dan Ta’am Likulli Famm.
2.2.2 Puisi
Pada masa kebangkitan ini, puisi banyak dipengaruh
dari Eropa Baru, meskipun perubahannya mendapatkan tantangan dari para
Tradisionalis yang ingin tetap menjaga tradisi klasik yaitu adanya monoritme.
Selain tema-tema baru yang berbicara tentang nasionalime yang menyuarakan
tentang Pan Arabisme dan Pan Islamisme, puisi pada masa ini dimulai dengan
ekspresi-ekspresi mengenai politik, social, dan budaya.(Ahmad Muzakki,
2011:132).
Puisi-puisi Arab modern sudah banyak yang tidak
terikat lagi pada gaya lama yang memiliki banyak aturan. Meskipun sudah tidak
terikat oleh gaya lama, ada beberapa penyair yang masih bertahan dengan
menggunakan gaya lama mereka. Beberapa pengamat menganggapnya banyak
terpengaruh oleh romantisme Perancis abad ke-19, terutama Lamartine (Nahrub
Difan, 2012).
Pada masa modern, perkembangan puisi Arab dapat dibedakan
menjadi tiga aliran, meskipun waktunya tidak dapat ditentukan secara jelas,
yaitu ( http://nafidba.wordpress.com/2012/05/09/puisi-arab-pada-masa-modern/):
1. Aliran al-Muhafidzun, yaitu aliran yang masih
memelihara kaidah puisi Arab secara kuat, misalnya keharusan menggunakan wazan
(pola) dan qafiyah (rima), jumlah katanya sangat banyak, uslub-nya kuat (gaya
atau cara seseorang mengungkapkan dirinya dalam tulisan), tema-temanya masih
mengikuti tema-tema masa sebelumnya, seperti madah (pujian-pujian), ritsa
(ratapan), ghazal (percintaan), fakhr (membanggakan diri atau kelompok), dan
adanya perpindahan dari satu topik ke topik yang lain dalam satu qasidah (ode).
Para sastrawan atau penyair yang masuk ke dalam kategori aliran ini di
antaranya adalah Mahmud Sami al-Barudi, Ahmad Syauqi, Hafidz Ibrahim, dan
Ma’ruf ar-Rusafi.
2.Aliran al-Mujaddidun, yaitu aliran yang muncul karena adanya perubahan
situasi politik, sosial, dan pemikiran, adanya keinginan untuk lepas dari
hal-hal yang berbau tradisional, adanya pengaruh aliran romantik dari
sastrawan-sastrawan Barat, adanya penelitian-penelitian modern tentang jiwa,
yang menjadikan sastra, khususnya puisi sebagai sarana untuk mengungkapkan
perasaan jiwa dan realita dalam masyarakat. Di antara para sastrawan yang masuk
ke dalam aliran ini adalah Khalil Mutran, Abbas al-Aqqad, Abdurrahman Syukri,
Ibrahim Abdul Qadir al-Mazini, al-Tijani Yusuf Basyir, Abu al-Qasim asy-Syabiy,
dan tahir Zamakhsari.
Dalam aliran ini terdapat adanya pembaharuan dalam
topiknya, khususnya dalam hal yang menyangkut tentang masyarakat dan kehidupan,
serta kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Adanya pembaharuan dalam
deskripsi dan majaz-nya, adanya pengaruh aliran simbolis dalam kesusastraan
Arab, di mana para sastrawan atau penyair menggunakan simbol-simbol sebagai
sarana pengungkapan perasaan dan pikiran mereka.
4.
Aliran al-Mughaaliinu, yaitu aliran yang mengikuti aliran sastra yang ada
di Eropa setelah Perang Dunia I. Karena itulah, aliran ini sangat terikat pada
situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, serta pemikiran yang ada pada
masyarakat Eropa. Di dunia Arab, pengaruh ini tidak hanya terdapat dalam
satu masa saja, tetapi juga berlanjut dari satu masa ke masa sesudahnya.
Ciri-ciri aliran ini adalah tidak vokal, tapi menggunakan cara-cara yang
pelan-pelan, didominasi oleh deskripsi, tapi ide dan deskripsinya terkadang
tidak jelas. Di antara sastrawan yang termasuk dalam aliran ini adalah Ibrahim
Naji, Badr Syakir Sayyab, Muhammad Mishbah al-Fituri, Mahmud Darwisy, dan Abdul
Wahab al-Bayati
Pada masa
modern, puisi dari sisi temanya dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu (A.
Muzakki, 2011: 132):
- Tema lama
yang masih bertahan, diantaranya: washf (deskripsi), fakhr (membanggakan
diri), madh (pujian), dan religius.
- Tema yang sedikit mengalami perubahan,
diantaranya:
1) Naqa’idl (polemik)
Kalau dulu tema ini hanya digunakan dalam masalah yang bersifat pribadi,
sekarang lebih banyak ditujukan kepada orang banyak, atau bahkan kepada masalah
negara.
2) Fakhr (kepercayaan Tuhan)
Tema ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan kemegahan diri atau
suatu suku, namun sekarang digunakan untuk kepentingan bangsa dan umat.
3) Ritsa’ (Ratapan)
Mulanya tema ini digunakan untuk meminta perhatian terhadap suku atau
golongan yang berpengaruh, sekarang sering dipergunakan untk meratapi sebuah
bangsa yang hancur.
4) Ghazal (cinta)
Pada masa dulu tema ini digunakan untuk mengungkapkan kecantikan seseorang
secara fisik, sekarang lebih terfokus pada nyanyian-nyanyian cinta yang melukiskan
gelora jiwa.
3.
Tema baru, diantaranya: patriotik,
kemasyarakatan, kejiwaan dan puisi drama. Dalam
pandangan Herman J. Waluyo tema sastra berikut ini merupakan tema yang masih
dominan dalam perkembangan sastra sampai saat ini. Diantaranya:
- Ketuhanan (religius)
Sastra dengan tema ketuhanan atau keagamaan biasanya
akan menunjukkan “religius experience” atau pengalaman religi seorang
sastrawan.
2.
Kemanusiaan
Tema ini bermaksud menunjukkan harkat dan martabat seorang manusia. Penyair
meyakinkan pembaca bahwasanya mereka mempunyai harkat martabat yang sama. Para
penyair dengan tema kemanusiaan ini sangat memperjuangkan tema kemanusiaan.
3.
Cinta Tanah Air
Tema ini berbeda dengan patriotisme. Jika tema patriotisme mengungkapkan
pembelaan terhadap tanah air, maka tema cinta tanah air lebih cenderung pada
pujian dan pujaan terhadap tanah air.
4.
Cinta Kasih antara Pria dan Wanita
Sudah tentu jika tema cinta kasih antara pria dan wanita menceritakan
tentang percintaan antara pria dan wanita. Di dalam tema ini tidak hanya menceritakan
cinta kasih saja, namun juga menceritakan kesedihan-kesedihan dalam cinta.
Misalkan saja putus cinta, sedih karena cinta, cinta bertepuk sebelah tangan,
ataupun perselingkuhan dalam suatu hubungan.
5.
Patriotisme
Tema patriotisme berfungsi meningkatkan perasaan cinta pada bangsa dan
tanah air. Tema ini mengisahkan tentang usaha merebut kemerdekaan atau juga
menceritakan perjuangan para pahlawan terdahulu untuk mencapai kemerdekaan.
Selain itu, tema ini juga memiliki fungsi membina persatuan dan kesatuan
bangsa.
6.
Kerakyatan atau Demokrasi
Pada masa modern ini, penyair juga menggunakan tema kerakyatan dalam
penciptaan puisinya. Isi dari puisi tersebut adalah protes terhadap penguasa
yang tidak mendengarkan jeritan rakyat dan penguasa yang bersikap otoriter.
7.
Keadilan sosial
Tema keadilan sosial ditampilkan oleh puisi-puisi yang menuntut keadilan
bagi umat yang tertindas.
2.2.3 Prosa
Genre prosa pada masa modern ini memiliki banyak genre
seperti maqalah, rosail, khitobah, qissah, uqsusah, dan drama. Maqalah
merupakan salah satu genre prosa yang ada pada masa ini, keberadaan dan
perkembangan maqalah pada masa ini terpengaruhi oleh pengaruh barat, beberapa
jenis maqalah yang ada pada masa ini adalah maqalah I’jtimaiyah, maqalah As
siyasiah, dan maqalah al adaby.
Dalam sejarah kesusastraan Arab modern, sastra prosa
telah berhasil mengekspresikan suasana yang kontemporer dan menyebarkan isu-isu
individu, keluarga, dan masyarakat. Ciri-ciri kebangkitan sastra prosa pada
masa ini dapat dilihat dengan adanya perhatian yang besar terhadap bangkitnya
kembali karya-karya Arab klasik, baik dalam bentuk kesusastraan, filsafat, dan
disiplin ilmu lainnya (Ahmad Bahruddin, 2011).
Kegiatan penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab
pun sudah mulai dirintis secara besar-besaran, yang tentunya sebagian besar
merupakan karya-karya sastra Barat.
Ciri-ciri prosa pada masa ini adalah lebih
memperhatikan pemikiran daripada unsur gayanya, tidak banyak menggunakan
kata-kata retoris seperti saja’ tibaq, seperti pada masa sebelumnya.
Pemikirannya runtun dan sistematis, penulis tidak keluar dari satu gagasan ke
gagasan yang lain, kecuali gagasan yang satu telah selesai, pendahuluannya
tidak terlalu panjang, temanya cenderung pada tema yang sedang terjadi pada
masyarakat, seperti masalah politik, sosial, dan agama. Perkembangan bahasa pun
mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang panjang-panjang, dan
berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosakata klasik
berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat, dan serba cepat.
Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang
panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan
kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat,
dan serba cepat (Ahmad Bahruddin, 2011).
Rosail atau risalah merupakan salah satu genre prosa
yang ada pada masa ini. pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 banyak
terdapat kitab rasail terkenal karangan para sastrwan pada masa ini diantara
para sastrawan terkenal pada masa ini adalah Abdullah Fikry, Syeikh Muhammad
Abduh, Hifni Na’shif, Adib Ishaq, Ahmad Miftah, Abdul Aziz jäwiz, dan bahitah
al badiyah. Karangan mereka terkenal dengan sebutan Rasail Al-Ikhwaniyah yang
mana penjelasan didalamnya menjelaskan tentang sebagian hubungan
kemanusiaan (hubungan social) diantaranya adalah ucapan selamat, ucapan bela
sungkawa, rindu, harapan, celaan, dan sifat yang menggambarkan tentang
permasalahan kehidupan, dan hubungan antara antara manusia. (Mansyur Ahmad dkk,
1972: 174).
Khitabah adalah
sejenis perkataan dan merupakan cara untuk memuaskan sesuatu dalam mempengaruhi
seserang ataupun kelompk, hadirnya khitabah adalah untuk mempertahankan
pendapatnya sendiri dan merupakan reaksi terhadap hal-hal yang menyangkut
pendapat tersebut. Sedangkan perkembangan khitobah pada masa ini lebih berisi
tentang as siyaisyah atau politik. (Mansyur Ahmad dkk, 1972: 177)
Kisah (Qishshah) adalah cerita tentang berbagai
hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan
penyajian yang logis dan menarik, perkembangan Qishshah pada masa sastra Arab
modern terbagi dalam 3 tahapan (Mansyur Ahmad dkk, 1972: 178), yaitu:
- Fase
pertama ialah fase penerjemahan Qishshah sastra Barat kedalam bahasa Arab,
Rifah Athohtowi merupakan sastrawan pertama penerjemah Qishashah pada fase
ini.
- Fase yang
kedua adalah fase untuk Qishshah bahasa Arab, Qishshah ini muncul
dikarenakan munculnya kisah-kisah tentang sejarah. George zaedan merupakan
orang yang pertama kali menulis 18 kisah yang disandarkan pada sejarah
Arab Islam.
Fase yang ketiga adalah Qishshah bahasa Arab yang
muncul dikarenakan adanya kisah sosial.
Kesimpulan
Imperialisme sangat mempengaruhi kebudayaan, sosial, ekonomi, dan
politik suatu bangsa. Kedatangan Perancis ke Jazirah Arab khususnya Mesir telah
membuktikannya, peristiwa tersebut menjadi titik terang kebangkitan masyarakat
kaum muslim dari keterpurukan dan kevakuman kepada sebuah kebangkitan.
Ideologi masyarakat kaum
muslim yang telah terpengaruh oleh corak dunia barat, menjadikan kaum muslimin
lebih bergairah untuk mendobrak pintu dunia luar, menghirup udaranya dan
membawanya kepada pola pikir yang lebih maju dan berkembang.
Sastra telah membuktikan eksistensinya sebagai alat penyambung
ideologi sosial, bangkitnya sastra pada masa modern adalah bukti nyata
kebangkitan kaum muslimin dalam hal ilmu pengetahuan dan wawasan dunia.
Pengaruh dari dunia barat telah menjadikan sastra lebih melangkah dari
sebelumnya yang cenderung vakum kepada hal yang lebih bebas untuk berekspresi.