Pandangan Feminisme dalam Sastra
Faisal Akbar
21402071069
Abstrak : sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang
menandakan hal-hal lain yang bahasanya dimanipulasi atau disulap oleh
pengarangnya sehingga menghasilkan efek asing (deotomatisasi) dalam
penerapannya. Isi dalam karya sastra sering disebut juga potret kecil dari
kehidupan dan imajinasi pengarangnya yang berasal dari keseharian penulis dan
diungkapkan dalam bentuk bahasa yang indah. Pada perkembangannya, sastra telah
melahirkan banyak aliran-aliran yang disebabkan oleh dinamika sosial yang terus
berkembang, diantara aliran-aliran tersebut adalah aliran sastra feminisme, feminisme
merupakan sebuah gerakan perempuan yang menuntut kesamaan dan keadilan hak
dengan pria. Perbincangan masalah ketimpangan sosial antara laki-laki dan
perempuan tersebut mendorong pemikiran para sastrawan untuk menuangkan isi
pikirannya ke dalam sebuah karya sastra, dari sini bisa dilihat bahwa karya
sastra merupakan representasi dan potret kehidupan nyata yang di bumbui oleh
imajinasi para penulisnya. Sastra telah membuktikan eksistensinya sebagai media
penyampaian gagasan akan realita sosial yang telah dialami manusia dengan
bahasa yang indah seperti yang telah dilakukan oleh para sastrawan feminisme,
sehingga perjalanan historis akan sastrawan aliran feminisme menjadi kajian
yang menarik dengan berbagai kontroversi para kritikus sastra dan
kelompok-kelompok yang berada di dalamnya.
Kata kunci : Sastra, feminisme.
I. Pendahuluan
Manusia
diciptakan menjadi dua jenis kelamin yaitu : laki-laki dan perempuan. Dilihat
dari aspek biologis secara kodrati memang diakui adanya perbedaan (distinction),
bukan pembedaan (discrimination) antara laki-laki dan perempuan.
Meski demikian, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang
selanjutnya bersifat komplementer, saling mengisi dan melengkapi bukan saling
kompetitif (Istibsyaroh, 2004: 2).
Dalam
persepsi sosial, laki-laki sering diibaratkan sebagai pribadi yang kuat,
arjuna, jantan, rasional, penanggung jawab ekonomi keluarga dan lain-lain.
Adapun perempuan diibaratkan sebagai sosok yang lembut, sentimental, tidak
rasional dan hanya cocok sebagai penunggu rumah yang mengurus anak-anaknya dan
memasak didapur. Perempuan kemudian menjadi mahluk kelas kedua atau the
second sex seperti juga disebut warga kelas dua yang keberadaannya tidak
begitu diperhitungkan.
Perempuan
merupakan lawan jenis dari laki-laki yang sering digambarkan dengan citra-citra
tertentu yang mengesankan inferioritas perempuan, baik dalam struktur sosial
maupun budaya dalam tatanan masyarakat, seperti konstruksi budaya, tubuh
perempuan sering digunakan sebagai alat mempertahankan kekuasaan laki-laki atas
perempuan.
Perbedaan
jenis kelamin ini dalam sejarahnya menimbulkan persoalan ketidakadilan dan
penindasan yang dialami oleh kaum perempuan, karena perempuan dianggap manusia
kelas dua dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan dalam tradisi patriaki bangsa
Arab sebelum Islam datang, secara umum menempatkan perempuan hampir sama dengan
hamba sahaya dan harta benda. Mereka juga bisa mengubur hidup-hidup bayi
perempuan, tidak memberikan harta waris kepada perempuan baik dalam wilayah
publik maupun domestik. Fenomena ini juga terjadi dalam ranah lingkup
masyarakat luas.
Ketimpangan
sosial yang terjadi antara laki-laki dan perempuan melahirkan sebuah gerakan
baru yang disebut feminisme. Feminisme berasal dari kata latin femina yang
berarti memiliki sifat keperempuanan (Hubbies, 1997: 19). Feminisme diawali
oleh persepsi adanya ketimpangan yang terjadi terhadap perempuan dalam
kehidupan masyarakat. Secara operasional feminisme adalah upaya membebaskan
perempuan dari berbagai ketimpangan yang terjadi terhadap mereka. Sebagai sebuah
gerakan, feminisme harus mengacu pada definisi operasional dan bukan definisi
ideologis. Dengan demikian, feminisme hendaknya dilihat dari sebuah aksi atau
gerakan bukan sebagai fanatisme keyakinan.
Kalimat
sastera dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta. Akar kata sas-,
dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau
instruksi. Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu
sastera dapat berarti “alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku
instruksi atau pengajaran (Teeuw, 1984:20-21). Kemudian dalam bahasa Indonesia,
ada teoritisi yang menyebut awalan su- dalam kata susastera yang
berarti : baik, indah, perlu dikenakan kepada karya-karya sastra untuk
membedakan dari bentuk pemakaian bahasa lainnya (Taum, 1997:12).
Menurut
Taum (1997:12-13), beberapa definisi ontologis (yakni definisi yang bermaksud
merumuskan hakikat sastra) terbukti tidak dapat diterapkan untuk menyebut
sastra secara universal. Definisi-definisi ontologis itu misalnya; “sastra
adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif “; sastra adalah
penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain”; sastra
adalah teks-teks yang bahasanya dimanipulasi atau disulap oleh pengarangnya
sehingga menghasilkan efek asing (deotomatisasi) dalam penerapannya.
