Kamis, 26 Mei 2016

Bahasa dan Gender



I.                   PENDAHULUAN

Sosiolinguistik terdiri dari dua unsur kata yaitu sosio dan linguistik. Linguistik yaitu ilmu yang mempelajari bahasa khususnya unsur-unsur bahasa (ucapan, kata, kalimat) dan hubungan antara unsur tersebut, termasuk pembentukan unsur tersebut. Sedangkan kata sosio searti dengan kata sosial yaitu yang berhubungan dengan masyarakat. Jadi sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan bahasa yang berhubungan dengan penutur bahasa yang merupakan bagian dari anggota masyarakat. Gunawan menyatakan bahwa sosiolinguistik merupakan kajian yang mengaitkan masalah kebahasaan dengan masalah kemasyarakatan (2001; 14-15). Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan penggunaan bahasa karena ketiga unsur  ini berinteraksi dalam dalam dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur, identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan ragam linguistik.
Dalam sosiolinguistik dikenal bermacam ragam bahasa dalam masyarakat. Apa yang terjadi pda ragam bahasa masyarakat bukanlah hal yang tidak terkontrol atau variasi bebas, akan tetapi selalu berhubungan dengan konteks sosial. Dikatakan oleh Labov, Bailey, dan Trudgill bahwa “what earlier linguists had considered irregularity or free variation in linguistic behavior, can be found to show regular and predictable statistical patterns “ (Saville-Troike, 1882). Ragam bahasa tersebut merupakan variasi yang terjadi pada masyarakat yang merupakan aspek-aspek yang dihasilkan oleh penuturnya untuk berkomunikasi dalam masyarakat.
Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia terpilih menjadi dua jenis, perempuan dan laki-laki. Gender merujuk pada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat status, posisi, dan perannya dalam masyarakat serta terjadinya perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial-kultural.
Jika aspek penutur tersebut dipandang dari segi gendernya, akan didapat secara garis besar dua ragam bahasa, yaitu ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan (Kweldju, 1993). Dikatakan “secara garis besar”, sebab dari sudut pandang gender. Realitas ragam bahasa ternyata tidak hanya itu. Beberapa penelitian terakhir misalnya, menunujukkan adanya nragam bahasa kelompok homoseksual (gay dan lesbian) (Sari, 2003). Meskipun demikian, pembahasan dalam tulisan ini dibatasi hanya pada perbedaan ragam bahasa lelaki dan perempuan yang mengarah pada ketimpangan gender.
Dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat. Ada ungkapan “mengapa cara berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dengan kata lain, kita tertuju pada beberapa faktor yang menyebabkan wanita lebih suka menggunakan bahasa standar dibandingkan dengan pria. Berkaitan dengan itu, patut dicermati bahasa sebagai bagian sosial, perbuatan yang berisi nilai, yang mencerminkan percampuran jaringan sosial, politik, budaya, dan hubungan usia dan masyarakat.
II.                PEMBAHASAN
2.1  Sekilas tentang Gender
Manusia diciptakan menjadi dua jenis kelamin yaitu : laki-laki dan perempuan. Dilihat dari aspek biologis secara kodrati memang diakui adanya perbedaan (distinction), bukan pembedaan (discrimination) antara laki-laki dan perempuan. Meski demikian, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang selanjutnya bersifat komplementer, saling mengisi dan melengkapi bukan saling kompetitif (Istibsyaroh, 2004: 2). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:353) kata gender berarti jenis kelamin.
Menurut Munjin (dalam www.wordpress.com) ada dua masalah yang menyebabkan terjadinya ekspresi bahasa gender, yaitu dominasi dan perbedaan. Dari berbagai penelitian di bidang bahasa, kaitannya dengan kehidupan sosial-politik dan budaya masyarakat, terlihat bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Budaya patriarki mendudukkan posisi laki-laki menjadi lebih superior pada gilirannya akan melahirkan perbedaan bahasa yang bukan hanya terletak pada perbedaan suara, pemakaian gramatika, pemilihan kata, tetapi juga pada cara penyampaian. Bahkan menurut Linda Thomas (dalam Munjin,www,wordpress.com) dalam sebuah acara yang diikuti oleh laki-laki dan perempuan, perempuan sering tidak mendapatkan waktu untuk melakukan interupsi, dan bila ada kesempatan maka ia tidak ditanggapi serius. Masalah perbedaan ini timbul dikarenakan adanya dominasi satu pihak terhadap pihak lain yang kemudian melahirkan stigma bahwa perempuan adalah korban yang tidak berdaya, sedangkan laki-laki dengan perempuan pada tahapan-tahapan dalam kehidupan sosial budaya.
Jika ditelusuri kebelakang, dalam sejarah kemanusiaan dominasi laki-laki atas perempuan dan stereotip yang dibentuk oleh gender sudah ada sejak zaman dahulu. Banyak pendapat mengatakan bahwa faktor teologis adalah faktor utama menancapnya faham patriarki dalam masyarakat, karena agama-agamalah yang memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Salah satu konsep teologis yang memberikan citra negatif kepada kaum perempuan ialah anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab tergelincirnya Adam dari Surga ke planet bumi, karena rayuannya, Adam lengah lalu memakan buah terlarang menyebabkannya terlempar ke bumi. Kaum perempuan kemudian harus menanggung akibat lebih besar.
Para penulis wanita dan pembaca wanita selalu harus bekerja melawan hakikatnya sendiri. Aristoteles mengatakan bahwa “wanita adalah wanita berdasarkan atas kekurangan mereka terhadap kualitas-kualitas tertentu”, dan St. Thomas Aquinas yakin bahwa wanita adalah “laki-laki yang tidak sempurna”. Ketika Donne menulis “Air and Angel” ia menyinggung (tetapi tidak menyangkal) teori Aquinas bahwa bentuk adalah laki-laki dan masalah adalah perempuan, pikiran laki-laki lebih unggul dari pada dewa, mengesankan bentuknya pada masalah yang perempuan, yang tak berdaya, dan lemah. Dalam masa sebelum Mendel, para lelaki memandang sperma mereka sebagai benih yang aktif yang memberi kepada ovum yang menanti dan kekurangan identitas hingga menerima pengaruh laki-laki. Dalam trilogi Aeschylus, The Oresteia, kemenangan dianugerahkan oleh Athena kepada tuntutan laki-laki, sesuai dengan pendapat Apollo, bahwa ibu bukan orang tua anaknya. Kenangan prinsip laki-laki intelek membawa akhir pemerintahan Furies, perempuan yang sensual dan memaksakan patriarki dan matriakri (Pradopo dan Abdullah 1993:135).
Untuk mengimbangi dominasi model maskulin yang lebih menguasai jagad berbahasa ini menurut berbagai contoh diatas, ada tawaran metode feminis. Metode ini berusaha untuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menyatakan pendapat, masalah, pertanyan serta saran-saran yang serius tidak didengar masyarakat dan diabaikan oleh peneliti nonfeminis. Pendeknya, metode ini menghasilkan perubahan status quo kehidupan perempuan yang mampu menyadarkan perempuan akan kondisi mereka yang sangat tidak terbebas.
2.2  Relasi Penggunaan Bahasa dan Gender
Beberapa Fenomena  menunjukkan bahwa nama laki-laki dipakai untuk melengkapi nama wanita, tetapi tidak sebaliknya. Nama-nama tersebut mudah saja didapatkan dalam lingkungan kita sehari-hari, seperti anisa Bskoro, Ani Yudhoyono, Sonya Mahler. Panggilan nama itu akan terasa “ganjil” seandainya menjadi Baskoro Anisa, “Yudhoyono Ani, atau “Mahler Sonya.
Hellinger (2002:15) menyebutkan penggunaan bahasa berkaitan dengan gender tidak hanya terdapat pada pemakaian nama keluarga, tetapi juga pada ekspresi ungkapan pertentangan perempuan dan laki-laki.
Penggunaan gender dalam ekspresi ungkapan terdapat pada “surga terletak di telapak kaki ibu”, “ibu kota”,” induk semang”, “nenek moyang”, “dewi malam” (bulan), dan “putri malu” (jenis tumbuhan). Tidak mungkin ekspresi ungkapan itu diganti “surga itu terletak di telapak kaki ayah”, “bapak kota”, “bapak semang”, “kakek moyang”, “dewa malam, dan “putra malu”.
Hubungan antara bahasa dan gender dapat terealisasi dalam tiga macam hubungan menurut pandangan Graddol dan joan (2003: 13) yaitu :
1.              Bahasa mencerminkan pembagian gender
Penggunaan bahasa bersifat sensitive terhadap pola-pola hidup dan pola-pola interaksi sehingga terindikasi bahwa perbedaan pengalaman sosial antara laki-laki dan perempuan mempunyai efek tertentu dalam perilaku berbahasa. Dengan demikian, bahasa dipandang sebagai creminan masyarakat.
                Perbedaan linguistic semata-mata merupakan suatu cerminan perbedaan sosial, dan selama masyarakat memandang laki-laki dan perempuan berbeda-beda, dan tidak setara, maka perbedaan dalam bahasa laki-laki dan perempuan akan terus ada Coates (dalam Graddol dn Joan, 2003: 13).
2.              Bahasa menciptakan pembagian gender
Pandangan ini mengimplikasikan bahwa bahasa mempunyai peranan yang penting dalam konstruksi dan pelestarian pembagian gender. Cara bahasa digunakan dalam berbagai konteks kehidupan sosila dapat memproyeksikan bias mengenai laki-laki dan perempuan yang implikasinya mendefinisikan peranan sosial yang diharapkan dari yang laki-laki dan perempuan. Hal ini membentuk opini bahwa bahasa dan wacana tempat manusia terlibat dapat membentuk kepribadian dan kehidupan sosial. Dengan demikian, para penutur dapat mempelajari pembedaan atau pengkategorian yang dianggap penting dalam kultur tertentu jika mempelajari pembedaan linguistiknya.
3.              Bahasa dan struktur sosial saling berpengaruh
Gagasan ini memperlihatkan bagaimana mekanisme non-linguistik didukung oleh ciri linguistik untuk mempertahankan pembagian gender. Sebagai contoh, dapat dilihat bagaimana bahasa mereproduksi konsep-konsep tradisional tentang “feminitas” dan “maskulinitas”. Tetapi, untuk melihat mengapa konsep-konsep tradisional tersebut bersifat opresif  terhadap perempuan diperlukan teori-teori sosial yang ada kaitannya dengan bahasa.
Berikut terdapat pula perbedaan antara maskulin dan feminis ditijau dari segi perbedaan emosional  dan intelektual.
Perbedaan Emosional dan Intelektual antara laki-laki dan Perempuan
Laki-laki (Maskulin)
Perempuan (Feminin)
-                    Sangat agresif
-                    Tidak emosional
-                    Independen
-                    Dapat menyembunyikan emosi
-                    Lebih objektif
-                    Tidak mudah terpengaruh
-                    Tidak mudah goyah terhadap krisis
-                    Lebih aktif
-                    Lebih mendunia
-                    Lebih berterus terang
-                    Jarang menangis
-                    Lebih ambisi
-                    Tidak terlalu agresif
-                    Lebih emosional
-                    Tidak terlalu independen
-                    Sulit menyembunyikan emosi
-                    Lebih sunjektif
-                    Mudah terpengaruh
-                    Mudah goyah terhadap krisis
-                    Lebih pasif
-                    Berorientasi ke rumah
-                    Kurang berterus terang
-                    Lebih sering menangis
-                    Kurang ambisi, dll

