Kamis, 26 Mei 2016

Bahasa dan Gender



I.                   PENDAHULUAN

Sosiolinguistik terdiri dari dua unsur kata yaitu sosio dan linguistik. Linguistik yaitu ilmu yang mempelajari bahasa khususnya unsur-unsur bahasa (ucapan, kata, kalimat) dan hubungan antara unsur tersebut, termasuk pembentukan unsur tersebut. Sedangkan kata sosio searti dengan kata sosial yaitu yang berhubungan dengan masyarakat. Jadi sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan bahasa yang berhubungan dengan penutur bahasa yang merupakan bagian dari anggota masyarakat. Gunawan menyatakan bahwa sosiolinguistik merupakan kajian yang mengaitkan masalah kebahasaan dengan masalah kemasyarakatan (2001; 14-15). Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan penggunaan bahasa karena ketiga unsur  ini berinteraksi dalam dalam dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur, identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan ragam linguistik.
Dalam sosiolinguistik dikenal bermacam ragam bahasa dalam masyarakat. Apa yang terjadi pda ragam bahasa masyarakat bukanlah hal yang tidak terkontrol atau variasi bebas, akan tetapi selalu berhubungan dengan konteks sosial. Dikatakan oleh Labov, Bailey, dan Trudgill bahwa “what earlier linguists had considered irregularity or free variation in linguistic behavior, can be found to show regular and predictable statistical patterns “ (Saville-Troike, 1882). Ragam bahasa tersebut merupakan variasi yang terjadi pada masyarakat yang merupakan aspek-aspek yang dihasilkan oleh penuturnya untuk berkomunikasi dalam masyarakat.
Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia terpilih menjadi dua jenis, perempuan dan laki-laki. Gender merujuk pada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat status, posisi, dan perannya dalam masyarakat serta terjadinya perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial-kultural.
Jika aspek penutur tersebut dipandang dari segi gendernya, akan didapat secara garis besar dua ragam bahasa, yaitu ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan (Kweldju, 1993). Dikatakan “secara garis besar”, sebab dari sudut pandang gender. Realitas ragam bahasa ternyata tidak hanya itu. Beberapa penelitian terakhir misalnya, menunujukkan adanya nragam bahasa kelompok homoseksual (gay dan lesbian) (Sari, 2003). Meskipun demikian, pembahasan dalam tulisan ini dibatasi hanya pada perbedaan ragam bahasa lelaki dan perempuan yang mengarah pada ketimpangan gender.
Dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat. Ada ungkapan “mengapa cara berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dengan kata lain, kita tertuju pada beberapa faktor yang menyebabkan wanita lebih suka menggunakan bahasa standar dibandingkan dengan pria. Berkaitan dengan itu, patut dicermati bahasa sebagai bagian sosial, perbuatan yang berisi nilai, yang mencerminkan percampuran jaringan sosial, politik, budaya, dan hubungan usia dan masyarakat.
II.                PEMBAHASAN
2.1  Sekilas tentang Gender
Manusia diciptakan menjadi dua jenis kelamin yaitu : laki-laki dan perempuan. Dilihat dari aspek biologis secara kodrati memang diakui adanya perbedaan (distinction), bukan pembedaan (discrimination) antara laki-laki dan perempuan. Meski demikian, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang selanjutnya bersifat komplementer, saling mengisi dan melengkapi bukan saling kompetitif (Istibsyaroh, 2004: 2). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:353) kata gender berarti jenis kelamin.
Menurut Munjin (dalam www.wordpress.com) ada dua masalah yang menyebabkan terjadinya ekspresi bahasa gender, yaitu dominasi dan perbedaan. Dari berbagai penelitian di bidang bahasa, kaitannya dengan kehidupan sosial-politik dan budaya masyarakat, terlihat bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Budaya patriarki mendudukkan posisi laki-laki menjadi lebih superior pada gilirannya akan melahirkan perbedaan bahasa yang bukan hanya terletak pada perbedaan suara, pemakaian gramatika, pemilihan kata, tetapi juga pada cara penyampaian. Bahkan menurut Linda Thomas (dalam Munjin,www,wordpress.com) dalam sebuah acara yang diikuti oleh laki-laki dan perempuan, perempuan sering tidak mendapatkan waktu untuk melakukan interupsi, dan bila ada kesempatan maka ia tidak ditanggapi serius. Masalah perbedaan ini timbul dikarenakan adanya dominasi satu pihak terhadap pihak lain yang kemudian melahirkan stigma bahwa perempuan adalah korban yang tidak berdaya, sedangkan laki-laki dengan perempuan pada tahapan-tahapan dalam kehidupan sosial budaya.