Karya sastra sering disebut sebagai
representasi atau potret kecil dari kehidupan. Imajinasi pengarang yang berasal
dari kehidupan sehari-hari kemudian diungkapkan dalam bentuk karya sastra.
Imaji merupakan hakekat karya sastra itu sendiri, imajinasi dalam karya sastra
disini adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan (Muzakki, 2006: 118).
Dalam setiap karya sastra yang menampilkan tokoh pria dan wanita, hampir
selalu dijumpai penggambaran-penggambaran tertentu yang kurang adil terhadap
wanita, misalnya ibu rumah tangga, wanita yang kolot, wanita manja dan
lain-lain. Hal ini hampir terjadi dalam setiap karya sastra dibelahan dunia
manapun.
Berbicara
masalah ketimpangan sosial antara laki-laki dan perempuan tersebut mendorong
pemikiran para sastrawan untuk menuangkan isi pikirannya ke dalam sebuah karya
sastra agung, dari sini bisa dilihat bahwa karya sastra merupakan reprentasi
dan potret kehidupan nyata yang di bumbui oleh imajinasi para penulisnya.
Sehingga banyak ditemukan berbagai karya sastra termasyhur yang dikenal oleh
orang banyak membahas tentang tema feminisme.
Perjalanan
sastra aliran feminisme telah melalui masa yang panjang dan menjadi kajian yang
menarik perhatian dari masyarakat luas khususnya kaum hawa tak terkecuali kaum
adam pada umunya, serta memiliki karakteristik disetiap pandangan
tokoh-tokohnya terhadap masalah tersebut hingga melahirkan kelompok-kelompok
sendiri dalam aliran feminisme seperti feminisme liberal, radikal, marxis,
anarkis dan sebagainya. Hal demikian menarik sifat simpatik dari para kritikus
dan penikmat sastra untuk berusaha menelusuri lebih jauh akan aliran feminisme
dan meneliti realisasi yang ada dalam sejarah pembuatannya dalam dunia sosial. Pada
penulisan artikel ini penulis sekilas menggambarkan sejarah perjalanan aliran
feminisme dalam sastra dan berbagai kehebatan pemikiran-pemikiran dan
pandangan-pandangan yang di lontarkan oleh para sastrawan, kritikus, dan
penikmat sastra yang berkecimpung dalam aliran feminisme termasuk
kelompok-kelompok yang berada didalamnya.
II. Pembahasan
Jika
ditelusuri kebelakang, dalam sejarah kemanusiaan dominasi laki-laki atas
perempuan dan stereotip yang dibentuk oleh gender sudah ada sejak zaman dahulu.
Banyak pendapat mengatakan bahwa faktor teologis adalah faktor utama
menancapnya faham patriarki dalam masyarakat, karena agama-agamalah yang
memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Salah satu konsep teologis
yang memberikan citra negatif kepada kaum perempuan ialah anggapan bahwa Hawa
menjadi penyebab tergelincirnya Adam dari Surga ke planet bumi, karena
rayuannya, Adam lengah lalu memakan buah terlarang menyebabkannya terlempar ke
bumi. Kaum perempuan kemudian harus menanggung akibat lebih besar. Kisah
tentang rayuan Hawa kepada Adam yang banyak diyakini berasal dari sumber islam
sangat tidak benar, dalam Al-Qur’ān tidak ada satupun ayat yang menceritakan
rayuan Hawa supaya Adam memakan buah yang dilarang oleh Allah. Dalam Al-Qur’ān
diceritakan bahwa keduanya dengan menggunakan dhamir “Humā” yang berarti
keduanya digelincirkan oleh setan yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari
syurga (Al-Baqārah: 35-36). Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa rayuan
Hawa pada Adam untuk memakan buah yang dilarang oleh Tuhan tidak berasal dari
Al-Qur’ān, namun berasal dari ajaran-ajaran sebelum islam yang salah satunya
dari kitab Kejadian (2000, 3: 6). Pola pemikiran yang secara budaya ini telah
ada sebelum islam kemudian ikut mempengaruhi pola pikir masyarakat islam
sehingga semakin menguatkan budaya patriarki dalam masyarakat waktu itu.
Para
penulis wanita dan pembaca wanita selalu harus bekerja melawan hakikatnya
sendiri. Aristoteles mengatakan bahwa “wanita adalah wanita berdasarkan atas
kekurangan mereka terhadap kualitas-kualitas tertentu”, dan St. Thomas Aquinas
yakin bahwa wanita adalah “laki-laki yang tidak sempurna”. Ketika Donne menulis
“Air and Angel” ia menyinggung (tetapi tidak menyangkal) teori Aquinas bahwa
bentuk adalah laki-laki dan masalah adalah perempuan, pikiran laki-laki lebih
unggul dari pada dewa, mengesankan bentuknya pada masalah yang perempuan, yang
tak berdaya, dan lemah. Dalam masa sebelum Mendel, para lelaki memandang sperma
mereka sebagai benih yang aktif yang memberi kepada ovum yang menanti dan
kekurangan identitas hingga menerima pengaruh laki-laki. Dalam trilogi
Aeschylus, The Oresteia, kemenangan dianugerahkan oleh Athena kepada
tuntutan laki-laki, sesuai dengan pendapat Apollo, bahwa ibu bukan orang tua
anaknya. Kenangan prinsip laki-laki intelek membawa akhir pemerintahan Furies,
perempuan yang sensual dan memaksakan patriarki dan matriakri. Kritik feminis
kadang-kadang memancing kemarahan Furry untuk mengganggu ketentuan berpuas diri
kebudayaan patriarki dan untuk menciptakan iklim yang kurang menekan bagi para
penulis dan pembaca wanita. Kadang-kadang kritikus wanita menggunakan akal
untuk “mendekontruksi” cara-cara melihat yang di dominasi oleh laki-laki. Mary
Ellman, misalnya menyarankan bahwa kita mungkin lebih suka memandang ovum
sebagai pemberanian, merdeka, dan individualistis (lebih dari “apathetic”) dan
sperma itu sebagai penyesuaian diri dan seperti domba (lebih daripada
“enthusiastic”). Fantasi Woody Allen tentang sperma dilanda kepanikan secara
pasif menanti perjalanan ke dalam hal yang tidak diketahui adalah sebagai tidak
heroik mengenai inseminasi sebagai dapat dikhayalkan oleh setiap feminis
(Pradopo dan Abdullah, 1993:135).