                Perbedaan sifat akibat perbedaan emosional dan intelaktual antara laki-laki dan perempuan  di atas masih relative dan tidak permanen, sehingga ada sejumlah sifat yang bertukar  atau bersifat terbalik. Adanya sifat yang dapat bertukar antara laki-laki dan perempuan, setelah menerapkannya dan mempersandingkannya dengan hasil representasi gender yang diperoleh sesuai data folklore, mengindikasi bahwa sifat tersebut merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang lebih banyak menguntungkan kaum laki-laki. Hasil konstruksi sifat-sifat dan pelabelan di atas berkorelasi dengan peran dan relasi gender yang berlangsung dalam suatu masyarakat.
2.3  Ketimpangan Gender pada Kosakata dan Ungkapan Bahasa Indonesia
Penelitian Coates (1991) menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, bahasa yang digunakan oleh kelompok lelaki (selanjutnya disebut ragam bahasa lelaki) berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh kelompok perempuan (selanjutnya disebut ragam bahasa perempuan). Perbedaan tersebut ada dalam semua aspek kebahasaan, yaitu kosakata, gramatika, dan fonologi, sampai-sampai soal penggunaan dan pemilihan partikel dalam kalimat.
Dalam berbahasa, kedua kelompok dipersepsi menampilkan cara berbahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut cenderung memojokkan kelompok perempuan dalam posisi inferior dan subordinat, sedang kelompok lelaki diangkat dalam posisi superior dan dominan. Kelompok perempuan diharapkan lebih lembut (lady like) dibandingkan dengan kelompok lelaki (Lakoff, 1979). Di samping itu, juga dipandang wajar bahwa kelompok perempuan di Inggris, USA, dan Belanda, lebih banyak berbicara (cerewet) dan bergunjing, berbicara lebih sopan, dan tidak mengumpat, lebih banyak menggunakan adjektiva (sebagai cermin lebih emosional ketimbang rasional), dan penguasaan kosakatanya tidak sebanyak lelaki (Coates, 1991). Bahkan, ragam bahasa perempuan sering distereotipekan sebagai naif, emosional, bodoh, pasif, kurang meyakinkan, terlalu boros kata-kata, dan remeh (Kramarae, 1982).
Dalam ragam bahasanya, kelompok perempuan distereotipekan lebih inferior (Spolsky, 2001). Karena kedudukannya inilah perempuan lebih merasa perlu berhatihati dalam berbahasa. Kehati-hatian ini tampak dalam kebiasaannya yang lebih menaati norma-norma baku kebahasaan dan kecenderungan untuk selalu menggunakan bahasa yang berprestise (Trudgill, 1984), sedangkan pada lelaki tidak ada “keharusan” seperti ini. Akibatnya, perempuan dalam berbahasa lebih banyak melakukan hiperkoreksi. Realitasa ini, menurut (Coates, 1991), sebenarnya merefleksikan bahwa di bawah sadarnya perempuan menduduki posisi yang kurang mapan, lebih subordinat, dan lebih inferior, dibandingkan dengan kelompok lelaki.
Hal ini juga menunjukkan adanya ketimpangan gender dalam bahasa. Perbedaan yang menjurus pada ketimpangan antara ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan ini tampak pada perbedaan kosakata dan ungkapan, fonologis, dan gramatika.
Dalam hal kosakata dan ungkapan, ragam bahasa perempuan lebih banyak menggunakan kata-kata adjektiva, kosakata lebih sedikit, manja, irasional, dan berusaha mencapai norma standar dan standar ini dibuat kelompok lelaki (Kramarae, 1981; Coates, 1991). Dalam fonologi, nada akhir kalimat dalam ragam bahasa perempuan lebih berlagu dan lebih tinggi, sehingga terkesan kurang tegas, sedang nada pada ragam bahasa lelaki lebih rendah yang menyatakan ketegasan (Kramarae, 1981). Dalam gramatika, kelompok perempuan lebih banyak menggunakan kalimat majemuk setara, sebagai cermin ketidakmampuan menempatkan mana yang inti (induk) dan mana yang kurang inti (anak kalimat) (Lakoff, 1979). Menurut Jespersen (dalam Kweldju, 1993), kelompok perempuan tidak banyak menggunakan logika dalam gramatika, tetapi lebih banyak menggunakan intonasi dan intonasi ini merupakan cermin kekuatan emosinya. Oleh karena itu, bagaimanapun, ragam bahasa perempuan lebih sering membuat kesalahan dibandingkan dengan ragam bahasa lelaki. Lakoff (1979) juga mencatat bahwa perempuan lebih banyak menggunakan tag questions sebagai cermin ketidaktegasannya bersikap.
Kosakata suatu bahasa mewadahi seluruh ketimpangan gender. Dalam kosakata dan ungkapan bahasa Indonesia pun terjadi ketimpangan gender pada ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan. Contoh-contoh berikut diharapkan dapat memperjelas perbedaan kedua ragam tersebut:
 Pertama, beberapa ungkapan mencerminkan keberadaan wanita sebagai pemelihara kehidupan yang sabar, sedang lelaki sebagai penguasa kehidupan (cf. Kweldju, 1993). Perempuan-istri selalu menjadi ibu rumah tangga, sedang lelaki-suami otomatis menduduki posisi sebagai kepala rumah tangga, sebodoh apa pun lelaki itu, andai saja suami itu bodoh. Sebagai ibu rumah tangga, perempuan bertanggung jawab atas segala pekerjaan di dalam rumah, misalnya memasak, mencuci, mengasuh dan mengajari anak, menjaga dan merawat rumah—yang serba membutuhkan kelembutan dan kesabaran. Semua jenis pekerjaan tak berupah tersebut memunculkan ungkapan pekerjaan perempuan. Pendidikan anak lebih dibebankan kepada perempuanistri ketimbang suami, termasuk mengajari anak berbahasa, sehingga muncul istilah bahasa ibu (mother language). Istilah anak mama dan kasih sayang ibu, termasuk ungkapan alah Mak, aduh Mak—dan bukan *alah Pak, *aduh Pak—juga menunjukkan bahwa anak dipersepsi secara sosial sebagai urusan perempuan. Tanggung jawab istri sebagai perawat rumah memunculkan istilah nyonya rumah. Tetapi, penguasa tertinggi tetap lelaki-suami, sehingga acuan istilah kepala rumah tangga dan tuan rumah selalu kepada suami.
Kedua, beberapa ungkapan dan struktur gramatikal menunjukkan bahwa seakanakan perempuan itu ditakdirkan pasif, sedang lelaki dikodratkan aktif. Kepasifan perempuan (istri) ini juga ditempuh sebagai upaya untuk selalu menyenangkan, menjaga perasaan, dan menghormati lelaki (suami) (Spender, 1985). Seorang perempuan boleh saja jatuh cinta, tetapi ia harus menjaga dan bertahan jangan sampai ia mendahului mengungkapkan cinta terlebih dahulu. Ia mesti pasif menunggu. Maka, yang muncul dalam ungkapan gramatikal adalah Dina dipacari/ dilamar/ dipinang/ dinikahi/ diperistri Indra dan tentu bukan Dina *memacari/ *melamar/ *meminang/ *menikahi/ *mempersuami Indra. Seorang istri tidak dapat *menceraikan suami—sejahat apa pun suami itu—sebab kultur Indonesia hanya memberi kesempatan kepada istri untuk meminta cerai atau minta diceraikan. Sebuah ungkapan populer juga mencerminkan ketimpangan gender bias lelaki: dapur, sumur, lulur, kasur. Ungkapan ini jelas-jelas memerahkan telinga kelompok feminis aliran apa pun. Sebagai bandingan, dalam bahasa Jawa pun, yang justru lebih kaya, ada ungkapan yang berkenaan dengan betapa rendahnya peranan perempuan. Misalnya perempuan itu hanya awan dadi theklek, bengi dadi lemek (siang jadi bakiak, malam jadi alas untuk ditindih), masak, macak, manak (memasak, merias diri, melahirkan) atau pun neng omah, olah-olah, mlumah, mbegagah ngablah-ablah (di rumah, memasak, tidur terbuka menelentang) (Sobary, 2000). Boleh saja, ungkapan ini dikatakan sebagai sekadar beraroma traditional gender-based ideology, tetapi bahwa hal tersebut jelas fakta empiris konkret, sungguh tidak perlu diragukan.
Ketiga, beberapa kosakata dan ungkapan menunjukkan perempuan selalu menjadi korban dan disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan kesalahannya. Perempuan yang menjual diri sering disebut wanita panggilan, tetapi entah mengapa lelaki yang membutuhkan tidak pernah disebut *pria pemanggil. Yang sering dipersoalkan dan diucapkan adalah keperawanan atau kegadisan seorang perempuan dan tidak pernah dipermasalahkan keperjakaan seorang lelaki. Dalam dunia prostitusi, misalnya, sesungguhnya baik lelaki sebagai “pembeli” maupun perempuan sebagai “penjual” sama-sama berbuat tidak susila (asusila), tetapi sebutan yang ada hanya wanita tuna susila (WTS) dan tidak pernah ada *pria tuna susila (PTS) (Jupriono, 2003).
Keempat, beberapa kebiasaan nama dan panggilan menunjukkan bahwa perempuan sebagai penerima identitas, sedangkan lelaki pemberi identitas (cf. Kuntjara, 2003). Seorang perempuan-istri bernama Linda Astuti, setelah diperistri seorang lelaki bernama Subandi, di lingkungan sekitarnya mendadak sontak dipanggil Ny. Subandi atau Bu Subandi oleh tetangganya dan ia hilang identitasnya sehingga jarang disapa sebagai Ny. Linda atau Bu Astuti. Sementara, suaminya tetap pada identitasnya semula sebagai Pak Subandi—dan tidak mungkin dipanggil *Pak Linda atau *Tuan Astuti. Ini sungguh-sungguh tidak ada kesejajaran. Seorang perempuan yang menjadi “istri tak sah” dilabeli sebutan piaraan, istri gelap, atau pun simpanan, tetapi lelaki yang menjadikannya begitu tidak mendapat sebutan apa pun, misalnya *pemiara, *suami gelap, atau pun *penyimpan. Seorang istri langsung mendapat nama baru begitu suaminya menjabat, dan jika istri menjabat, suami bebas atau tidak usah nama baru. Begitu suaminya terpilih sebagai kepala desa (kades), istri akan dipanggil Bu Kades, dan wajib mengikuti pembekalan bagi istri kepala desa di tingkat kabupaten. Tetapi, suami yang istrinya menjadi kades, tidak usah dipanggil *Pak Kades dan tidak ada program negara *pembekalan bagi suami kepala desa.
Kelima, kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar baik untuk menyebut lelaki maupun perempuan. Julukan jago matematika, misalnya, berlaku baik untuk Rangga yang lelaki maupun Susi yang perempuan, kalau memang kedua memenuhi kualifikasi cerdas mengerjakan soal-soal matematika; tidak pernah ada *betina matematika sekalipun pemenang juaranya adalah Susi. Dengan kata lain, kata jago ini digunakan sebagai standar baik untuk lelaki maupun perempuan. Contoh lain: bapak pembangunan, bapak koperasi, bapak pendidikan. Belum pernah ada—atau mungkin tidak lazim—entah mengapa: *ibu pembangunan, *ibu koperasi, *ibu pendidikan, misalnya. Jika kosakata itu berbau perempuan, konotasi semantisnya cenderung negatif. Misalnya, Bejo yang perangainya kewanita-wanitaan disikapi sebagai negatif, disamakan dengan banci. Sebaliknya, perangai Eny yang tomboy, asal masih mau sedikit berdandan saja, akan diterima lebih positif—misalkan dianggap malah “modern”, “masa kini”, “gaul”—oleh sekitarnya.
Keenam, beberapa kosakata mencerminkan bahwa suatu jabatan, prestasi, organisasi, atau pekerjaan biasanya diisi oleh seorang lelaki, jika diisi oleh perempuan dianggap suatu “kelainan” atau kekecualian, dan untuk itu harus diembel-embeli kata wanita. Sebutan profesor, kesebelasan, pesilat, wartawan cenderung menggiring orang untuk menafsirkan bahwa semua itu untuk lelaki. Jika dilekatkan kepada perempuan, biasanya menjadi profesor wanita, kesebelasan wanita, pesilat wanita, wartawan wanita—seakan-akan hal itu suatu keganjilan. Seorang lelaki tidak usah disebut *lelaki karier ketika sukses berkarier, tetapi seorang perempuan yang bekerja di sektor publik langsung harus disebut wanita karier.
Ketujuh, ungkapan pemanggilan juga menempatkan perempuan sebagai golongan kelas dua, sehingga selalu disebut “setelah lelaki”. Yang lazim diungkapkan dalam pertemuan resmi, rapat, khotbah, ceramah, adalah Bapak-bapak, Ibu-ibu yang saya hormati…, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang berbahagia, … dan pastilah bukan *Ibu-ibu, Bapak-bapak yang saya hormati, … *Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang berbahagia, … Dalam surat undangan pun yang lazim tercetak adalah Kepada Yth.: Bpk/Ibu/Sdr. … dan tentu bukan *Kepada Yth.: Ibu/Bpk/Sdr. …
Kedelapan, dalam kebijakan institusional baik sektoral maupun nasional pun tergambar jelas betapa perempuan terus dan masih menjadi beban masalah dan tidak pernah mencapai kesetaraan seperti lelaki. Karena gerak nasib perempuan dirasakan ketinggalan, peranannya perlu terus ditingkatkan melalui ungkapan menteri peranan perempuan, Hari Kartini, dan Hari Ibu. Sebaliknya, lelaki tidak menjadi masalah, sehingga tidak membutuhkan *menteri urusan lelaki, *Hari Kartini, dan *Hari Bapak. Sebagai bagian dari masalah, bahkan kedudukan perempuan disejajarkan dengan anak-anak, sehingga perlu dibangun Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), sedangkan kaum bapak tidak memerlukan karena dianggap sudah mandiri dan sudah dapat menolong diri sendiri. Bahkan, perempuan disamakan kedudukannya dengan benda mati, misalnya dalam ungkapan harta, tahta, wanita, atau peluru dan wanita. Hal ini menggambarkan fakta bahwa nasib perempuan tersubordinasi, bahkan sampai tingkat bahasa sekalipun.
Kesembilan, beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/ berkedudukan melebihi suami, tetapi tidak diakui, atau kalau diakui, dengan malu-malu. Misalnya seorang istri yang berdagang, yang penghasilannya benar-benar jauh di atas suami—sehingga sesungguhnya merupakan tumpuan kebutuhan material keluarga— dengan rendah hati akan mengatakan: hanya membantu suami, untuk tambah-tambah saja, hanya kerja sambilan, atau bahkan yah …ketimbang menganggurlah. Dia akan mendapat cap buruk, penilaian negatif, dari sekeliling jika saja mengatakan *Saya yang menanggung kebutuhan keluarga, penghasilan suami cuma berapa. Secara psikologis kultural, terdapat ketakutan “menyaingi” atau “mengalahkan” suami pada seorang istri. Dalam dunia psikologi ada istilah syndrome of success fear.— suatu fenomena seorang istri takut kelihatan lebih sukses ketimbang suaminya, takut suaminya tampak lebih bodoh (Sudarwati, 2003). Dalam hal demikian, seorang istri juga mengalami “kematian subjek”: menjadi diri sendiri pun tidak berani. (cf. Faucault, 1979).