Jika ditelusuri kebelakang, dalam sejarah kemanusiaan dominasi laki-laki atas perempuan dan stereotip yang dibentuk oleh gender sudah ada sejak zaman dahulu. Banyak pendapat mengatakan bahwa faktor teologis adalah faktor utama menancapnya faham patriarki dalam masyarakat, karena agama-agamalah yang memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Salah satu konsep teologis yang memberikan citra negatif kepada kaum perempuan ialah anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab tergelincirnya Adam dari Surga ke planet bumi, karena rayuannya, Adam lengah lalu memakan buah terlarang menyebabkannya terlempar ke bumi. Kaum perempuan kemudian harus menanggung akibat lebih besar.
Para penulis wanita dan pembaca wanita selalu harus bekerja melawan hakikatnya sendiri. Aristoteles mengatakan bahwa “wanita adalah wanita berdasarkan atas kekurangan mereka terhadap kualitas-kualitas tertentu”, dan St. Thomas Aquinas yakin bahwa wanita adalah “laki-laki yang tidak sempurna”. Ketika Donne menulis “Air and Angel” ia menyinggung (tetapi tidak menyangkal) teori Aquinas bahwa bentuk adalah laki-laki dan masalah adalah perempuan, pikiran laki-laki lebih unggul dari pada dewa, mengesankan bentuknya pada masalah yang perempuan, yang tak berdaya, dan lemah. Dalam masa sebelum Mendel, para lelaki memandang sperma mereka sebagai benih yang aktif yang memberi kepada ovum yang menanti dan kekurangan identitas hingga menerima pengaruh laki-laki. Dalam trilogi Aeschylus, The Oresteia, kemenangan dianugerahkan oleh Athena kepada tuntutan laki-laki, sesuai dengan pendapat Apollo, bahwa ibu bukan orang tua anaknya. Kenangan prinsip laki-laki intelek membawa akhir pemerintahan Furies, perempuan yang sensual dan memaksakan patriarki dan matriakri (Pradopo dan Abdullah 1993:135).
Untuk mengimbangi dominasi model maskulin yang lebih menguasai jagad berbahasa ini menurut berbagai contoh diatas, ada tawaran metode feminis. Metode ini berusaha untuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menyatakan pendapat, masalah, pertanyan serta saran-saran yang serius tidak didengar masyarakat dan diabaikan oleh peneliti nonfeminis. Pendeknya, metode ini menghasilkan perubahan status quo kehidupan perempuan yang mampu menyadarkan perempuan akan kondisi mereka yang sangat tidak terbebas.
2.2  Relasi Penggunaan Bahasa dan Gender
Beberapa Fenomena  menunjukkan bahwa nama laki-laki dipakai untuk melengkapi nama wanita, tetapi tidak sebaliknya. Nama-nama tersebut mudah saja didapatkan dalam lingkungan kita sehari-hari, seperti anisa Bskoro, Ani Yudhoyono, Sonya Mahler. Panggilan nama itu akan terasa “ganjil” seandainya menjadi Baskoro Anisa, “Yudhoyono Ani, atau “Mahler Sonya.
Hellinger (2002:15) menyebutkan penggunaan bahasa berkaitan dengan gender tidak hanya terdapat pada pemakaian nama keluarga, tetapi juga pada ekspresi ungkapan pertentangan perempuan dan laki-laki.
Penggunaan gender dalam ekspresi ungkapan terdapat pada “surga terletak di telapak kaki ibu”, “ibu kota”,” induk semang”, “nenek moyang”, “dewi malam” (bulan), dan “putri malu” (jenis tumbuhan). Tidak mungkin ekspresi ungkapan itu diganti “surga itu terletak di telapak kaki ayah”, “bapak kota”, “bapak semang”, “kakek moyang”, “dewa malam, dan “putra malu”.