2.1 Pengertian
Feminisme
Feminisme
(tokohnya disebut dengan feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut
emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari
bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun
19890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta
pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Sekarang ini kepustakaan
internasional mendefinisikan sebagai pembedaan terhadap hak-hak perempuan yang
didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki-laki (wikipedia).
2.2 Sejarah
Feminisme
Gerakan
feminisme dimulai sejak abad ke-18, suara wanita dibidang hukum, khususnya
teori hukum, muncul dan berarti. Hukum feminis yang dilandasi sosiologi
feminis, filsafat feminis, dan sejarah feminis merupakan perluasan perhatian
wanita dikemudian hari. Di akhir abad ke-20, gerakan feminis banyak dipandang
sebagai sempalan gerakan critical legal studies, yang pada intinya
banyak memberikan kritik terhadap logika hukum yang selama ini digunakan, sifat
manipulatif dan ketergantungan hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum
dalam membentuk pola hubungan sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan
hukum secara tidak mendasar.
Menurut
Saraswati (2003:155-156) ada beberapa aspek yang menyulut munculnya gerakan
feminisme di Barat, yakni (1) aspek politik, tergambar ketika rakyat Amerika
memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1776, dalam deklarasi tersebut
dicantumkan kalimat “all men are created equal” (semua laki-laki
diciptakan sama), terlihat sama sekali tidak menyebutkan perempuan, maka dalam
konvensi di Seneca Falls pada tahun 1848, para tokoh feminis memproklamasikan
versi lain dari deklarasi kemerdekaan Amerika yang berbunyi : “all men and
women are created equal” (semua laki-laki dan perempuan diciptakan
sama);(2) aspek agama, dalam hal ini gereja mendudukan wanita inferior,
karena baik agama protestan maupun katolik menempatkan perempuan pada posisi
yang lebih rendah daripada kedudukan laki-laki; dan (3) aspek konsep sosialisme
dan Marxis, beranjak dari pikiran Frederick Engels yang mengemukakan bahwa “within
the family he is bourgeois and the wife represents the proletariat” (dalam
keluarga, suami adalah borjuis dan istri mewakili kaum proletar).
Inti tujuan
feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau
sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki (Saraswati, 2003:156).
Walaupun
pendapat feminis bersifat pluralistik, namun satu yang menyatukan mereka adalah
keyakinan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum bersifat patriarki. Aturan
hukum yang dikatakan netral dan objektif sering kali hanya merupakan kedok
terhadap pertimbangan politis dan sosial yang dikemudikan oleh ideologi pembuat
keputusan, dan ideologi tersebut tidak untuk kepentingan wanita. Sifat
patriarki patriarki dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan penyebab
ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga sebagai
konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan atau kesetaraan gender.
Kesetaraan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional
ideologis yang saat ini berlaku.
Feminisme
menitikberatkan perhatian pada analisis peranan hukum terhadap bertahannya
hegemoni patriarki. Segala analisis dan teori yang kemudian dikemukakan oleh
feminis diharapkan dapat secara nyata diberlakukan, karena segala upaya feminis
bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah perkembangan manusia, namun lebih
kepada upaya manusia untuk bertahan hidup. Lahirnya gerakan feminis merupakan gambaran
bahwa ketentuan yang abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan.
Feminisme
merupakan sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan
keadilan hak dan pria dan tokohnya akan disebut dengan feminis. Gerakan
feminisme pertama kali muncul pada era Rennaissance. Gerakan ini dicetuskan
oleh Lady Mary Wortley Montague dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan wanita
ini pertama kali berkumpul dalam forum ilmiah pertama yang diadakan di
Middleburg, kota selatan Belanda, pada tahun 1785. Menjelang abad ke-19, mulai
banyak kaum hawa Eropa khususnya yang memperjuangkan hak-hak dalam berbagai
bidang, yang memegang prinsip visioner yang universal sisterhood.
Gerakan
feminisme dipelopori oleh Charles Fourier pada tahun 1837, seorang sosiolog
asal Perancis. Selain di Eropa, gerakan feminisme juga mulai dikenal di Amerika
karena hasil pemikiran yang konstruktif John Stuart Mill dalam tulisannya Subject
of Women (1869). Feminisme sendiri sering kali didefinisikan sebagai suatu
gerakan dari kaum wanita yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka
untuk memperoleh kesetaraan derajat dengan kaum pria serta keadilan HAM, baik
dalam berpolitik, melakukan kegiatan ekonomi, maupun berprofesi di bidang
pertahanan dan keamanan. Derajat dan martabat wanita setidaknya mendapat
kedudukan yang sama dengan kaum pria, termasuk menjadi seorang pemimpin dalam
sebuah komunitas kelompok.
Feminisme mulai
menjadi bahasan dalam studi hubungan internasional sejak tahun 1900an. Gerakan
feminisme mulai dibahas dalam beberapa pertemuan atau konferensi hubungan
internasional di Amerika Serikat dan Inggris. Pada tahun 1988, sebuah makalah
berjudul Gender and International Relations dipublikasikan oleh London
School of Economic dan di edit oleh Rebecca Grant dan Kathleen Newland, tokoh
revolusioner yang membawa studi feminisme ke dalam kerangka teoritik hubungan
internasional.
2.3 Pandangan
dan Kritik Feminisme dalam Sastra
Beberapa
pemikir feminis sama sekali engan menerima “teori”. Ada banyak alasan untuk hal
ini. Dalam lembaga-lembaga akademik “teori” sering bersifat laki-laki, bahkan
bersifat macho. Teori adalah studi sastra yang sukar, intelektual, dan
avant-garde. Watak laki-laki yang keras bertujuan mendorong, dan berambisi
besar untuk mendapatkan tempatnya dalam “teori” ketimbang dalam seni
penafsirankritik yang lembut. Kaum feminis seringkali menunjukkan objektivitas
ilmu pengetahuan laki-laki yang curang. Teori-teori Freud dikecam karena
seksismenya yang mencolok mata misalnya, asumsi mereka bahwasannya seksualitas
wanita dibentuk oleh “kecemburuan zakar”. Banyak kritik feminis yang ingin
melarikan diri dari “ketetapan dan ketentuan” teori dan mengembangkan wacana
perempuan yang tidak dapat diikat secara konseptual sebagai milik suatu tradisi
teoritis yang diakui (dan oleh karena itu, barangkali dihasilkan oleh
laki-laki), bagaimanapu juga, kaum feminis telah tertarik kepada tipe teori
pasca-strukturalis Lacan dan Derrida, barangkali secara nyata menolak untuk
menegaskan otoritas atau kebenaran “maskulin”. Teori-teori psikoanalitik
tentang dorongan nalurilah terutaman telah menolong para kritikus feminis yang
mencoba mengucapkan perlawanan tanpa bentuk dan yang bersifat subversif dari
beberapa penulis dan kritikus wanita terhadap nilai-nilai sastra yang dikuasai
oleh laki-laki, meskipun sejumlah feminis telah menjajaki kemungkinan strategi
perlawanan wanita tanpa mengembangkan teori yang rumit (Pradopo dan Abdullah,
1993:136).
Simone
de Beauvoir, dalam The Second Sex (1949), menetapkan dengan sangat jelas
masalah dasar feminisme modern. Bila seorang wanita membatasi dirinya sendiri,
ia mulai berkata “saya seorang perempuan”. Tidak ada laki-laki yang berbuat
begitu. Kenyataan ini mengungkapkan ketaksimetrisan dasar antara istilah
“maskulin” dan “feminin”. Orang laki-laki membatasi manusia bukan perempuan.
Keseimbangan ini mundur ke belakang sampai ke perjanjian lama. Karena tersebar
di antara orang laki-laki, para perempuan tidak mempunyai sejarah terpisah,
tidak ada solidaritas, mereka telah tidak berkombinasi sebagai
kelompok-kelompok tertindas yang lain, wanita terikat dalam suatu hubungan
berat sebelah dengan laki-laki, laki-laki adalah satu perempuan adalah yang
lain. Kekuasaan laki-laki telah menyelamatkan suatu iklim pemenuhan ideologis.
Para wakil rakyat, pendeta, ahli filsafat, penulis, ahli ilmu pengetahuan telah
berusaha menunjukkan bahwa kedudukan wanita yang rendah diinginkan di surga dan
bermanfaat di bumi. De Beauvoir mendokumentasikan tuntutannya yang penuh
ketelitian. Wanita telah dibuat lebih rendah dan tekanan ini menjadi berlipat
ganda oleh keyakinan para lelaki bahwa wanita adalah lebih rendah menurut
kodratnya. Gagasan abstrak tentang persamaan hanya permainan bibir, tetapi
desakan untuk persamaan yang nyata biasanya akan ditentang. Para wanita
sendiri, bukan para lelaki yang simpatik adalah dalam posisi terbaik untuk
menilai kemungkinan-kemungkinan eksistensial kewanitaan.
Tampak
ada lima fokus pokok yang terlibat dalam kebanyakan diskusi tentang pokok
perbedaan seksual yaitu : biologi,pengalaman, wacana, ketaksadaran, kondisi
sosial dan ekonomi (Pradopo dan Abdullah, 1993: 137).