III.             SIMPULAN
·         Ada dua masalah yang menyebabkan terjadinya ekspresi bahasa gender, yaitu dominasi dan perbedaan.
·         Hubungan antara bahasa dan gender terealisasi dalam tiga macam, yaitu : bahasa mencerminkan pembagian gender, bahasa menciptakan pembagian gender, dan bahasa dengan struktur sosial saling berpengaruh.
·         Dalam sosiolinguistik, variasi bahasa dapat terjadi karena perbedaan gender. Penggunaan bahasa berkaitan dengan gender tidak hanya terdapat pada pemakaian nama keluarga, tetapi juga pada ekspresi ungkapan, pertentangan perempuan dan laki-laki.
·         Sehubungan dengan ketimpangan gender pada kosakata dan ungkapan dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut. (1) Beberapa ungkapan mencerminkan wanita pemelihara kehidupan yang sabar, sedang lelaki penguasa kehidupan. (2) Beberapa struktur gramatikal bahasa Indonesia menunjukkan perempuan itu pasif, sedang lelaki aktif. (3) Beberapa kosakata dan ungkapan menunjukkan perempuan selalu menjadi korban dan disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan. (4) Beberapa kebiasaan nama dan panggilan menunjukkan bahwa perempuan penerima identitas, sedangkan lelaki pemberi identitas. (5) Kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar untuk menyebut lelaki maupun perempuan. (6) Beberapa kosakata mencerminkan bahwa suatu jabatan, prestasi, organisasi, atau Parafrase Vol. 10 No. 01 Februari 2010 38 pekerjaan biasanya diisi lelaki, jika diisi perempuan dianggap suatu “kelainan” dan untuk itu harus diembel-embeli kata wanita. (7) Ungkapan pemanggilan juga menempatkan perempuan sebagai golongan kelas dua. (8) Dalam kebijakan institusional tergambar jelas betapa perempuan masih menjadi beban masalah dan tidak pernah mencapai kesetaraan (9) Beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/berkedudukan melebihi suami, tetapi tidak diakui.