Hubungan antara bahasa dan gender dapat terealisasi dalam tiga macam hubungan menurut pandangan Graddol dan joan (2003: 13) yaitu :
1.              Bahasa mencerminkan pembagian gender
Penggunaan bahasa bersifat sensitive terhadap pola-pola hidup dan pola-pola interaksi sehingga terindikasi bahwa perbedaan pengalaman sosial antara laki-laki dan perempuan mempunyai efek tertentu dalam perilaku berbahasa. Dengan demikian, bahasa dipandang sebagai creminan masyarakat.
                Perbedaan linguistic semata-mata merupakan suatu cerminan perbedaan sosial, dan selama masyarakat memandang laki-laki dan perempuan berbeda-beda, dan tidak setara, maka perbedaan dalam bahasa laki-laki dan perempuan akan terus ada Coates (dalam Graddol dn Joan, 2003: 13).
2.              Bahasa menciptakan pembagian gender
Pandangan ini mengimplikasikan bahwa bahasa mempunyai peranan yang penting dalam konstruksi dan pelestarian pembagian gender. Cara bahasa digunakan dalam berbagai konteks kehidupan sosila dapat memproyeksikan bias mengenai laki-laki dan perempuan yang implikasinya mendefinisikan peranan sosial yang diharapkan dari yang laki-laki dan perempuan. Hal ini membentuk opini bahwa bahasa dan wacana tempat manusia terlibat dapat membentuk kepribadian dan kehidupan sosial. Dengan demikian, para penutur dapat mempelajari pembedaan atau pengkategorian yang dianggap penting dalam kultur tertentu jika mempelajari pembedaan linguistiknya.
3.              Bahasa dan struktur sosial saling berpengaruh
Gagasan ini memperlihatkan bagaimana mekanisme non-linguistik didukung oleh ciri linguistik untuk mempertahankan pembagian gender. Sebagai contoh, dapat dilihat bagaimana bahasa mereproduksi konsep-konsep tradisional tentang “feminitas” dan “maskulinitas”. Tetapi, untuk melihat mengapa konsep-konsep tradisional tersebut bersifat opresif  terhadap perempuan diperlukan teori-teori sosial yang ada kaitannya dengan bahasa.
Berikut terdapat pula perbedaan antara maskulin dan feminis ditijau dari segi perbedaan emosional  dan intelektual.
Perbedaan Emosional dan Intelektual antara laki-laki dan Perempuan
Laki-laki (Maskulin)
Perempuan (Feminin)
-                    Sangat agresif
-                    Tidak emosional
-                    Independen
-                    Dapat menyembunyikan emosi
-                    Lebih objektif
-                    Tidak mudah terpengaruh
-                    Tidak mudah goyah terhadap krisis
-                    Lebih aktif
-                    Lebih mendunia
-                    Lebih berterus terang
-                    Jarang menangis
-                    Lebih ambisi
-                    Tidak terlalu agresif
-                    Lebih emosional
-                    Tidak terlalu independen
-                    Sulit menyembunyikan emosi
-                    Lebih sunjektif
-                    Mudah terpengaruh
-                    Mudah goyah terhadap krisis
-                    Lebih pasif
-                    Berorientasi ke rumah
-                    Kurang berterus terang
-                    Lebih sering menangis
-                    Kurang ambisi, dll

                Perbedaan sifat akibat perbedaan emosional dan intelaktual antara laki-laki dan perempuan  di atas masih relative dan tidak permanen, sehingga ada sejumlah sifat yang bertukar  atau bersifat terbalik. Adanya sifat yang dapat bertukar antara laki-laki dan perempuan, setelah menerapkannya dan mempersandingkannya dengan hasil representasi gender yang diperoleh sesuai data folklore, mengindikasi bahwa sifat tersebut merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang lebih banyak menguntungkan kaum laki-laki. Hasil konstruksi sifat-sifat dan pelabelan di atas berkorelasi dengan peran dan relasi gender yang berlangsung dalam suatu masyarakat.
2.3  Ketimpangan Gender pada Kosakata dan Ungkapan Bahasa Indonesia
Penelitian Coates (1991) menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, bahasa yang digunakan oleh kelompok lelaki (selanjutnya disebut ragam bahasa lelaki) berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh kelompok perempuan (selanjutnya disebut ragam bahasa perempuan). Perbedaan tersebut ada dalam semua aspek kebahasaan, yaitu kosakata, gramatika, dan fonologi, sampai-sampai soal penggunaan dan pemilihan partikel dalam kalimat.