Feminisme
Perancis telah sangat dalam dipengaruhi oleh psikoanalisa, terutama oleh
pengerjaan kembali teori-teori Freud dan Lacan. Para feminis Perancis, dengan
mengikuti teori-teori Lacan, mengatasi permaslaahan terhadap Freud yang
dilakukan oleh sebagian besar feminis. Sebelum Lacan, teori-teori Freud,
terutama di Amerika serikat, telah diturunkan ke tingkat Biologis yang kasar
anak perempuan, dengan melihat alat kelamin laki-laki, akan mengenal dirinya
sendiri sebagai perempuan karena ia tidak mempunyai zakar. Ia mendefinisikan
dirinya sendiri secara negatif dan menderita kecemburuan zakar yang tak
terelakkan. Menurut Freud, kecemburuan zakar itu universal bagi wanita dan
bertanggung jawab untuk kompleks pengebiriannya, yang mengakibatkan mereka
memamndang diri mereka sendiri sebagai jenis kelamin positif dengan hakikat
mereka sendiri. Ernest Jones adalah orang pertama yang memberi julukan teori
Freud “phallocentric” (berpusat pada kelelakian), sebauh istilah yang diterima
secara luas oleh para feminis bila membicarakan dominasi lelaki pada umumnya.
Juliet
Michell, dalam Psychoanalysis and Feminism (1975), mempertahankan Freud,
dengan mengemukakan bahwa psikoanalisis bukanlah rekomendasi dari masyarakat
patriarkal. Tetapi analisis tentang orang, ia yakin bahwa Freud adalah
menguraikan penggambaran mental realitas masyarakat, bukanlah realitas itu
sendiri. Pertahanannya terhadap konsep Freud mengenai kecemburuan zakar dan
gagasan-gagasan perbedaan seksual telah kedapatan tidak meyakinkan oleh banyak
feminis. Pengembalian nama baik Freud banya mendapat pengaruh dari Lacan,
tetapi seperti ditunjukkan oleh Jane Gallop, Mitchael gagal menghubungkan
penggunaan strategi Lacan oleh linguistik aliran Sassure.
2.4
Aliran-aliran dalam Feminisme
1. Feminisme Liberal
Feminisme
liberal merupakan suatu pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki
kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan
dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan
publik. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki,
sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Gerakan ini muncul
pada awal abad ke-18, lahirnya bersamaan dengan zaman pencerahan. Tuntutan
kebebasan dan kesamaan terhadap akses pendidikan, pembaharuan hukum yang
bersifat diskriminatif. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf.
2. Feminisme Radikal
Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas
kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun
1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Aliran ini
bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
3. Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah
perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan
perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich
Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini status perempuan jatuh karena
adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang
semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan
pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai
konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan
direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada
keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat borjuis dan
proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki
dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
4. Feminisme Sosialis
Sebuah
faham yang berpendapat “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada
Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk
menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan
pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang
mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Feminisme
sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan
bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah
jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi
atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk
memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa
kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis
sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah
sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang
saling mendukung landasan aliran tersebut.
5. Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas
pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga
(koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar belakang dunia pertama.
Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain
mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar
bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama
feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan,
nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.
6. Feminisme
ortodoks
Dikenal sebagai feminisme gelombang
kedua, berkarakter sangat fanatik dan ortodoks dengan penjelasan-penjelasan
wacana patriarkhal. Kaum feminis garis keras ini begitu yakin bahwa segala
sesuatu yang menyusahkan dan menindas perempuan berhubungan dengan patrarkhal,
hingga segala argumen hanya bertumpu pada penjelasan patrarkhal. Camille Paglia
seorang profesor studi kemanusiaan dari Universitas Philadelphia mengkritik
sikap feminis ortodoks sebagai kelompok yang selalu menganggap perempuan
sebagai korban.
Pandangan aliran ini merupakan
aliran yang memiliki pandangan yang sangat fanatic serta memiliki sikap yang
keras. Aliran ini dengan jelas menentang segala sesuatu yang dapat mempersulit
dan memberikan hubungan mereka dengan laki – laki sehingga teori ini sangat di
dominasi oleh kaum lesbian serta sangat “tidak disukai” keberadaanya.
7. Postfeminisme
Aliran ini merupakan salah satu
bentuk perwujudan rasa “bosan” terhadap apa yang disebut feminisme. Dimana
feminisme dianggap seolah merupakan suatu berontak atau kecurigaan berlebih
suatu kelompok wanita kepada laki-laki yang tidak memiliki dasar sehingga
pemikiran ini harus dihilangkan.
2.5
Sastrawan Feminisme dan Karyanya
Setelah banyak
berbicara tentang kelahiran dan perjalanan sejarah gerakan feminisme yang
banyak dikaji di Eropa dan Amerika kini kita berlanjut ke Asia, tepatnya di
Jepang, kita mengenal nama Michiko sebagai tokoh pergerakan kaum perempuan,
kemudian Fatimma Mernissi, perempuan kelahiran Maroko ini, juga tidak lepas
dari gelar tokoh feminisme kala itu, di Malaysia, kita mengenal nama Amina
Wadud Muhsin, dan di Indonesia, pelopor pertama gerakan feminisme adalah Raden
Ajeng Kartini, perempuan kelahiran Jepara Jawa-Tengah ini, selalau gigih
memperjuangkan hak-hak dan martabat perempuan pada masanya, yang mana menurut
beliau dalam bukunya yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang"
menceritakan tentang kondisi perempuan jawa kala itu, yang menurutnya
hak-haknya selalu direnggut oleh kaum adam, martabatnya selalu terkukung oleh
adat, sebagai contoh, tak ada kebebasan bagi kaum perempuan untuk menempuh
pendidikan formal -sekolah-, harus rela dinikahkan dengan lelaki yang tak ia
kenali, ataupun harus rela dipoligami/dimadu, bagi perempuan yang lahir pada
tanggal 21 April 1879 ini, kemajuan suatu bangsa akan terlihat jelas, ketika
hak dan martabat perempuan disejajarkan dengan laki-laki.
Pada
bangsa Arab, khususnya di Mesir, Qasim Amin adalah salah satu tokoh feminisme
pertama, ialah yang melahirkan generasi-genarasi setelahnya, semisal May
Ziyadah, Huda Sya’rawi, Zaenab Fawwaz, dan Nawwal Sa’dawi, berkat ide-ide yang
dilontarkannya ia mampu merubah nasib perempuan Mesir yang selalu terhempit
oleh kepentingan kaum adam, hingga tak heran jika orang-orang menyandanginya
dengan gelar "Bapak Feminisme Islam".
Qasim Amin,
lahir di sebuah kota besar Alexandria-Mesir, dari ayahnya yang seorang ayah
yang berasal dari Turki Utsmani, dan ibu berdarah Mesir asli, ia lahir pada
awal bulan Desember tahun 1863 M, sejak keci, Qasim Amin nampak tekun dan rajin
dalam mempelajari ilmu-ilmu ke-islaman khusunya, sekolah dasarnya (SD) ia
selesaikan di Alexandria, menyusul ayah dan ibunya pindah ke kairo.
Pada
tahun 1881, umurnya telah menginjak angka 20, ia menyelesaikan studinya di
sebuah universitas di Negerinya Mesir, pada fakultas hukum dan administrasi, di
sanalah ia kenal dengan Jamaluddin Al-afghani, yang diusir dari negerinya,
setelah perkenalannya dengan Al-afghani, pikirannya telah banyak menyerap
ide-ide Al-afghani.
Gelar
licence (LC) yang ia sandang mampu menjadikan dirinya sebagai pengacara di
sebuah kantor milik Musthafa Fahmi, seorang pengacara handal pada waktu itu,
yang memang sudah memiliki hubungan akrab dengan orang tua Qasim, lewat peran
pengacara itulah, akhirnya Qasim Amin bisa melanjutkan jenjang studinya di Perancis.
Pemikiran
Qasim Amin berangkat dari analisa sosial kemudian mengkritisi teks-teks agama
hingga dipahami sebagai tradisi yang profan dan tunduk pada nilai sosial dan
sejarah. Pemikiran Qasim pun mampu meruntuhkan pola pikir yang terbelakang dan
menjadi shock therapy dari permasalahan-permasalahan yang ada di dalam
masyarakat.
Dalam
bukunya yang kontroversial, Tahriru al-Mar’ah (Kairo, 1899), dan
al-Mar’ah al-Jadiidah (Kairo,1900), ia menyeru emansipasi wanita ala Barat,
bahkan doktrin-doktrin agama yang menindas dan membelenggu perempuan, seperti
perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya harus ditinggalkan.
Buah
pemikiran Qasim tersebut memberikan pengaruh besar pada masalah gerakan
feminisme di Mesir banyak karya-karya sastra yang bermunculan setelah mendapat
pengaruh dari pemikiran Qasim antara lain novel-novel karya Naguib Mahfudz dan
Nawal Shaadawi.
Nawal
Shaadawi melihat problem dari diskriminasi wanita sebagai masalah struktural
yang sama peliknya dengan masalah negara. Dalam novel atau bukunya yang
terkenal adalah المرأة و
الجنس"” (perempuan dan masalah sex), sebagai
seorang dokter ia coba mengungkapkan realita pasien wanitanya yang mendapatkan
masalah negatif yang berkaitan dengan hubungan seks dengan pasangannya, sekilas
digambarkan pandangan negatif seorang pria kepada wanita di Mesir dalam
berhubungan seks, dan dalam novelnya “Woman at Point Zero” (Perempuan di
Titik Nol), dengan bahasa novel yang menarik ia menggambarkan nasib
wanita Arab yang mengalami tekanan-tekanan, bahkan tanpa ragu ia menyamakan
status para istri orang Arab dengan para pelacur, mungkin bisa dibilang lebih
buruk karena pelacur memiliki kebebasan untuk memilih suami. Masalah
diskriminasi wanita menurut Shaadawi tidak bisa diselesaikan lewat persamaan
seks bahkan lewat agama. Persoalan wanita sangat kompleks, erat kaitannya
dengan masalah global, ekonomi, dan politik sebuah negara.
Dalam karya-karya Najīb Mahfūzh, tokoh-tokoh perempuan digambarkan sebagai seorang yang mampu mengikuti zaman dan memainkan peran baru, yaitu bekerja dan dapat membantu menafkahi keluarganya seperti laki-laki. Akan tetapi ia juga tidak mengubah pandangannya bahwa letak kehormatannya adalah terletak pada keperawanannya. Perempuan sering disalahkan karena sudah dianggap tidak perawan lagi, padahal ketidak perawanan mereka bukan diakibatkan oleh mereka, melainkan akibat lain yang diluar dugaanya, misalnya akibat jatuh, pemerkosaan dan hal-hal lain.
Novel Bidāyah wa Nihāyah karya Najīb Mahfūzh ini merupakan representasi dari kehidupan sosial di Mesir dan kritiknya tehadap kehidupan sosial di Mesir antara tahun 1930-1945. Novel ini sangat berbeda dengan novel-novel yang diterbitkannya antara tahun-tahun tersebut yang banyak mengkritik tentang kehidupan politik Mesir. Novel Bidāyah wa Nihāyah ini jauh sekali dari nuansa kehidupan politik yang sangat menghangat pada waktu itu, kalaupun ada hal tersebut bukan merupakan inti cerita yang disinggung Najīb Mahfūzh.
Salah satu masalah yang diungkapakan
Najīb Mahfūzh disini adalah masalah kemiskinan di Mesir antara tahun 1930-1945
yang menyiratkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, antara yang
berkuasa dan yang dikuasai, antara yang kuat yang yang tak berdaya. Dalam novel tersebut, Najib Mahfuz ingin menjelaskan tentang
pemikiran sastra berperspektif feminis yaitu dengan upaya pemahaman kedudukan
seorang perempuan dalam karya sastra.
Sampai
sekarang pun di dunia Arab masih menjadi perbincangan hangat akan gerakan
feminisme yang dituangkan dalam karya-karya sastra yang kontroversional dengan
tujuan meluapkan isi hati pengarang apa yang mereka alami dan menggugah para
pembaca agar bisa mencoba lebih menganalisa realitas dalam masyarakat.
Di
Indonesia sendiri, banyak yang telah mengetahui bahwa gerakan feminisme pertama
adalah perjuangan R.A Kartini agar kaum perempuan diberikan hak untuk menempuh
pendidikan seperti halnya kaum lelaki. Banyak kalangan yang mengkritisi peran
Kartini dalam pergerakan feminisme nyata karena memang dalam sejarah
diceritakan bahwa ide-ide besar Kartini untuk mengangkat derajat perempuan di
Indonesia hanya tertuang dalam tulisan-tulisannya untuk temannya di Belanda dan
karyanya sendiri yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, sedangkan
tindakan nyata yang sempat dilakukan Kartini hanyalah membuat sekolah kecil
khusus perempuan. Akan tetapi, kobaran semangat Kartini yang begitu kuat untuk
menuntut persamaan hak perempuan dan laki-laki tidak dapat dipungkiri merupakan
sesuatu yang pada masa itu memang belum dimiliki perempuan lain manapun di
negeri ini. Oleh karena itu gelar pelopor gerakan feminisme di Indonesia memang
sepantasnya disandang oleh Kartini. Setidaknya mengawali pemikiran akan kondisi
sosial masyarakat diaman manusia tidak lagi dipandang berdasarkan gender dan
diperlakukan negatif hanya karena mereka terlahir sebagai perempuan.
Seorang sastrawan asal Mesir bernama
Najib Kaelani juga telah menggambarkan
kondisi feminisme di Indonesia dalam novelnya yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia yang berjudul “Gadis Jakarta”, novel ini menceritakan kondisi
politik Indonesia tahun 1965. Novel ini mengisahkan perjuangan seorang gadis
Fatimah, putri ketua Masyumi membebaskan ayah dan kekasihnya yang ditahan oleh
partai, karena menentang ideologi partai. Partai demikian menguasai percaturan
politik Indonesia ketika itu, mereka menggunakan berbagai cara untuk menggapai
cita-cita partai, karena cintanya ditolak az-Zaim nekat menculik sang ayah dan
kekasih Fatimah. Namun kegigihan az-Zaim sebagai seorang ketua partai kandas
akan kegigihan seorang gadis muda yaitu Fatimah.
Novel ini juga disebut sebagai novel
sejarah, karena banyak menggambarkan perjalanan pergolakan politik, yang
menurut setting cerita ini adalah pemberontakan PKI. Kedekatan ideologi
antara Indonesia dan Mesir telah mengilhami penulis yang tertera dalam
keseluruhan isi novel tersebut.
Berlanjut
pada abad ke-21 yang kita semua berada dalam lingakarannya, telah melahirkan pula novel-novel bertemakan feminis
di dunia. Salah seorang sastrawan di Inggris yang bernama E.L James menulis
karya novel yang berjudul “Fifty Shade of Grey” yang sejak awal
perilisannya telah menduduki puncak teratas penjualan buku fiksi diseluruh dunia
termasuk Inggris dan Amerika, terjual sekitar 40 juta kopi diseluruh dunia dan
berhasil memecahkan rekor sebagai novel yang paling cepat terjual sepanjang
masa yang telah mengalahkan novel sebelumnya yang dipegang oleh seri-seri “Harry
Potter”. Sehingga pada tahun 2012 kisah tersebut telah diangkat ke dalam
layar lebar.
Fifty Shades of Grey bercerita tentang Anastasia "Ana" Steele,
seorang mahasiswi sastra berusia 22 tahun yang tinggal bersama sahabatnya,
Katherine Kavanagh. Katherine bekerja sebagai penulis untuk jurnal kampus
mereka. Karena sakit, Katherine membujuk Ana untuk menggantikannya mewawancarai
seorang pengusaha muda sukses dan kaya berusia 27 tahun bernama Christian Grey.
Ana langsung tertarik pada Grey dan terobsesi oleh kharisma sensual yang
dimilikinya. Namun sifat Grey yang mengintimidasi membuat Ana melupakan
semuanya dan mencoba menghibur diri dengan pikiran bahwa mereka berdua mungkin
tidak akan pernah bertemu satu sama lain lagi.