RINGKASAN KRITIK SASTRA PADA NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUH” KARYA AHMAD TOHARI

Nama : Faisal Akbar
NPM : 21402071069
Prodi : Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia
Mata Kuliah : Pembelajaran sastra
Tugas : Analisis Novel

KRITIK SASTRA PADA NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUH” KARYA AHMAD TOHARI

Setelah membaca lebih lanjut, ada dua hal penting yang menurut saya perlu ditelaah untuk memberikan pandangan kritis pada novel tersebut, yaitu :
·         Menurut saya, Ahmad Tohari sebagai seorang penulis novel cenderung ingin menghilangkan budaya negatif akan ronggeng yang telah bertahun-tahun menjadi perjalanan sejarah masyarakat di Jawa. Karena dalam novel tersebut hanya diceritakan sisi negatif dari budaya ronggeng saja, tidak ada pandangan positif dan bermanfaat sedikitpun dari ronggeng itu sendiri untuk masyarakat jawa khususnya pada masa kini.
Dalam hal mengungkap realita akan ronggeng, dijelaskan dua pengalaman penting srintil sebagai ronggeng pada novel tersebut dalam goresan kehidupannya. Pertama, ketika dia harus menjalankan peran sebagai gowok. Kedua, ketika pada akhir kehidupannya secara tidak dimengerti oleh srintil sendiri, ronggeng itu terlibat dalam kekuatan politik pada tahun 1965. Srintil yang bermartabat, cantik, dan masih sangat belia harus berhadapan dengan ketentuan sejarah yang sekalipun tak pernah dibayangkan.
·         Hal kedua yang perlu dikritik pada novel ini adalah adanya pemikiran Ahmad Tohari yang cenderung memihak kepada PKI pada peristiwa 1965 karena dalam isi ceritanya pada novel ini mengarahkan bahwasannya ada yang lebih bersalah dalam peristiwa tersebut sehingga memakan lebih banyak korban, Sedangkan sampai sekarang pun sejarah telah menutupinya, dalam tulisannya pada novel tersebut dijelaskan beberapa peristiwa penahanan dan pembunuhan orang-orang yang tidak bersalah, bodoh, tidak mengerti apa-apa dengan semena-mena mereka dianggap PKI. Dalam novel ini disebutkan diantara semuanya itu adalah masyarakat dukuh paruh yang tidak bisa membaca telah menjadi korban penahanan dan pembunuhan keji bersama anggota PKI lainnya. Menurut saya, Ahmad Tohari ingin menjelaskan bahwa pada realitanya dibalik peristiwa G30S/PKI, dampaknya telah memakan lebih banyak korban dari korban yang telah dilakukan oleh PKI sendiri, termasuk masyarakat yang bodoh pada waktu itu dan tidak bersalah seperti halnya masyarakat Dukuh Paruh yang dianggap sebagai bagian dari PKI menjadi korban pembunuhan.

Dari kedua hal tersebut, menurut saya Ahmad Tohari ingin mengubah pola pikir masyarakat pedesaan dari keterbelakangan dimata orang kota. Beliau menginginkan bahwasannya masyarakat desa juga harus memiliki  ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas sama seperti masyarakat di kota, sehingga negara Indonesia mempunyai kemampuan SDM yang baik dan merata secara keseluruhan.

Kamis, 19 Mei 2016

TEORI PEMEROLEHAN BAHASA MODEL NATIFIS LAD


BAB I
Pendahuluan
1.1  Latar Belakang

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).
Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167).
Sejak behaviorisme khususnya TPB Model Pengondisian Operan memperoleh kritik dan sanggahan, muncullah pandangan baru mengenai pemerolehan bahasa. Pandangan baru tersebut dilandasi oleh pikiran-pikiran rasionalis. Sejalan dengan pandangan rasionalis ini, muncullah usaha-usaha membangun dan mengontruksi TPB baru (sebagai alternatif TPB Model Pengondisian Operan) berdasarkan pikiran-pikiran rasionalis. Dalam kaitan ini sangat besar dan signifikan peranan Chomsky yang telah mengubah pandangan tentang pemerolehan bahasa dan yang merintis munculnya TPB baru yang rasionalis, yaitu TPB Model Nativis LAD. Sehubungan dengan hal itu, Chomsky dapat dianggap pencetus dan pengemuka TPB Nativis LAD.

1.2  Rumusan Masalah
1. Bagaimana landasan TPB Model Nativis LAD ?
2. Bagaimana Pandangan TPB Model Nativis LAD ?
3. Bagaimana kritik TPB Model Nativis LAD ?       

1.3  Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui landasan TPB Model Nativis LAD
2.      Untuk mengetahui pandangan TPB Model Nativis LAD
3.      Untuk mengetahui kritik TPB Model Nativis LAD

BAB II
                                                            Pembahasan

2.1 Landasan TPB Model Nativis LAD

        Nativist Theory adalah teori yang menyebutkan bahwa manusia memperoleh bahasa secara alami, teori ini kemudian dikenal dengan hipotesis nurani yang dipelopori oleh  chomsky. Hipotesis nurani lahir dari sebuah pertanyaan, sebenarnya alat apa yang digunakan anak dalam memperoleh bahasanya yang kemudian dijadikan bahan penelitian oleh kedua pelopor tersebut.
            Teori chomsky ini menegaskan bahwa bahasa merupakan warisan, manusia sejak lahir sudah dibekali genetik untuk berbahasa.maka hipotesis naluri berbahsa merupakan suatu asumsi yag menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian bahasa tidaklah diperoleh atau dipelajari, akan tetapi ditentukan oleh fitur fitur nurani yang khusus dari organisme manusia.hipotesis ini menekankan bahwa ada nya suatu benda yang dibawa manusa sejak lahir yaitu laguage acquisition device (LAD ). Cara kerja dari LAD ini bisa dijelaskan apabila sejumlah ucapan yang cukup memadai dari suatu bahasa ditangkap atau diberikan kepada LAD, maka LAD akan membentuk masukan itu menjadi tata bahasa formal sebagi keluaran.
            Sebagaimana telah disinggung di muka, TPB Model Nativis LAD Chomsky ini di topang secara kuat-kukuh oleh linguistik generatif transformasi dan filsafat rasionalisme Descartes (Chomsky, 1965:48). Kedua disiplin ini melandasi secara kukuh TPB Model Nativis LAD. Secukupnya di uraikan berikut ini.
            Sebagaimana diketahui, linguistik generatif transformasi dikemukakan juga oleh Chomsky. Secara konsepsional, linguistik generative ini meyakini bahwa bahasa merupakan cermin pikir dan hasil kecendikiawanan manusia yang selalu dihasilkan secara baru oleh setiap individu dengan operasi-operasi yang mengatasi jangkauan keinginan dan kesadaran manusia (Chomsky, 1975:4). Disni Chomsky mengartikan bahasa adalah seperangkat kalimat yang apabila ditinjau dari pola struktur dasarnya bersifat terbatas, dan sekaligus bersifat tak terbatas apabila ditinjau dari perwujudannya dalam bahasa (Busri dan Badrih, 2015:23).
            Bahasa dianggap sebagai sesuatu yang diciptakan oleh kedinamisan dan kemampuan organisme manusia yang menitikberatkan pada kemampuan kreatifnya (Samsuri, 1973:10). Dengan demikian, dalam linguistik generative transformasi matra kreatif bahasa dan kekreatifan manusia sangat diperhatikan pula bahasa tulis dan lisan, matra-matra universal dan individual bahasa, dan operasi-operasi bahasa (Samsuri, 1971:22).
            Sementara itu, filsafat rasionalisme Descartes menekankan rasio atau akal budi manusia. Hal itu dirumuskan dalam slogan Descartes yang sangat terkenal dalam buku “Risalah tentang Metode” [Discours la Methode]: Cogito ergo sum, yang artinya aku berpikir maka aku ada. Berkenaan dengan slogan tersebut, ajarannya yang paling penting adalah kesangsian metodis, gagasan-gagasan kodrati atau bawaan, dan subtansi (Pardja, 1987). Manusia di pandang sebagai makhluk dualistis. Manusia terdiri dari dua subtansi, yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Dengan demikian, tubuh sekedar mesin yang dijalankan oleh jiwa (Pardja, 1987:10). Karena itu, jiwa atau pikiran merupakan komponen paling utama dan penting dalam diri manusia.
            Secara tersirat dan tersurat, pandangan-pandangan inilah yang melandasi pandangan-pandangan konseptual (baik yang menyangkut diri manusia selaku pembelajar proses pemerolehan bahasa) TPB Model Nativis LAD. Tegasnya, pandangan-pandangan TPB Model Nativis LAD diilhami sekaligus ditransformasikan dari pandangan-pandangan konseptual linguistik genaratif transformasi dan filsafat rasionalisme Descartes.


2.2 Pandangan TPB Model Nativis LAD

   Berbeda dengan kaum behaviorisme, kaum nativis atau mentalis berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa pertama, sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah di programkan.
Pada hakikatnya aliran nativisme menekankan kemampuan dalam diri seorang anak. Oleh karena itu faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetic dari orang tua. Istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat.
            Dalam teori ini dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir atau bakat. Teori ini dipelopori oleh filosiof Jerman, Arthur Schopenhauer yang beranggapan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh alam sekitar atau pendidikan.
            Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan anak dalam teori Nativisme:
1.       Faktor genetik, faktor gen dari kedua orang tua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul dari diri manusia.
2.       Faktor kemampuan anak, faktor yang menjadikan faktor seorang anak mengetahui potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.
3.       Faktor pertumbuhan anak adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu normal mala dia akan bersikap energik, aktif, dan responsive terhadap kemampuan yang di miliki. Sebaliknya jika pertumbuhan anak tidak normal, maka anak tersebut tidak bisa mengenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.
TPB model Nativis LAD menekankan spekulasi rasional tentang proses mental yang dialami oleh pembelajar sewaktu belajar bahasa. Pembelajar sebagai manusia dipandang selalu aktif dan kreatif (Chomsky, 1965:48). Jiwa manusia selalu aktif dan kreatif mengolah masukan masukan bahasa yang diterimanya. Keaktifan dan kekreatifan ini tidak bergantung pada adanya stimulus atau peneguhan yang berasal dari faktor eksternal lingkungan terutama orang tua. Keaktifan dan kekreatifan terjadi karena struktur kejiwaan memang bersubtansi demikian.
Dalam struktur kejiwaan manusia terdapat sebuah piranti yang mengurusi pemerolehan bahasa. Menurut TPB model Nativis LAD, setiap manusia normal yang dilahirkan ke dunia sudah diperlengkapi dengan sebuah piranti pemerolehan bahasa. Piranti itu lazim disebut dengan LAD ( Languange Aquisition device ) dan LAS (Languange Aquisition System) (Chomsky, 1965: 55). Sebagai contoh bahasa Indonesia dapat dibentuk TPB (Piranti Pemerolehan Bahasa) atau SPB ( Sistem Pemerolehan Bahasa ). Jadi, manusia lahir membawa LAD, bukan bahasa tertentu yang sudah pasti, manusia lahir membawa kemampuan kodrati untuk melakukan pemerolehan bahasa apa pun, bukan kosong sama sekali sebagaimana diyakini oleh teori tabula rasa (Brown, 1980: 20). Tanpa adanya LAD mustahil seseorang dapat menguasai bahasa pertama dalam waktu yang relatif cepat-singkat dan menguasai suatu sistem bahasa yang demikian kompleks dan abstrak keberadaannya.
Adanya LAD dalam struktur kejiwaan manusia sebagai mana diyakini oleh TPB model nativis LAD didukung oleh bukti neurobiologis atau kajian neurolinguistik yang dikerjakan oleh TPB model neurobiologis. Dalam struktur anatomis manusia ternyata juga terdapat bagian-bagian otak dan saraf-saraf tertentu yang yang mengurusi bahasa. Berdasarkan kajian neurobiologis ditemukan bahwa hemisfer serebral kiri otak manusia bertugas mengurusi bahasa.
            Dalam hemisfer serebral kiri ini terdapat daerah broca, daerah wernicke, daerah kortek superior atau kortikal motoris, daerah rolando, sistem sentral sefalis, daerah-daerah audotoris utama, dan daerah visual utama. Daerah-daerah ini beserta saraf-saraf yang menghubungkannya menjadi sebuah struktur anatomis otak sepenuhnya mengurusi bahasa manusia, dalam hal ini mengurusi pemahaman dan produksi bahasa (Paivio dan Berg, 1981). Dengan demikian, struktur anatomis ini mendukung sepenuhnya klaim TPB model Naitivis LAD, tentang adanya LAD didalam struktur kejiwaan manusia.
            Secara konseptual LAD ini didefinisikan sebagai struktur kejiwaan yang mengurusi bahasa yang secara kodrati atau bawaan terdapat dalam benak setiap manusia sejak lahirnya. Jadi, LAD tersebut dimiliki setiap manusia pada umumnya (Chomsky, 1965: 31). Secara pasti dan konkret isi LAD memang tidak dapat diketahui. Yang jelas dengan komponen-komponen tersebut LAD mampu memproses masukan data linguistik yang diterimanya dengan jalan internalisasi. Dengan kata lain, LAD berkemampuan menginternalisasikan masukan data linguistik dan mebuat kaidah-kaidah tata bahasa (Chomsky, 1965:31).
            Mc Neil menambahkan bahwa LAD memiliki kemampuan untuk (1) memilah-milahkan antara suara manusia dengan suara yang lain, (2) mengorganisasikan kejadian-kejadian linguistis menjadi kelas-kelas tertentu yang secara “sambil jalan” klasifikasi ini disempurnakan, (3) mangatur data linguistik yang sudah diklasifikasikan pada butir, (4) mengadakan penilaian terus-menerus dalam rangka membuat sistem bahasa yang paling sederhana. Jadi, LAD memiliki kemampuan mengolah masukan data linguistik yang diterimanya menjadi kompetisi gramatikal (Brown, 1980: 80).
            Berdasarkan paparan tentang konsep dan prinsip kerja LAD tersebut dapat dipahami ihwal pemerolehan bahasa berlangsung menurut TPB model Nativis LAD. Menurut TPB model nativis LAD terdapat 3 komponen mekanisme pemerolehan bahasa yaitu masukan, pengolah, dan keluaran. Masukan berisi data linguistik primer yang merupakan bahasa tertentu, misalnya bahasa Indonesia. Pengolah berisi LAD dengan prinsip-prinsip kerja sebagaimana dikemukakan di muka. Keluaran berisi kompetensi gramatikal bahasa yang dipelajari pembelajar.


DATA LINGUISTIK PRIMER

KELUARAN

PENGOLAH
 


           





            Perlu ditambahkan disini bahwa data linguistik primer berupa ujaran orang dewasa dan kompetensi gramatikal berupa tata bahasa yang pada akhirnya terwujud dalam ujaran-ujaran pembelajar.
            Mekanisme kerja tersebut menunjukkan bahwa proses pemerolehan bahasa sangat tergantung pada LAD. LAD adalah satu-satunya komponen yang terlibat pada proses pemerolehan bahasa. Tidak ada komponen lain (baik komponen kognitif maupun afektif) selain LAD yang beroperasi sewaktu proses pemerolehan bahasa berlangsung. Hal ini mengimplikasikan bahwa proses pemerolehan bahasa mengikuti strategi umu tanpa dipengaruhi faktor-faktor lain. Dalam huungan inilah kemudian Chomsky memutuskan hipotesis universal dan adanya tata bahasa universal. Hipotesis universal meyakini bahwa faktor linguistik lebih menentukan proses pemerolehan dari pada faktor-faktor kognitif umum. Sedangkan tata bahasa universal merupakan sifat yang sudah melekat dalam pikiran manusia yang terdiri dari seperangkat prinsip umum yang diterapkan pada semua bahasa dari pada seperangkat kaidah umum.
            Implikasi lebih lanjut pengakuan adanya tata bahasa universal sewaktu LAD beroperasi ialah bahwa pemerolehan bahasa mengikuti tahapan-tahapan dan urutan-urutan pemerolehan yang teratur dan sistematis. Seseorang yang belajar bahasa akan memperoleh bahasa yang dipelajarinya secara berangsur-angsur sesuai dengan strategi umum pemerolehan bahasa yang terdapat dalam LAD. Hal ini telah dibuktikan dengan kajian-kajian khusus, longitudinal jangka panjang, dan lintas seksional dalam jangka pendek.
             Kasus kendali dibawah ini menyongkong sepenuhnya pertanyaan diatas, kendali mengungkapkan “Kimmy naik sepeda” melalui proses sebagai berikut (Saryono, 2010:40) :



TAHAP 1
baba
 






TAHAP 2
bike

TAHAP 3
Kimmy Bike

TAHAP 4
Kimmy ride bike

TAHAP 5
Kimmy is riding on a bike
 
























            Dalam penelitiannya, Klima dan Bellugi menemukan bahwa anak-anak yang belajar bahasa Inggris sebagai B1 memperoleh negasi melalui 3 tahapan. Pertama, mereka menempatkan negasi di depan kalimat afirmatif. Kedua, pamarkah negatif digunakan ditengah-tengah ujaran dan digunakan bersama-sama dengan can dan do. Ketiga, kopula be dan modal will digunakan bersama-sama dengan pemarkah negasi. Pada tahapan ini penguasaan mereka tentang kalimat negasi hampir betul, kecuali tenses. Disamping itu, Clark (1977 : 347-351) juga mengamati pola-pola peniruan anak terhadap pola-pola orang dewasa Clark menemukan 3 tahapan perkembangan peniruan anak-anak tiga tahapan tersebut sebegai berikut :

Norma Dewasa                                                                                  Peniruan anak-anak
Lassie doesn’t like the water                                                              He no like water
Does Jhonie want a car                                                                       Jhonie want car
The cat is being chased by dog                                                           Cat chasing dog
Jill dan Peter meneliti pemerolehan morfem, dengan menggunakan rancangan lintas seksional, sebanyak 21 anak diteliti. Kedua puluh satu anak tersebut diuji penguasaanya terhadap morfem-morfem gramatikal (14 morfem gramatikal bahasa Inggris) berdasarkan kecermatan ujarannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa urutan kecermatan yang diperoleh sama atau mirip. Hal ini berarti anak-anak menggunakan strategi umum dalam pemerolehannya dan aktif-kreatif selama pemerolehan (Littlewood, 1985:9).


2.3 Kritik TPB Model Nativis LAD

            Meskipun banyak penelitian telah mendukung pandangan dasar TPB model Nativis LAD, berbagai kritik teralamatkan juga pada teori model ini. Kritik-kritik dari berbagai ahli bahasa dan pengajaran bahasa terhadap model ini terpusat pada konsep LAD yang dicetuskan Chomsky. Kritik-kritik itu diantaranya dikemukakan oleh McNeil (1970), Brown (1980), Paivio dan Berg (1981), dan Ellis.
            Brown (1980:22) mengkritik proposisi LAD yang dikemukakan oleh Chomsky. Dia mengatakan bahwa proposisi LAD terlalu filosofis dan tidak memiliki landasan yang kuat. Secara ekstrem McNeil menambahkan bahwa LAD adalah fiktif belaka, tak ada pernyataan neurobiologis atau fisikal. Menurut Brown proposisi adanya Tuhan yang menciptakan manusia, kita tidak tahu secara pasti bagaimana manusia diciptakan sehingga kita mengusulkan suatu entitas sebagai pencipta manusia. Demikian juga hakikat adanya LAD, kita sebenarnya tidak mengetahui secara pasti bagaimana anak mampu mengolah data bahasa sehingga dia mampu mengolah bahasa pertama dengan baik. Oleh sebab itu, kita menciptakan LAD yang kita anggap sebagai suatu pada paparan-paparan di muka.
            Sementara itu Pavio dan Berg mempertanyakan asumsi dan pandangan dasar TPB Model Nativis LAD mengenai kekodratian kemampuan dan kememadaian model linguistik generatif transformasi sebagai pendekatan untuk mengkaji perkembangan bahasa. Mereka mengemukakan bahwa walaupun ujaran-ujaran anak-anak dapat dibangkitkan melalui kaidah struktur dasar, tetapi kemampuan itu tidak berarti kodrati atau bawaan. Selain itu, dapatkah setiap konstruksi diperoleh melalui pengalaman? Beberapa bukti menunjukkan demikian. Hal ini menunjukkan kelemahan TPB Model Nativis LAD yang menyatakan bahwa peranan lingkungan kecil sekali dalam pemerolehan bahasa pertama.
            Selanjutnya, Francesto (1987:134) juga mempertanyakan mekanisme kerja LAD pada anak-anak yang bilingual. Dia bertanya : bagaimanakah mekanisme kerja LAD pada anak-anak bilingual dan lingkungan diglosa ? TPB model Nativis LAD sama sekali tidak menyinggung persoalan ini dalam paradigma teorinya. LAD hanya digunakan untuk satu bahasa. Sebab itu, Monks menyatakan bahwa LAD tidak bisa di uji secara empiris. LAD hanyalah spekulasi rasionalis-logis yang hanya hidup dalam pikiran manusia.
            Beberapa kritik yang dikemukakan di atas dapat dimengerti karena LAD memang sangat filosofis, rasionalis, dan sulit sekali dibuktikan secara empiris. Chomsky sendiri tidak pernah memberi bukti empiris melalui penelitian khusus dan longitudinal. Meskipun demikian, tidak berarti LAD tidak dapat dibuktikan secara empiris. Kemungkinan LAD dibuktikan secara empiris begitu besar. Bahkan adanya LAD itu sendiri secara rasionalis-logis dapat diterima sebab tidak mungkin manusia dapat memperoleh bahasa atau belajar bahasa tanpa mempunyai alat khusus untuk itu. Yang tidak dapat diterima adalah penggunaan LAD sebagai satu-satunya unsur yang menentukan pemerolehan bahasa (Saryono, 2010:44).
            Meskipun mendapatkan berbagai kritik dan sanggahan, TPB Model Nativis LAD patut dihargai dan dipujikan seperti sama halnya TPB model pengondisian operan. Penghargaan dan pemujian dapat berupa pembelaan dan pengakuan perannya. Baradja (1986:9) menyatakan ketidakmengertiannya atas kritik Brown. Dia berpendapat bahwa kritik Brown menegenai LAD kurang dilandasi oleh pandangan filosofis yang benar. Menurut Baradja, sebuah teori memang merupakan suatu proposisi yang menurut hakikatnya filosofis. Kekuatan suatu teori tidak terletak pada bisa atau tidaknya teori itu diamati, tetapi terletak pada kecocokan eksplanatori dengan fakta. Atas dasar hal ini, menurut Baradja, LAD dapat di ukur kebenarannya.
            Patut dihargai dan dipujikan juga peranan TPB Model Nativis LAD dalam memberikan ilham kepada para linguis dan ahli pengajaran bahasa kedua untuk meneliti pemerolehan B2. Harus diakui bahwa TPB Model Nativis LAD telah mendorong dilakukannya penelitian-penelitian pemerolehan B2 secara sistematis dan saksama.


BAB III
   Penutup

3.1 Kesimpulan

a)      TPB Model Nativis LAD atau Nativist Theory adalah teori yang menyebutkan bahwa manusia memperoleh bahasa secara alami, teori ini kemudian dikenal dengan hipotesis nurani yang dipelopori oleh  chomsky.
b)      TPB Model Nativis LAD Chomsky ini di topang secara kuat-kukuh dan berlandaskan oleh linguistik generatif transformasi dan filsafat rasionalisme descrates “cogito ergo sum”.
c)      TPB model Nativis LAD menekankan spekulasi rasional tentang proses mental yang dialami oleh pembelajar sewaktu belajar bahasa. Pembelajar sebagai manusia dipandang selalu aktif dan kreatif.
d)     Beberapa kritik yang dikemukakan di atas dapat dimengerti karena LAD memang sangat filosofis, rasionalis, dan sulit sekali dibuktikan secara empiris. Chomsky sendiri tidak pernah memberi bukti empiris melalui penelitian khusus dan longitudinal. Meskipun demikian, yang tidak dapat diterima dari semua kritik adalah penggunaan LAD sebagai satu-satunya unsur yang menentukan pemerolehan bahasa.


3.2 Saran

            Semua perbedaan teori tentang pemerolehan bahasa menandakan kemajemukan perhatian seluruh manusia terhadap ilmu kebahasaan. Setiap manusia akan memilih dimana tempat dia memposisikan dirinya terhadap sedemikian banyak teori yang ada. Semoga makalah tersebut memberikan hikmah kepada setiap pembaca yang mengapreasiasi setiap pemikiran-pemikiran orang-orang sebelum kita, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca umumnya dan khususnya bagi penyusun.
Daftar Pustaka
Baradja, M.F. 1986. Pemerolehan Bahasa Pertama. Buku Pegangan Pengajaran Bahasa. Malang: Fakultas Pascasarjana IKIP Malang.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Chomsky, Noam. 1965. Aspect of the Theory of Syntax. Cambridge, Massachusetts : MIT Press.
Chomsky, Noam. 1968. Languange and Mind. New York: Phanteon Books.
Chomsky, Noam. 1975. Reflection on Languange. New York : Pantheon Books.
Clark, Hebbert H. dan Eve V Clark. 1977. Psycholinguistics. New York : Harcourt Jovanovivich,Inc.
Pardja, Juhaya S. 1987. Aliran-aliran Filsafat dari Rasionalisme hingga Sekularisme. Bandung : Alva Gracia.
Samsuri. 1971. Tata Bahasa Generatif Transformasi. Malang: Tim Publikasi Ilmiah FKSS IKIP Malang.
Saryono, Djoko. 2010. Pemerolehan Bahasa. Malang: Nasa Media.
ChaerAbdul,http://bio-sanjaya.blogspot.com/2015/03/materi-ukg-psikolinguistik-dan-teori.html