Dalam berbahasa, kedua kelompok dipersepsi menampilkan cara berbahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut cenderung memojokkan kelompok perempuan dalam posisi inferior dan subordinat, sedang kelompok lelaki diangkat dalam posisi superior dan dominan. Kelompok perempuan diharapkan lebih lembut (lady like) dibandingkan dengan kelompok lelaki (Lakoff, 1979). Di samping itu, juga dipandang wajar bahwa kelompok perempuan di Inggris, USA, dan Belanda, lebih banyak berbicara (cerewet) dan bergunjing, berbicara lebih sopan, dan tidak mengumpat, lebih banyak menggunakan adjektiva (sebagai cermin lebih emosional ketimbang rasional), dan penguasaan kosakatanya tidak sebanyak lelaki (Coates, 1991). Bahkan, ragam bahasa perempuan sering distereotipekan sebagai naif, emosional, bodoh, pasif, kurang meyakinkan, terlalu boros kata-kata, dan remeh (Kramarae, 1982).
Dalam ragam bahasanya, kelompok perempuan distereotipekan lebih inferior (Spolsky, 2001). Karena kedudukannya inilah perempuan lebih merasa perlu berhatihati dalam berbahasa. Kehati-hatian ini tampak dalam kebiasaannya yang lebih menaati norma-norma baku kebahasaan dan kecenderungan untuk selalu menggunakan bahasa yang berprestise (Trudgill, 1984), sedangkan pada lelaki tidak ada “keharusan” seperti ini. Akibatnya, perempuan dalam berbahasa lebih banyak melakukan hiperkoreksi. Realitasa ini, menurut (Coates, 1991), sebenarnya merefleksikan bahwa di bawah sadarnya perempuan menduduki posisi yang kurang mapan, lebih subordinat, dan lebih inferior, dibandingkan dengan kelompok lelaki.
Hal ini juga menunjukkan adanya ketimpangan gender dalam bahasa. Perbedaan yang menjurus pada ketimpangan antara ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan ini tampak pada perbedaan kosakata dan ungkapan, fonologis, dan gramatika.
Dalam hal kosakata dan ungkapan, ragam bahasa perempuan lebih banyak menggunakan kata-kata adjektiva, kosakata lebih sedikit, manja, irasional, dan berusaha mencapai norma standar dan standar ini dibuat kelompok lelaki (Kramarae, 1981; Coates, 1991). Dalam fonologi, nada akhir kalimat dalam ragam bahasa perempuan lebih berlagu dan lebih tinggi, sehingga terkesan kurang tegas, sedang nada pada ragam bahasa lelaki lebih rendah yang menyatakan ketegasan (Kramarae, 1981). Dalam gramatika, kelompok perempuan lebih banyak menggunakan kalimat majemuk setara, sebagai cermin ketidakmampuan menempatkan mana yang inti (induk) dan mana yang kurang inti (anak kalimat) (Lakoff, 1979). Menurut Jespersen (dalam Kweldju, 1993), kelompok perempuan tidak banyak menggunakan logika dalam gramatika, tetapi lebih banyak menggunakan intonasi dan intonasi ini merupakan cermin kekuatan emosinya. Oleh karena itu, bagaimanapun, ragam bahasa perempuan lebih sering membuat kesalahan dibandingkan dengan ragam bahasa lelaki. Lakoff (1979) juga mencatat bahwa perempuan lebih banyak menggunakan tag questions sebagai cermin ketidaktegasannya bersikap.
Kosakata suatu bahasa mewadahi seluruh ketimpangan gender. Dalam kosakata dan ungkapan bahasa Indonesia pun terjadi ketimpangan gender pada ragam bahasa lelaki dan ragam bahasa perempuan. Contoh-contoh berikut diharapkan dapat memperjelas perbedaan kedua ragam tersebut:
 Pertama, beberapa ungkapan mencerminkan keberadaan wanita sebagai pemelihara kehidupan yang sabar, sedang lelaki sebagai penguasa kehidupan (cf. Kweldju, 1993). Perempuan-istri selalu menjadi ibu rumah tangga, sedang lelaki-suami otomatis menduduki posisi sebagai kepala rumah tangga, sebodoh apa pun lelaki itu, andai saja suami itu bodoh. Sebagai ibu rumah tangga, perempuan bertanggung jawab atas segala pekerjaan di dalam rumah, misalnya memasak, mencuci, mengasuh dan mengajari anak, menjaga dan merawat rumah—yang serba membutuhkan kelembutan dan kesabaran. Semua jenis pekerjaan tak berupah tersebut memunculkan ungkapan pekerjaan perempuan. Pendidikan anak lebih dibebankan kepada perempuanistri ketimbang suami, termasuk mengajari anak berbahasa, sehingga muncul istilah bahasa ibu (mother language). Istilah anak mama dan kasih sayang ibu, termasuk ungkapan alah Mak, aduh Mak—dan bukan *alah Pak, *aduh Pak—juga menunjukkan bahwa anak dipersepsi secara sosial sebagai urusan perempuan. Tanggung jawab istri sebagai perawat rumah memunculkan istilah nyonya rumah. Tetapi, penguasa tertinggi tetap lelaki-suami, sehingga acuan istilah kepala rumah tangga dan tuan rumah selalu kepada suami.
Kedua, beberapa ungkapan dan struktur gramatikal menunjukkan bahwa seakanakan perempuan itu ditakdirkan pasif, sedang lelaki dikodratkan aktif. Kepasifan perempuan (istri) ini juga ditempuh sebagai upaya untuk selalu menyenangkan, menjaga perasaan, dan menghormati lelaki (suami) (Spender, 1985). Seorang perempuan boleh saja jatuh cinta, tetapi ia harus menjaga dan bertahan jangan sampai ia mendahului mengungkapkan cinta terlebih dahulu. Ia mesti pasif menunggu. Maka, yang muncul dalam ungkapan gramatikal adalah Dina dipacari/ dilamar/ dipinang/ dinikahi/ diperistri Indra dan tentu bukan Dina *memacari/ *melamar/ *meminang/ *menikahi/ *mempersuami Indra. Seorang istri tidak dapat *menceraikan suami—sejahat apa pun suami itu—sebab kultur Indonesia hanya memberi kesempatan kepada istri untuk meminta cerai atau minta diceraikan. Sebuah ungkapan populer juga mencerminkan ketimpangan gender bias lelaki: dapur, sumur, lulur, kasur. Ungkapan ini jelas-jelas memerahkan telinga kelompok feminis aliran apa pun. Sebagai bandingan, dalam bahasa Jawa pun, yang justru lebih kaya, ada ungkapan yang berkenaan dengan betapa rendahnya peranan perempuan. Misalnya perempuan itu hanya awan dadi theklek, bengi dadi lemek (siang jadi bakiak, malam jadi alas untuk ditindih), masak, macak, manak (memasak, merias diri, melahirkan) atau pun neng omah, olah-olah, mlumah, mbegagah ngablah-ablah (di rumah, memasak, tidur terbuka menelentang) (Sobary, 2000). Boleh saja, ungkapan ini dikatakan sebagai sekadar beraroma traditional gender-based ideology, tetapi bahwa hal tersebut jelas fakta empiris konkret, sungguh tidak perlu diragukan.
Ketiga, beberapa kosakata dan ungkapan menunjukkan perempuan selalu menjadi korban dan disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan kesalahannya. Perempuan yang menjual diri sering disebut wanita panggilan, tetapi entah mengapa lelaki yang membutuhkan tidak pernah disebut *pria pemanggil. Yang sering dipersoalkan dan diucapkan adalah keperawanan atau kegadisan seorang perempuan dan tidak pernah dipermasalahkan keperjakaan seorang lelaki. Dalam dunia prostitusi, misalnya, sesungguhnya baik lelaki sebagai “pembeli” maupun perempuan sebagai “penjual” sama-sama berbuat tidak susila (asusila), tetapi sebutan yang ada hanya wanita tuna susila (WTS) dan tidak pernah ada *pria tuna susila (PTS) (Jupriono, 2003).
Keempat, beberapa kebiasaan nama dan panggilan menunjukkan bahwa perempuan sebagai penerima identitas, sedangkan lelaki pemberi identitas (cf. Kuntjara, 2003). Seorang perempuan-istri bernama Linda Astuti, setelah diperistri seorang lelaki bernama Subandi, di lingkungan sekitarnya mendadak sontak dipanggil Ny. Subandi atau Bu Subandi oleh tetangganya dan ia hilang identitasnya sehingga jarang disapa sebagai Ny. Linda atau Bu Astuti. Sementara, suaminya tetap pada identitasnya semula sebagai Pak Subandi—dan tidak mungkin dipanggil *Pak Linda atau *Tuan Astuti. Ini sungguh-sungguh tidak ada kesejajaran. Seorang perempuan yang menjadi “istri tak sah” dilabeli sebutan piaraan, istri gelap, atau pun simpanan, tetapi lelaki yang menjadikannya begitu tidak mendapat sebutan apa pun, misalnya *pemiara, *suami gelap, atau pun *penyimpan. Seorang istri langsung mendapat nama baru begitu suaminya menjabat, dan jika istri menjabat, suami bebas atau tidak usah nama baru. Begitu suaminya terpilih sebagai kepala desa (kades), istri akan dipanggil Bu Kades, dan wajib mengikuti pembekalan bagi istri kepala desa di tingkat kabupaten. Tetapi, suami yang istrinya menjadi kades, tidak usah dipanggil *Pak Kades dan tidak ada program negara *pembekalan bagi suami kepala desa.
Kelima, kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar baik untuk menyebut lelaki maupun perempuan. Julukan jago matematika, misalnya, berlaku baik untuk Rangga yang lelaki maupun Susi yang perempuan, kalau memang kedua memenuhi kualifikasi cerdas mengerjakan soal-soal matematika; tidak pernah ada *betina matematika sekalipun pemenang juaranya adalah Susi. Dengan kata lain, kata jago ini digunakan sebagai standar baik untuk lelaki maupun perempuan. Contoh lain: bapak pembangunan, bapak koperasi, bapak pendidikan. Belum pernah ada—atau mungkin tidak lazim—entah mengapa: *ibu pembangunan, *ibu koperasi, *ibu pendidikan, misalnya. Jika kosakata itu berbau perempuan, konotasi semantisnya cenderung negatif. Misalnya, Bejo yang perangainya kewanita-wanitaan disikapi sebagai negatif, disamakan dengan banci. Sebaliknya, perangai Eny yang tomboy, asal masih mau sedikit berdandan saja, akan diterima lebih positif—misalkan dianggap malah “modern”, “masa kini”, “gaul”—oleh sekitarnya.
Keenam, beberapa kosakata mencerminkan bahwa suatu jabatan, prestasi, organisasi, atau pekerjaan biasanya diisi oleh seorang lelaki, jika diisi oleh perempuan dianggap suatu “kelainan” atau kekecualian, dan untuk itu harus diembel-embeli kata wanita. Sebutan profesor, kesebelasan, pesilat, wartawan cenderung menggiring orang untuk menafsirkan bahwa semua itu untuk lelaki. Jika dilekatkan kepada perempuan, biasanya menjadi profesor wanita, kesebelasan wanita, pesilat wanita, wartawan wanita—seakan-akan hal itu suatu keganjilan. Seorang lelaki tidak usah disebut *lelaki karier ketika sukses berkarier, tetapi seorang perempuan yang bekerja di sektor publik langsung harus disebut wanita karier.
Ketujuh, ungkapan pemanggilan juga menempatkan perempuan sebagai golongan kelas dua, sehingga selalu disebut “setelah lelaki”. Yang lazim diungkapkan dalam pertemuan resmi, rapat, khotbah, ceramah, adalah Bapak-bapak, Ibu-ibu yang saya hormati…, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang berbahagia, … dan pastilah bukan *Ibu-ibu, Bapak-bapak yang saya hormati, … *Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang berbahagia, … Dalam surat undangan pun yang lazim tercetak adalah Kepada Yth.: Bpk/Ibu/Sdr. … dan tentu bukan *Kepada Yth.: Ibu/Bpk/Sdr. …
Kedelapan, dalam kebijakan institusional baik sektoral maupun nasional pun tergambar jelas betapa perempuan terus dan masih menjadi beban masalah dan tidak pernah mencapai kesetaraan seperti lelaki. Karena gerak nasib perempuan dirasakan ketinggalan, peranannya perlu terus ditingkatkan melalui ungkapan menteri peranan perempuan, Hari Kartini, dan Hari Ibu. Sebaliknya, lelaki tidak menjadi masalah, sehingga tidak membutuhkan *menteri urusan lelaki, *Hari Kartini, dan *Hari Bapak. Sebagai bagian dari masalah, bahkan kedudukan perempuan disejajarkan dengan anak-anak, sehingga perlu dibangun Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), sedangkan kaum bapak tidak memerlukan karena dianggap sudah mandiri dan sudah dapat menolong diri sendiri. Bahkan, perempuan disamakan kedudukannya dengan benda mati, misalnya dalam ungkapan harta, tahta, wanita, atau peluru dan wanita. Hal ini menggambarkan fakta bahwa nasib perempuan tersubordinasi, bahkan sampai tingkat bahasa sekalipun.