Hubungan mereka berduapun berlanjut,
dari mulai ciuman di lift hingga Ana perlahan menyadari dirinya telah
terperangkap pada kuatnya daya pikat Christian Grey yang erotis, sensual,
lembut, perhatian, super dominan, sekaligus menyakitkan. Selama tiga minggu Ana
membiarkan nafsu, libido, gairah dan pengalaman seksualnya berjibaku bersama
Christian, sekaligus menjadi pria pertama yang di percaya Ana untuk merenggut
keperawanannya. Ana menyadari, menyetujui dan menikmati semua permainan seksual
penuh gairah dan menyimpang, yang secara perlahan dan sensasional diperkenalkan
Christian. Terbius oleh ketampanan, kelembutan dan perhatiannya, perlahan Ana
menemukan sisi erotis dalam dirinya, yang bisa mengimbangi seaneh apapun
Christian memperlakukannya. Ana bahkan berani melihat beberapa “sex stuff”
di kamar pribadi Christian yang disebutnya “Red Room Pain”. Flogger,
Cambuk, Rantai dan banyak permainan sex lainnya di perlihatkan Christian pada
Ana, tanpa ada rasa takut sedikitpun di benaknya. Meski Christian selalu
mengingatkan Ana untuk pergi atau bahkan lari jika ia merasa tak nyaman atau
takut. Tapi Ana menikmatinya, bahkan menantang Christian untuk mencoba dirinya.
“There’s no line between Love and Lush” – Ana bahkan tak lagi mengenali
apa yang ia rasakan.
Sekilas tentang cerita diatas
menjelaskan bahwa adanya perbedaan konsep pemikiran feminisme yang disebabkan
oleh dinamika perubahan zaman, yang mana pada era sebelumnya feminisme membahas
tentang kebebasan akan wanita dari hukum, politik, dan sosial ekonomi, kini
melebar kepada kebebasan wanita dalam memilih cara untuk berhubungan cinta
dengan pria atau lebih pada hal intim, dan yang sebelumnya wanita ingin keluar
dari kekangan bercinta dengan seorang pria, namun novel tersebut menjelaskan
bentuk kenyamanan dan kenikmatan seorang wanita
bercinta dari kekangan tersebut. Inilah yang menjadi perbedaan sisi
feminis dan menjadikan karakter yang berbeda pada novel tersebut.
Walaupun novel ini mendapatkan
banyak kritik, tetapi novel ini menjadi titik tolak perbedaan konsep feminisme
dalam sebuah karya sastra yang menjadi kekhasan dalam setiap periode, isinya
juga mencerminkan dinamika yang begitu jelas akan perbedaan dengan novel-novel
feminisme sebelumnya.
Dari
sekilas perjalanan sejarah gerakan Feminisme diatas yang berawal dari sebuah
pemikiran sosiologi, telah melahirkan banyak sastrawan yang menulis karya
sastranya yang agung dan kontroversial bertemakan feminism. Mereka menuliskan
karya-karyanya berdasarkan realita yang ada di lapangan kemudian menjadi
endapan dalam hati yang ingin mereka sampaikan lewat keliahaiannya dalam
berbahasa sehingga berbentuk buku, novel, atau bahkan puisi dan menjadi karya
sastra agung yang diperhatikan oleh orang banyak.
III. Simpulan
Feminisme lahir
atas ketidakadilan hak yang dimiliki antara laki-laki dan perempuan, dan adanya
keinginan untuk memperjuangkan kesetaraan gender yang dimiliki oleh perempuan
atas laki-laki
Karya sastra
yang besar adalah merupakan cerminan atau potret kehidupan masyarakat yang
benar dialami oleh pengarangnya atau orang lain yang ingin diceritakan semasa
ia hidup, dan keberadaan gerakan feminisme disini begitu memperkuat dan
mempertajam pemikiran pada penulisan seorang satrawan ke dalam karyanya.
Sehingga menjadikan karyanya bernilai dan bermanfaat untuk merubah konsep diri
seseorang ke arah yang lebih baik dan yang diharapkan.
Dinamika
perkembangan pola pikir manusia mempangaruhi perubahan konsep dari feminisme
itu sendiri, ditandai dengan adanya beberapa kekhasan dalam isi pikiran karya
sastra yang bertemakan feminisme di setiap periodenya menunjukkan bahwa adanya
dinamika pemikiran yang di miliki oleh manusia pada setiap perbedaan zaman
tersebut.
Daftar Rujukan
Hubbies, Aida Fitalya S. 1997. Feminisme dan Pemberdaan
Perempuan. Bandung : Pustaka Hidayah.
Istibsyaroh. 2004. Hak-hak Perempuan Relasi Gender, Menurut
Tafsir al-Sya’rawi. Jakarta : Teraju.
James E.L. 2011. Fifty Shades of Grey. London : Vintage
Books.
Kartini. (Ed. Terj) Armin Pane. 2005. Habis Gelap Terbitlah
Terang. Jakarta : Balai Pustaka.
Muzakki, Ahmad. 2006. Kesusasteraan Arab: Pengantar Teori dan
Terapan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Najīb Mahfūdh. 2007. Bidāyah wa Nihāyah.
Dūrus’-Syurūq: Qāhirah.
Najib Kaelani. Gadis Jakarta. Yogyakarta : Navila.
Pradopo, Rachmat Djoko dan Abdullah, Imran T. 1993. Teori Sastra
Masa Kini. UGM Press: Yogyakarta.
Saadawy, Nawal. (ed. Terj). Amir Sutaarga. 2010. Perempuan di
Titik Nol. Yayasan Pustaka Obor: Jakarta.
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman
Awal. Malang : UMM Press.
Taum, Yoseph
Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Nusa Indah.
Teeuw, A. 2003.
Sastera dan Ilmu Sastera. Bandung: Dunia Pustaka Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar