I.
PENDAHULUAN
Sosiolinguistik terdiri dari dua
unsur kata yaitu sosio dan linguistik. Linguistik yaitu ilmu yang mempelajari
bahasa khususnya unsur-unsur bahasa (ucapan, kata, kalimat) dan hubungan antara
unsur tersebut, termasuk pembentukan unsur tersebut. Sedangkan kata sosio
searti dengan kata sosial yaitu yang berhubungan dengan masyarakat. Jadi
sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan bahasa yang berhubungan dengan
penutur bahasa yang merupakan bagian dari anggota masyarakat. Gunawan
menyatakan bahwa sosiolinguistik merupakan kajian yang mengaitkan masalah kebahasaan dengan masalah
kemasyarakatan (2001; 14-15). Fishman
(1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik
adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan
penggunaan bahasa karena ketiga unsur ini
berinteraksi dalam dalam dan saling mengubah satu sama lain dalam satu
masyarakat tutur, identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat
peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan ragam linguistik.
Dalam
sosiolinguistik dikenal bermacam ragam bahasa dalam masyarakat. Apa yang
terjadi pda ragam bahasa masyarakat bukanlah hal yang tidak terkontrol atau
variasi bebas, akan tetapi selalu berhubungan dengan konteks sosial. Dikatakan
oleh Labov, Bailey, dan Trudgill bahwa “what earlier linguists had considered
irregularity or free variation in linguistic behavior, can be found to show
regular and predictable statistical patterns “ (Saville-Troike, 1882). Ragam
bahasa tersebut merupakan variasi yang terjadi pada masyarakat yang merupakan
aspek-aspek yang dihasilkan oleh penuturnya untuk berkomunikasi dalam
masyarakat.
Setiap manusia yang dilahirkan ke
dunia terpilih menjadi dua jenis, perempuan dan laki-laki. Gender merujuk pada
perbedaan karakter laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial
budaya, yang berkaitan dengan sifat status, posisi, dan perannya dalam
masyarakat serta terjadinya perbedaan gender yang dikonstruksi secara
sosial-kultural.
Jika aspek penutur tersebut dipandang dari segi gendernya, akan didapat
secara garis besar dua ragam bahasa, yaitu ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa
perempuan (Kweldju, 1993). Dikatakan “secara garis besar”, sebab dari sudut
pandang gender. Realitas ragam bahasa ternyata tidak hanya itu. Beberapa
penelitian terakhir misalnya, menunujukkan adanya nragam bahasa kelompok
homoseksual (gay dan lesbian) (Sari, 2003). Meskipun demikian, pembahasan dalam
tulisan ini dibatasi hanya pada perbedaan ragam bahasa lelaki dan perempuan
yang mengarah pada ketimpangan gender.
Dalam sosiolinguistik, bahasa dan
jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat. Ada ungkapan “mengapa cara
berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dengan kata lain, kita tertuju pada beberapa
faktor yang menyebabkan wanita lebih suka menggunakan bahasa standar
dibandingkan dengan pria. Berkaitan dengan itu, patut dicermati bahasa sebagai
bagian sosial, perbuatan yang berisi nilai, yang mencerminkan percampuran
jaringan sosial, politik, budaya, dan hubungan usia dan masyarakat.
II.
PEMBAHASAN
2.1
Sekilas tentang
Gender
Manusia
diciptakan menjadi dua jenis kelamin yaitu : laki-laki dan perempuan. Dilihat
dari aspek biologis secara kodrati memang diakui adanya perbedaan (distinction),
bukan pembedaan (discrimination) antara laki-laki dan perempuan.
Meski demikian, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang selanjutnya
bersifat komplementer, saling mengisi dan melengkapi bukan saling kompetitif
(Istibsyaroh, 2004: 2). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:353) kata
gender berarti jenis kelamin.
Menurut
Munjin (dalam www.wordpress.com) ada dua masalah yang menyebabkan terjadinya
ekspresi bahasa gender, yaitu dominasi dan perbedaan. Dari berbagai penelitian
di bidang bahasa, kaitannya dengan kehidupan sosial-politik dan budaya
masyarakat, terlihat bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Budaya
patriarki mendudukkan posisi laki-laki menjadi lebih superior pada gilirannya
akan melahirkan perbedaan bahasa yang bukan hanya terletak pada perbedaan
suara, pemakaian gramatika, pemilihan kata, tetapi juga pada cara penyampaian.
Bahkan menurut Linda Thomas (dalam Munjin,www,wordpress.com) dalam sebuah acara
yang diikuti oleh laki-laki dan perempuan, perempuan sering tidak mendapatkan
waktu untuk melakukan interupsi, dan bila ada kesempatan maka ia tidak
ditanggapi serius. Masalah perbedaan ini timbul dikarenakan adanya dominasi
satu pihak terhadap pihak lain yang kemudian melahirkan stigma bahwa perempuan
adalah korban yang tidak berdaya, sedangkan laki-laki dengan perempuan pada tahapan-tahapan
dalam kehidupan sosial budaya.
Jika ditelusuri kebelakang, dalam sejarah kemanusiaan dominasi
laki-laki atas perempuan dan stereotip yang dibentuk oleh gender sudah ada
sejak zaman dahulu. Banyak pendapat mengatakan bahwa faktor teologis adalah
faktor utama menancapnya faham patriarki dalam masyarakat, karena
agama-agamalah yang memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Salah satu
konsep teologis yang memberikan citra negatif kepada kaum perempuan ialah
anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab tergelincirnya Adam dari Surga ke planet
bumi, karena rayuannya, Adam lengah lalu memakan buah terlarang menyebabkannya
terlempar ke bumi. Kaum perempuan kemudian harus menanggung akibat lebih besar.
Para
penulis wanita dan pembaca wanita selalu harus bekerja melawan hakikatnya
sendiri. Aristoteles mengatakan bahwa “wanita adalah wanita berdasarkan atas
kekurangan mereka terhadap kualitas-kualitas tertentu”, dan St. Thomas Aquinas
yakin bahwa wanita adalah “laki-laki yang tidak sempurna”. Ketika Donne menulis
“Air and Angel” ia menyinggung (tetapi tidak menyangkal) teori Aquinas bahwa
bentuk adalah laki-laki dan masalah adalah perempuan, pikiran laki-laki lebih
unggul dari pada dewa, mengesankan bentuknya pada masalah yang perempuan, yang
tak berdaya, dan lemah. Dalam masa sebelum Mendel, para lelaki memandang sperma
mereka sebagai benih yang aktif yang memberi kepada ovum yang menanti dan
kekurangan identitas hingga menerima pengaruh laki-laki. Dalam trilogi
Aeschylus, The Oresteia, kemenangan dianugerahkan oleh Athena kepada
tuntutan laki-laki, sesuai dengan pendapat Apollo, bahwa ibu bukan orang tua
anaknya. Kenangan prinsip laki-laki intelek membawa akhir pemerintahan Furies,
perempuan yang sensual dan memaksakan patriarki dan matriakri (Pradopo dan
Abdullah 1993:135).
Untuk
mengimbangi dominasi model maskulin yang lebih menguasai jagad berbahasa ini
menurut berbagai contoh diatas, ada tawaran metode feminis. Metode ini berusaha
untuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menyatakan pendapat,
masalah, pertanyan serta saran-saran yang serius tidak didengar masyarakat dan
diabaikan oleh peneliti nonfeminis. Pendeknya, metode ini menghasilkan
perubahan status quo kehidupan perempuan yang mampu menyadarkan perempuan akan
kondisi mereka yang sangat tidak terbebas.
2.2
Relasi
Penggunaan Bahasa dan Gender
Beberapa Fenomena
menunjukkan bahwa nama laki-laki dipakai untuk melengkapi nama wanita,
tetapi tidak sebaliknya. Nama-nama tersebut mudah saja didapatkan dalam
lingkungan kita sehari-hari, seperti anisa Bskoro, Ani Yudhoyono, Sonya Mahler.
Panggilan nama itu akan terasa “ganjil” seandainya menjadi Baskoro Anisa,
“Yudhoyono Ani, atau “Mahler Sonya.
Hellinger (2002:15) menyebutkan penggunaan bahasa berkaitan dengan
gender tidak hanya terdapat pada pemakaian nama keluarga, tetapi juga pada
ekspresi ungkapan pertentangan perempuan dan laki-laki.
Penggunaan gender dalam ekspresi ungkapan terdapat pada “surga
terletak di telapak kaki ibu”, “ibu kota”,” induk semang”, “nenek moyang”, “dewi
malam” (bulan), dan “putri malu” (jenis tumbuhan). Tidak mungkin ekspresi
ungkapan itu diganti “surga itu terletak di telapak kaki ayah”, “bapak kota”,
“bapak semang”, “kakek moyang”, “dewa malam, dan “putra malu”.
Hubungan antara bahasa dan gender
dapat terealisasi dalam tiga macam hubungan menurut pandangan Graddol dan joan
(2003: 13) yaitu :
1. Bahasa mencerminkan pembagian gender
Penggunaan bahasa bersifat sensitive
terhadap pola-pola hidup dan pola-pola interaksi sehingga terindikasi bahwa
perbedaan pengalaman sosial antara laki-laki dan perempuan mempunyai efek
tertentu dalam perilaku berbahasa. Dengan demikian, bahasa dipandang sebagai
creminan masyarakat.
Perbedaan
linguistic semata-mata merupakan suatu cerminan perbedaan sosial, dan selama masyarakat
memandang laki-laki dan perempuan berbeda-beda, dan tidak setara, maka
perbedaan dalam bahasa laki-laki dan perempuan akan terus ada Coates (dalam
Graddol dn Joan, 2003: 13).
2. Bahasa menciptakan pembagian gender
Pandangan ini mengimplikasikan bahwa
bahasa mempunyai peranan yang penting dalam konstruksi dan pelestarian
pembagian gender. Cara bahasa digunakan dalam berbagai konteks kehidupan sosila
dapat memproyeksikan bias mengenai laki-laki dan perempuan yang implikasinya
mendefinisikan peranan sosial yang diharapkan dari yang laki-laki dan
perempuan. Hal ini membentuk opini bahwa bahasa dan wacana tempat manusia
terlibat dapat membentuk kepribadian dan kehidupan sosial. Dengan demikian,
para penutur dapat mempelajari pembedaan atau pengkategorian yang dianggap
penting dalam kultur tertentu jika mempelajari pembedaan linguistiknya.
3. Bahasa dan struktur sosial saling
berpengaruh
Gagasan ini memperlihatkan bagaimana
mekanisme non-linguistik didukung oleh ciri linguistik untuk mempertahankan
pembagian gender. Sebagai contoh, dapat dilihat bagaimana bahasa mereproduksi
konsep-konsep tradisional tentang “feminitas” dan “maskulinitas”. Tetapi, untuk
melihat mengapa konsep-konsep tradisional tersebut bersifat opresif terhadap
perempuan diperlukan teori-teori sosial yang ada kaitannya dengan bahasa.
Berikut terdapat pula perbedaan
antara maskulin dan feminis ditijau dari segi perbedaan
emosional dan intelektual.
Perbedaan Emosional dan Intelektual
antara laki-laki dan Perempuan
Laki-laki (Maskulin)
|
Perempuan (Feminin)
|
- Sangat agresif
- Tidak emosional
- Independen
- Dapat menyembunyikan emosi
- Lebih objektif
- Tidak mudah terpengaruh
- Tidak mudah goyah terhadap krisis
- Lebih aktif
- Lebih mendunia
- Lebih berterus terang
- Jarang menangis
- Lebih ambisi
|
- Tidak terlalu agresif
- Lebih emosional
- Tidak terlalu independen
- Sulit menyembunyikan emosi
- Lebih sunjektif
- Mudah terpengaruh
- Mudah goyah terhadap krisis
- Lebih pasif
- Berorientasi ke rumah
- Kurang berterus terang
- Lebih sering menangis
- Kurang ambisi, dll
|
Perbedaan
sifat akibat perbedaan emosional dan intelaktual antara laki-laki dan
perempuan di atas masih relative dan tidak permanen, sehingga ada sejumlah
sifat yang bertukar atau bersifat terbalik. Adanya sifat yang dapat
bertukar antara laki-laki dan perempuan, setelah menerapkannya dan
mempersandingkannya dengan hasil representasi gender yang diperoleh sesuai data
folklore, mengindikasi bahwa sifat tersebut merupakan hasil konstruksi sosial
budaya yang lebih banyak menguntungkan kaum laki-laki. Hasil konstruksi
sifat-sifat dan pelabelan di atas berkorelasi dengan peran dan relasi gender
yang berlangsung dalam suatu masyarakat.
2.3
Ketimpangan
Gender pada Kosakata dan Ungkapan Bahasa Indonesia
Penelitian Coates (1991) menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris,
bahasa yang digunakan oleh kelompok lelaki (selanjutnya disebut ragam bahasa
lelaki) berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh kelompok perempuan
(selanjutnya disebut ragam bahasa perempuan). Perbedaan tersebut ada dalam
semua aspek kebahasaan, yaitu kosakata, gramatika, dan fonologi, sampai-sampai
soal penggunaan dan pemilihan partikel dalam kalimat.
Dalam berbahasa, kedua kelompok dipersepsi menampilkan cara
berbahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut cenderung memojokkan kelompok perempuan
dalam posisi inferior dan subordinat, sedang kelompok lelaki diangkat dalam
posisi superior dan dominan. Kelompok perempuan diharapkan lebih lembut (lady
like) dibandingkan dengan kelompok lelaki (Lakoff, 1979). Di samping itu, juga
dipandang wajar bahwa kelompok perempuan di Inggris, USA, dan Belanda, lebih
banyak berbicara (cerewet) dan bergunjing, berbicara lebih sopan, dan tidak
mengumpat, lebih banyak menggunakan adjektiva (sebagai cermin lebih emosional
ketimbang rasional), dan penguasaan kosakatanya tidak sebanyak lelaki (Coates,
1991). Bahkan, ragam bahasa perempuan sering distereotipekan sebagai naif,
emosional, bodoh, pasif, kurang meyakinkan, terlalu boros kata-kata, dan remeh
(Kramarae, 1982).
Dalam ragam bahasanya, kelompok perempuan distereotipekan lebih
inferior (Spolsky, 2001). Karena kedudukannya inilah perempuan lebih merasa
perlu berhatihati dalam berbahasa. Kehati-hatian ini tampak dalam kebiasaannya
yang lebih menaati norma-norma baku kebahasaan dan kecenderungan untuk selalu menggunakan
bahasa yang berprestise (Trudgill, 1984), sedangkan pada lelaki tidak ada
“keharusan” seperti ini. Akibatnya, perempuan dalam berbahasa lebih banyak
melakukan hiperkoreksi. Realitasa ini, menurut (Coates, 1991), sebenarnya
merefleksikan bahwa di bawah sadarnya perempuan menduduki posisi yang kurang
mapan, lebih subordinat, dan lebih inferior, dibandingkan dengan kelompok
lelaki.
Hal ini juga menunjukkan adanya ketimpangan gender dalam bahasa.
Perbedaan yang menjurus pada ketimpangan antara ragam bahasa lelaki dan ragam
bahasa perempuan ini tampak pada perbedaan kosakata dan ungkapan, fonologis,
dan gramatika.
Dalam hal kosakata dan ungkapan, ragam bahasa perempuan lebih
banyak menggunakan kata-kata adjektiva, kosakata lebih sedikit, manja,
irasional, dan berusaha mencapai norma standar dan standar ini dibuat kelompok
lelaki (Kramarae, 1981; Coates, 1991). Dalam fonologi, nada akhir kalimat dalam
ragam bahasa perempuan lebih berlagu dan lebih tinggi, sehingga terkesan kurang
tegas, sedang nada pada ragam bahasa lelaki lebih rendah yang menyatakan
ketegasan (Kramarae, 1981). Dalam gramatika, kelompok perempuan lebih banyak
menggunakan kalimat majemuk setara, sebagai cermin ketidakmampuan menempatkan
mana yang inti (induk) dan mana yang kurang inti (anak kalimat) (Lakoff, 1979).
Menurut Jespersen (dalam Kweldju, 1993), kelompok perempuan tidak banyak
menggunakan logika dalam gramatika, tetapi lebih banyak menggunakan intonasi
dan intonasi ini merupakan cermin kekuatan emosinya. Oleh karena itu,
bagaimanapun, ragam bahasa perempuan lebih sering membuat kesalahan
dibandingkan dengan ragam bahasa lelaki. Lakoff (1979) juga mencatat bahwa
perempuan lebih banyak menggunakan tag questions sebagai cermin
ketidaktegasannya bersikap.
Kosakata suatu bahasa mewadahi seluruh ketimpangan gender. Dalam
kosakata dan ungkapan bahasa Indonesia pun terjadi ketimpangan gender pada
ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan. Contoh-contoh berikut
diharapkan dapat memperjelas perbedaan kedua ragam tersebut:
Pertama, beberapa
ungkapan mencerminkan keberadaan wanita sebagai pemelihara kehidupan yang
sabar, sedang lelaki sebagai penguasa kehidupan (cf. Kweldju, 1993).
Perempuan-istri selalu menjadi ibu rumah tangga, sedang lelaki-suami otomatis
menduduki posisi sebagai kepala rumah tangga, sebodoh apa pun lelaki itu, andai
saja suami itu bodoh. Sebagai ibu rumah tangga, perempuan bertanggung jawab
atas segala pekerjaan di dalam rumah, misalnya memasak, mencuci, mengasuh dan
mengajari anak, menjaga dan merawat rumah—yang serba membutuhkan kelembutan dan
kesabaran. Semua jenis pekerjaan tak berupah tersebut memunculkan ungkapan
pekerjaan perempuan. Pendidikan anak lebih dibebankan kepada perempuanistri
ketimbang suami, termasuk mengajari anak berbahasa, sehingga muncul istilah
bahasa ibu (mother language). Istilah anak mama dan kasih sayang ibu, termasuk
ungkapan alah Mak, aduh Mak—dan bukan *alah Pak, *aduh Pak—juga menunjukkan
bahwa anak dipersepsi secara sosial sebagai urusan perempuan. Tanggung jawab
istri sebagai perawat rumah memunculkan istilah nyonya rumah. Tetapi, penguasa
tertinggi tetap lelaki-suami, sehingga acuan istilah kepala rumah tangga dan
tuan rumah selalu kepada suami.
Kedua, beberapa ungkapan dan struktur gramatikal menunjukkan bahwa
seakanakan perempuan itu ditakdirkan pasif, sedang lelaki dikodratkan aktif.
Kepasifan perempuan (istri) ini juga ditempuh sebagai upaya untuk selalu
menyenangkan, menjaga perasaan, dan menghormati lelaki (suami) (Spender, 1985).
Seorang perempuan boleh saja jatuh cinta, tetapi ia harus menjaga dan bertahan
jangan sampai ia mendahului mengungkapkan cinta terlebih dahulu. Ia mesti pasif
menunggu. Maka, yang muncul dalam ungkapan gramatikal adalah Dina dipacari/
dilamar/ dipinang/ dinikahi/ diperistri Indra dan tentu bukan Dina *memacari/
*melamar/ *meminang/ *menikahi/ *mempersuami Indra. Seorang istri tidak dapat
*menceraikan suami—sejahat apa pun suami itu—sebab kultur Indonesia hanya
memberi kesempatan kepada istri untuk meminta cerai atau minta diceraikan.
Sebuah ungkapan populer juga mencerminkan ketimpangan gender bias lelaki:
dapur, sumur, lulur, kasur. Ungkapan ini jelas-jelas memerahkan telinga
kelompok feminis aliran apa pun. Sebagai bandingan, dalam bahasa Jawa pun, yang
justru lebih kaya, ada ungkapan yang berkenaan dengan betapa rendahnya peranan
perempuan. Misalnya perempuan itu hanya awan dadi theklek, bengi dadi lemek
(siang jadi bakiak, malam jadi alas untuk ditindih), masak, macak, manak
(memasak, merias diri, melahirkan) atau pun neng omah, olah-olah, mlumah,
mbegagah ngablah-ablah (di rumah, memasak, tidur terbuka menelentang) (Sobary,
2000). Boleh saja, ungkapan ini dikatakan sebagai sekadar beraroma traditional
gender-based ideology, tetapi bahwa hal tersebut jelas fakta empiris konkret,
sungguh tidak perlu diragukan.
Ketiga, beberapa kosakata dan ungkapan menunjukkan perempuan selalu
menjadi korban dan disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan kesalahannya.
Perempuan yang menjual diri sering disebut wanita panggilan, tetapi entah
mengapa lelaki yang membutuhkan tidak pernah disebut *pria pemanggil. Yang
sering dipersoalkan dan diucapkan adalah keperawanan atau kegadisan seorang
perempuan dan tidak pernah dipermasalahkan keperjakaan seorang lelaki. Dalam
dunia prostitusi, misalnya, sesungguhnya baik lelaki sebagai “pembeli” maupun
perempuan sebagai “penjual” sama-sama berbuat tidak susila (asusila), tetapi
sebutan yang ada hanya wanita tuna susila (WTS) dan tidak pernah ada *pria tuna
susila (PTS) (Jupriono, 2003).
Keempat, beberapa kebiasaan nama dan panggilan menunjukkan bahwa perempuan
sebagai penerima identitas, sedangkan lelaki pemberi identitas (cf. Kuntjara,
2003). Seorang perempuan-istri bernama Linda Astuti, setelah diperistri seorang
lelaki bernama Subandi, di lingkungan sekitarnya mendadak sontak dipanggil Ny.
Subandi atau Bu Subandi oleh tetangganya dan ia hilang identitasnya sehingga
jarang disapa sebagai Ny. Linda atau Bu Astuti. Sementara, suaminya tetap pada
identitasnya semula sebagai Pak Subandi—dan tidak mungkin dipanggil *Pak Linda
atau *Tuan Astuti. Ini sungguh-sungguh tidak ada kesejajaran. Seorang perempuan
yang menjadi “istri tak sah” dilabeli sebutan piaraan, istri gelap, atau pun
simpanan, tetapi lelaki yang menjadikannya begitu tidak mendapat sebutan apa
pun, misalnya *pemiara, *suami gelap, atau pun *penyimpan. Seorang istri
langsung mendapat nama baru begitu suaminya menjabat, dan jika istri menjabat, suami
bebas atau tidak usah nama baru. Begitu suaminya terpilih sebagai kepala desa
(kades), istri akan dipanggil Bu Kades, dan wajib mengikuti pembekalan bagi
istri kepala desa di tingkat kabupaten. Tetapi, suami yang istrinya menjadi
kades, tidak usah dipanggil *Pak Kades dan tidak ada program negara *pembekalan
bagi suami kepala desa.
Kelima, kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar baik untuk
menyebut lelaki maupun perempuan. Julukan jago matematika, misalnya, berlaku
baik untuk Rangga yang lelaki maupun Susi yang perempuan, kalau memang kedua
memenuhi kualifikasi cerdas mengerjakan soal-soal matematika; tidak pernah ada
*betina matematika sekalipun pemenang juaranya adalah Susi. Dengan kata lain,
kata jago ini digunakan sebagai standar baik untuk lelaki maupun perempuan.
Contoh lain: bapak pembangunan, bapak koperasi, bapak pendidikan. Belum pernah
ada—atau mungkin tidak lazim—entah mengapa: *ibu pembangunan, *ibu koperasi,
*ibu pendidikan, misalnya. Jika kosakata itu berbau perempuan, konotasi semantisnya
cenderung negatif. Misalnya, Bejo yang perangainya kewanita-wanitaan disikapi
sebagai negatif, disamakan dengan banci. Sebaliknya, perangai Eny yang tomboy,
asal masih mau sedikit berdandan saja, akan diterima lebih positif—misalkan
dianggap malah “modern”, “masa kini”, “gaul”—oleh sekitarnya.
Keenam, beberapa kosakata mencerminkan bahwa suatu jabatan, prestasi,
organisasi, atau pekerjaan biasanya diisi oleh seorang lelaki, jika diisi oleh
perempuan dianggap suatu “kelainan” atau kekecualian, dan untuk itu harus
diembel-embeli kata wanita. Sebutan profesor, kesebelasan, pesilat, wartawan
cenderung menggiring orang untuk menafsirkan bahwa semua itu untuk lelaki. Jika
dilekatkan kepada perempuan, biasanya menjadi profesor wanita, kesebelasan wanita,
pesilat wanita, wartawan wanita—seakan-akan hal itu suatu keganjilan. Seorang
lelaki tidak usah disebut *lelaki karier ketika sukses berkarier, tetapi
seorang perempuan yang bekerja di sektor publik langsung harus disebut wanita
karier.
Ketujuh, ungkapan pemanggilan juga menempatkan perempuan sebagai golongan
kelas dua, sehingga selalu disebut “setelah lelaki”. Yang lazim diungkapkan
dalam pertemuan resmi, rapat, khotbah, ceramah, adalah Bapak-bapak, Ibu-ibu
yang saya hormati…, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang berbahagia, … dan pastilah
bukan *Ibu-ibu, Bapak-bapak yang saya hormati, … *Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang
berbahagia, … Dalam surat undangan pun yang lazim tercetak adalah Kepada Yth.:
Bpk/Ibu/Sdr. … dan tentu bukan *Kepada Yth.: Ibu/Bpk/Sdr. …
Kedelapan, dalam kebijakan institusional baik sektoral maupun nasional pun
tergambar jelas betapa perempuan terus dan masih menjadi beban masalah dan
tidak pernah mencapai kesetaraan seperti lelaki. Karena gerak nasib perempuan
dirasakan ketinggalan, peranannya perlu terus ditingkatkan melalui ungkapan
menteri peranan perempuan, Hari Kartini, dan Hari Ibu. Sebaliknya, lelaki tidak
menjadi masalah, sehingga tidak membutuhkan *menteri urusan lelaki, *Hari
Kartini, dan *Hari Bapak. Sebagai bagian dari masalah, bahkan kedudukan
perempuan disejajarkan dengan anak-anak, sehingga perlu dibangun Balai
Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), sedangkan kaum bapak tidak memerlukan karena
dianggap sudah mandiri dan sudah dapat menolong diri sendiri. Bahkan, perempuan
disamakan kedudukannya dengan benda mati, misalnya dalam ungkapan harta, tahta,
wanita, atau peluru dan wanita. Hal ini menggambarkan fakta bahwa nasib
perempuan tersubordinasi, bahkan sampai tingkat bahasa sekalipun.
Kesembilan, beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/
berkedudukan melebihi suami, tetapi tidak diakui, atau kalau diakui, dengan
malu-malu. Misalnya seorang istri yang berdagang, yang penghasilannya
benar-benar jauh di atas suami—sehingga sesungguhnya merupakan tumpuan
kebutuhan material keluarga— dengan rendah hati akan mengatakan: hanya membantu
suami, untuk tambah-tambah saja, hanya kerja sambilan, atau bahkan yah
…ketimbang menganggurlah. Dia akan mendapat cap buruk, penilaian negatif, dari
sekeliling jika saja mengatakan *Saya yang menanggung kebutuhan keluarga,
penghasilan suami cuma berapa. Secara psikologis kultural, terdapat ketakutan
“menyaingi” atau “mengalahkan” suami pada seorang istri. Dalam dunia psikologi
ada istilah syndrome of success fear.— suatu fenomena seorang istri takut
kelihatan lebih sukses ketimbang suaminya, takut suaminya tampak lebih bodoh
(Sudarwati, 2003). Dalam hal demikian, seorang istri juga mengalami “kematian
subjek”: menjadi diri sendiri pun tidak berani. (cf. Faucault, 1979).
III.
SIMPULAN
·
Ada
dua masalah yang menyebabkan terjadinya ekspresi bahasa gender, yaitu dominasi
dan perbedaan.
·
Hubungan
antara bahasa dan gender terealisasi dalam tiga macam, yaitu : bahasa
mencerminkan pembagian gender, bahasa menciptakan pembagian gender, dan bahasa
dengan struktur sosial saling berpengaruh.
·
Dalam
sosiolinguistik, variasi bahasa dapat terjadi karena perbedaan gender.
Penggunaan bahasa berkaitan dengan gender tidak hanya terdapat pada pemakaian
nama keluarga, tetapi juga pada ekspresi ungkapan, pertentangan perempuan dan
laki-laki.
·
Sehubungan
dengan ketimpangan gender pada kosakata dan ungkapan dalam bahasa Indonesia,
sebagai berikut. (1) Beberapa ungkapan mencerminkan wanita pemelihara kehidupan
yang sabar, sedang lelaki penguasa kehidupan. (2) Beberapa struktur gramatikal
bahasa Indonesia menunjukkan perempuan itu pasif, sedang lelaki aktif. (3)
Beberapa kosakata dan ungkapan menunjukkan perempuan selalu menjadi korban dan
disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan. (4) Beberapa kebiasaan nama dan
panggilan menunjukkan bahwa perempuan penerima identitas, sedangkan lelaki
pemberi identitas. (5) Kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar untuk
menyebut lelaki maupun perempuan. (6) Beberapa kosakata mencerminkan bahwa
suatu jabatan, prestasi, organisasi, atau Parafrase Vol. 10 No. 01 Februari
2010 38 pekerjaan biasanya diisi lelaki, jika diisi perempuan dianggap suatu
“kelainan” dan untuk itu harus diembel-embeli kata wanita. (7) Ungkapan
pemanggilan juga menempatkan perempuan sebagai golongan kelas dua. (8) Dalam
kebijakan institusional tergambar jelas betapa perempuan masih menjadi beban
masalah dan tidak pernah mencapai kesetaraan (9) Beberapa ungkapan mencerminkan
bahwa istri boleh berpenghasilan/berkedudukan melebihi suami, tetapi tidak
diakui.