Kesembilan, beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/ berkedudukan melebihi suami, tetapi tidak diakui, atau kalau diakui, dengan malu-malu. Misalnya seorang istri yang berdagang, yang penghasilannya benar-benar jauh di atas suami—sehingga sesungguhnya merupakan tumpuan kebutuhan material keluarga— dengan rendah hati akan mengatakan: hanya membantu suami, untuk tambah-tambah saja, hanya kerja sambilan, atau bahkan yah …ketimbang menganggurlah. Dia akan mendapat cap buruk, penilaian negatif, dari sekeliling jika saja mengatakan *Saya yang menanggung kebutuhan keluarga, penghasilan suami cuma berapa. Secara psikologis kultural, terdapat ketakutan “menyaingi” atau “mengalahkan” suami pada seorang istri. Dalam dunia psikologi ada istilah syndrome of success fear.— suatu fenomena seorang istri takut kelihatan lebih sukses ketimbang suaminya, takut suaminya tampak lebih bodoh (Sudarwati, 2003). Dalam hal demikian, seorang istri juga mengalami “kematian subjek”: menjadi diri sendiri pun tidak berani. (cf. Faucault, 1979).

III.             SIMPULAN
·         Ada dua masalah yang menyebabkan terjadinya ekspresi bahasa gender, yaitu dominasi dan perbedaan.
·         Hubungan antara bahasa dan gender terealisasi dalam tiga macam, yaitu : bahasa mencerminkan pembagian gender, bahasa menciptakan pembagian gender, dan bahasa dengan struktur sosial saling berpengaruh.
·         Dalam sosiolinguistik, variasi bahasa dapat terjadi karena perbedaan gender. Penggunaan bahasa berkaitan dengan gender tidak hanya terdapat pada pemakaian nama keluarga, tetapi juga pada ekspresi ungkapan, pertentangan perempuan dan laki-laki.
·         Sehubungan dengan ketimpangan gender pada kosakata dan ungkapan dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut. (1) Beberapa ungkapan mencerminkan wanita pemelihara kehidupan yang sabar, sedang lelaki penguasa kehidupan. (2) Beberapa struktur gramatikal bahasa Indonesia menunjukkan perempuan itu pasif, sedang lelaki aktif. (3) Beberapa kosakata dan ungkapan menunjukkan perempuan selalu menjadi korban dan disalahkan, sedang lelaki tidak dipersoalkan. (4) Beberapa kebiasaan nama dan panggilan menunjukkan bahwa perempuan penerima identitas, sedangkan lelaki pemberi identitas. (5) Kosakata yang berkonotasi lelaki menjadi standar untuk menyebut lelaki maupun perempuan. (6) Beberapa kosakata mencerminkan bahwa suatu jabatan, prestasi, organisasi, atau Parafrase Vol. 10 No. 01 Februari 2010 38 pekerjaan biasanya diisi lelaki, jika diisi perempuan dianggap suatu “kelainan” dan untuk itu harus diembel-embeli kata wanita. (7) Ungkapan pemanggilan juga menempatkan perempuan sebagai golongan kelas dua. (8) Dalam kebijakan institusional tergambar jelas betapa perempuan masih menjadi beban masalah dan tidak pernah mencapai kesetaraan (9) Beberapa ungkapan mencerminkan bahwa istri boleh berpenghasilan/berkedudukan melebihi suami, tetapi tidak diakui.


1 komentar: