Selasa, 17 Mei 2016

Pandangan Feminisme dalam Sastra
Faisal Akbar
21402071069

Abstrak : sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain yang bahasanya dimanipulasi atau disulap oleh pengarangnya sehingga menghasilkan efek asing (deotomatisasi) dalam penerapannya. Isi dalam karya sastra sering disebut juga potret kecil dari kehidupan dan imajinasi pengarangnya yang berasal dari keseharian penulis dan diungkapkan dalam bentuk bahasa yang indah. Pada perkembangannya, sastra telah melahirkan banyak aliran-aliran yang disebabkan oleh dinamika sosial yang terus berkembang, diantara aliran-aliran tersebut adalah aliran sastra feminisme, feminisme merupakan sebuah gerakan perempuan yang menuntut kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Perbincangan masalah ketimpangan sosial antara laki-laki dan perempuan tersebut mendorong pemikiran para sastrawan untuk menuangkan isi pikirannya ke dalam sebuah karya sastra, dari sini bisa dilihat bahwa karya sastra merupakan representasi dan potret kehidupan nyata yang di bumbui oleh imajinasi para penulisnya. Sastra telah membuktikan eksistensinya sebagai media penyampaian gagasan akan realita sosial yang telah dialami manusia dengan bahasa yang indah seperti yang telah dilakukan oleh para sastrawan feminisme, sehingga perjalanan historis akan sastrawan aliran feminisme menjadi kajian yang menarik dengan berbagai kontroversi para kritikus sastra dan kelompok-kelompok yang berada di dalamnya.
Kata kunci : Sastra, feminisme.


I. Pendahuluan
            Manusia diciptakan menjadi dua jenis kelamin yaitu : laki-laki dan perempuan. Dilihat dari aspek biologis secara kodrati memang diakui adanya perbedaan (distinction), bukan pembedaan (discrimination) antara laki-laki dan perempuan. Meski demikian, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang selanjutnya bersifat komplementer, saling mengisi dan melengkapi bukan saling kompetitif (Istibsyaroh, 2004: 2).
            Dalam persepsi sosial, laki-laki sering diibaratkan sebagai pribadi yang kuat, arjuna, jantan, rasional, penanggung jawab ekonomi keluarga dan lain-lain. Adapun perempuan diibaratkan sebagai sosok yang lembut, sentimental, tidak rasional dan hanya cocok sebagai penunggu rumah yang mengurus anak-anaknya dan memasak didapur. Perempuan kemudian menjadi mahluk kelas kedua atau the second sex seperti juga disebut warga kelas dua yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan.
            Perempuan merupakan lawan jenis dari laki-laki yang sering digambarkan dengan citra-citra tertentu yang mengesankan inferioritas perempuan, baik dalam struktur sosial maupun budaya dalam tatanan masyarakat, seperti konstruksi budaya, tubuh perempuan sering digunakan sebagai alat mempertahankan kekuasaan laki-laki atas perempuan.
            Perbedaan jenis kelamin ini dalam sejarahnya menimbulkan persoalan ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh kaum perempuan, karena perempuan dianggap manusia kelas dua dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan dalam tradisi patriaki bangsa Arab sebelum Islam datang, secara umum menempatkan perempuan hampir sama dengan hamba sahaya dan harta benda. Mereka juga bisa mengubur hidup-hidup bayi perempuan, tidak memberikan harta waris kepada perempuan baik dalam wilayah publik maupun domestik. Fenomena ini juga terjadi dalam ranah lingkup masyarakat luas.
            Ketimpangan sosial yang terjadi antara laki-laki dan perempuan melahirkan sebuah gerakan baru yang disebut feminisme. Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan (Hubbies, 1997: 19). Feminisme diawali oleh persepsi adanya ketimpangan yang terjadi terhadap perempuan dalam kehidupan masyarakat. Secara operasional feminisme adalah upaya membebaskan perempuan dari berbagai ketimpangan yang terjadi terhadap mereka. Sebagai sebuah gerakan, feminisme harus mengacu pada definisi operasional dan bukan definisi ideologis. Dengan demikian, feminisme hendaknya dilihat dari sebuah aksi atau gerakan bukan sebagai fanatisme keyakinan.
            Kalimat sastera dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta. Akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu sastera dapat berarti “alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran (Teeuw, 1984:20-21). Kemudian dalam bahasa Indonesia, ada teoritisi yang menyebut awalan su- dalam kata susastera yang berarti : baik, indah, perlu dikenakan kepada karya-karya sastra untuk membedakan dari bentuk pemakaian bahasa lainnya (Taum, 1997:12).
            Menurut Taum (1997:12-13), beberapa definisi ontologis (yakni definisi yang bermaksud merumuskan hakikat sastra) terbukti tidak dapat diterapkan untuk menyebut sastra secara universal. Definisi-definisi ontologis itu misalnya; “sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif “; sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain”; sastra adalah teks-teks yang bahasanya dimanipulasi atau disulap oleh pengarangnya sehingga menghasilkan efek asing (deotomatisasi) dalam penerapannya.
            Karya sastra sering disebut sebagai representasi atau potret kecil dari kehidupan. Imajinasi pengarang yang berasal dari kehidupan sehari-hari kemudian diungkapkan dalam bentuk karya sastra. Imaji merupakan hakekat karya sastra itu sendiri, imajinasi dalam karya sastra disini adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan (Muzakki, 2006: 118).  
Dalam setiap karya sastra yang menampilkan tokoh pria dan wanita, hampir selalu dijumpai penggambaran-penggambaran tertentu yang kurang adil terhadap wanita, misalnya ibu rumah tangga, wanita yang kolot, wanita manja dan lain-lain. Hal ini hampir terjadi dalam setiap karya sastra dibelahan dunia manapun.
            Berbicara masalah ketimpangan sosial antara laki-laki dan perempuan tersebut mendorong pemikiran para sastrawan untuk menuangkan isi pikirannya ke dalam sebuah karya sastra agung, dari sini bisa dilihat bahwa karya sastra merupakan reprentasi dan potret kehidupan nyata yang di bumbui oleh imajinasi para penulisnya. Sehingga banyak ditemukan berbagai karya sastra termasyhur yang dikenal oleh orang banyak membahas tentang tema feminisme.
            Perjalanan sastra aliran feminisme telah melalui masa yang panjang dan menjadi kajian yang menarik perhatian dari masyarakat luas khususnya kaum hawa tak terkecuali kaum adam pada umunya, serta memiliki karakteristik disetiap pandangan tokoh-tokohnya terhadap masalah tersebut hingga melahirkan kelompok-kelompok sendiri dalam aliran feminisme seperti feminisme liberal, radikal, marxis, anarkis dan sebagainya. Hal demikian menarik sifat simpatik dari para kritikus dan penikmat sastra untuk berusaha menelusuri lebih jauh akan aliran feminisme dan meneliti realisasi yang ada dalam sejarah pembuatannya dalam dunia sosial. Pada penulisan artikel ini penulis sekilas menggambarkan sejarah perjalanan aliran feminisme dalam sastra dan berbagai kehebatan pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan yang di lontarkan oleh para sastrawan, kritikus, dan penikmat sastra yang berkecimpung dalam aliran feminisme termasuk kelompok-kelompok yang berada didalamnya.

II. Pembahasan
            Jika ditelusuri kebelakang, dalam sejarah kemanusiaan dominasi laki-laki atas perempuan dan stereotip yang dibentuk oleh gender sudah ada sejak zaman dahulu. Banyak pendapat mengatakan bahwa faktor teologis adalah faktor utama menancapnya faham patriarki dalam masyarakat, karena agama-agamalah yang memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Salah satu konsep teologis yang memberikan citra negatif kepada kaum perempuan ialah anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab tergelincirnya Adam dari Surga ke planet bumi, karena rayuannya, Adam lengah lalu memakan buah terlarang menyebabkannya terlempar ke bumi. Kaum perempuan kemudian harus menanggung akibat lebih besar. Kisah tentang rayuan Hawa kepada Adam yang banyak diyakini berasal dari sumber islam sangat tidak benar, dalam Al-Qur’ān tidak ada satupun ayat yang menceritakan rayuan Hawa supaya Adam memakan buah yang dilarang oleh Allah. Dalam Al-Qur’ān diceritakan bahwa keduanya dengan menggunakan dhamir “Humā” yang berarti keduanya digelincirkan oleh setan yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari syurga (Al-Baqārah: 35-36). Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa rayuan Hawa pada Adam untuk memakan buah yang dilarang oleh Tuhan tidak berasal dari Al-Qur’ān, namun berasal dari ajaran-ajaran sebelum islam yang salah satunya dari kitab Kejadian (2000, 3: 6). Pola pemikiran yang secara budaya ini telah ada sebelum islam kemudian ikut mempengaruhi pola pikir masyarakat islam sehingga semakin menguatkan budaya patriarki dalam masyarakat waktu itu.
            Para penulis wanita dan pembaca wanita selalu harus bekerja melawan hakikatnya sendiri. Aristoteles mengatakan bahwa “wanita adalah wanita berdasarkan atas kekurangan mereka terhadap kualitas-kualitas tertentu”, dan St. Thomas Aquinas yakin bahwa wanita adalah “laki-laki yang tidak sempurna”. Ketika Donne menulis “Air and Angel” ia menyinggung (tetapi tidak menyangkal) teori Aquinas bahwa bentuk adalah laki-laki dan masalah adalah perempuan, pikiran laki-laki lebih unggul dari pada dewa, mengesankan bentuknya pada masalah yang perempuan, yang tak berdaya, dan lemah. Dalam masa sebelum Mendel, para lelaki memandang sperma mereka sebagai benih yang aktif yang memberi kepada ovum yang menanti dan kekurangan identitas hingga menerima pengaruh laki-laki. Dalam trilogi Aeschylus, The Oresteia, kemenangan dianugerahkan oleh Athena kepada tuntutan laki-laki, sesuai dengan pendapat Apollo, bahwa ibu bukan orang tua anaknya. Kenangan prinsip laki-laki intelek membawa akhir pemerintahan Furies, perempuan yang sensual dan memaksakan patriarki dan matriakri. Kritik feminis kadang-kadang memancing kemarahan Furry untuk mengganggu ketentuan berpuas diri kebudayaan patriarki dan untuk menciptakan iklim yang kurang menekan bagi para penulis dan pembaca wanita. Kadang-kadang kritikus wanita menggunakan akal untuk “mendekontruksi” cara-cara melihat yang di dominasi oleh laki-laki. Mary Ellman, misalnya menyarankan bahwa kita mungkin lebih suka memandang ovum sebagai pemberanian, merdeka, dan individualistis (lebih dari “apathetic”) dan sperma itu sebagai penyesuaian diri dan seperti domba (lebih daripada “enthusiastic”). Fantasi Woody Allen tentang sperma dilanda kepanikan secara pasif menanti perjalanan ke dalam hal yang tidak diketahui adalah sebagai tidak heroik mengenai inseminasi sebagai dapat dikhayalkan oleh setiap feminis (Pradopo dan Abdullah, 1993:135).

2.1 Pengertian Feminisme
            Feminisme (tokohnya disebut dengan feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 19890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Sekarang ini kepustakaan internasional mendefinisikan sebagai pembedaan terhadap hak-hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki-laki (wikipedia).
           
2.2 Sejarah Feminisme
            Gerakan feminisme dimulai sejak abad ke-18, suara wanita dibidang hukum, khususnya teori hukum, muncul dan berarti. Hukum feminis yang dilandasi sosiologi feminis, filsafat feminis, dan sejarah feminis merupakan perluasan perhatian wanita dikemudian hari. Di akhir abad ke-20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan critical legal studies, yang pada intinya banyak memberikan kritik terhadap logika hukum yang selama ini digunakan, sifat manipulatif dan ketergantungan hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar.
            Menurut Saraswati (2003:155-156) ada beberapa aspek yang menyulut munculnya gerakan feminisme di Barat, yakni (1) aspek politik, tergambar ketika rakyat Amerika memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1776, dalam deklarasi tersebut dicantumkan kalimat “all men are created equal” (semua laki-laki diciptakan sama), terlihat sama sekali tidak menyebutkan perempuan, maka dalam konvensi di Seneca Falls pada tahun 1848, para tokoh feminis memproklamasikan versi lain dari deklarasi kemerdekaan Amerika yang berbunyi : “all men and women are created equal” (semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama);(2) aspek agama, dalam hal ini gereja mendudukan wanita inferior, karena baik agama protestan maupun katolik menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada kedudukan laki-laki; dan (3) aspek konsep sosialisme dan Marxis, beranjak dari pikiran Frederick Engels yang mengemukakan bahwa “within the family he is bourgeois and the wife represents the proletariat” (dalam keluarga, suami adalah borjuis dan istri mewakili kaum proletar).
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki (Saraswati, 2003:156).
            Walaupun pendapat feminis bersifat pluralistik, namun satu yang menyatukan mereka adalah keyakinan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum bersifat patriarki. Aturan hukum yang dikatakan netral dan objektif sering kali hanya merupakan kedok terhadap pertimbangan politis dan sosial yang dikemudikan oleh ideologi pembuat keputusan, dan ideologi tersebut tidak untuk kepentingan wanita. Sifat patriarki patriarki dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan atau kesetaraan gender. Kesetaraan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional ideologis yang saat ini berlaku.
Feminisme menitikberatkan perhatian pada analisis peranan hukum terhadap bertahannya hegemoni patriarki. Segala analisis dan teori yang kemudian dikemukakan oleh feminis diharapkan dapat secara nyata diberlakukan, karena segala upaya feminis bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah perkembangan manusia, namun lebih kepada upaya manusia untuk bertahan hidup. Lahirnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan.
Feminisme merupakan sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dan pria dan tokohnya akan disebut dengan feminis. Gerakan feminisme pertama kali muncul pada era Rennaissance. Gerakan ini dicetuskan oleh Lady Mary Wortley Montague dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan wanita ini pertama kali berkumpul dalam forum ilmiah pertama yang diadakan di Middleburg, kota selatan Belanda, pada tahun 1785. Menjelang abad ke-19, mulai banyak kaum hawa Eropa khususnya yang memperjuangkan hak-hak dalam berbagai bidang, yang memegang prinsip visioner yang universal sisterhood.
Gerakan feminisme dipelopori oleh Charles Fourier pada tahun 1837, seorang sosiolog asal Perancis. Selain di Eropa, gerakan feminisme juga mulai dikenal di Amerika karena hasil pemikiran yang konstruktif John Stuart Mill dalam tulisannya Subject of Women (1869). Feminisme sendiri sering kali didefinisikan sebagai suatu gerakan dari kaum wanita yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka untuk memperoleh kesetaraan derajat dengan kaum pria serta keadilan HAM, baik dalam berpolitik, melakukan kegiatan ekonomi, maupun berprofesi di bidang pertahanan dan keamanan. Derajat dan martabat wanita setidaknya mendapat kedudukan yang sama dengan kaum pria, termasuk menjadi seorang pemimpin dalam sebuah komunitas kelompok.
Feminisme mulai menjadi bahasan dalam studi hubungan internasional sejak tahun 1900an. Gerakan feminisme mulai dibahas dalam beberapa pertemuan atau konferensi hubungan internasional di Amerika Serikat dan Inggris. Pada tahun 1988, sebuah makalah berjudul Gender and International Relations dipublikasikan oleh London School of Economic dan di edit oleh Rebecca Grant dan Kathleen Newland, tokoh revolusioner yang membawa studi feminisme ke dalam kerangka teoritik hubungan internasional.
2.3 Pandangan dan Kritik Feminisme dalam Sastra
            Beberapa pemikir feminis sama sekali engan menerima “teori”. Ada banyak alasan untuk hal ini. Dalam lembaga-lembaga akademik “teori” sering bersifat laki-laki, bahkan bersifat macho. Teori adalah studi sastra yang sukar, intelektual, dan avant-garde. Watak laki-laki yang keras bertujuan mendorong, dan berambisi besar untuk mendapatkan tempatnya dalam “teori” ketimbang dalam seni penafsirankritik yang lembut. Kaum feminis seringkali menunjukkan objektivitas ilmu pengetahuan laki-laki yang curang. Teori-teori Freud dikecam karena seksismenya yang mencolok mata misalnya, asumsi mereka bahwasannya seksualitas wanita dibentuk oleh “kecemburuan zakar”. Banyak kritik feminis yang ingin melarikan diri dari “ketetapan dan ketentuan” teori dan mengembangkan wacana perempuan yang tidak dapat diikat secara konseptual sebagai milik suatu tradisi teoritis yang diakui (dan oleh karena itu, barangkali dihasilkan oleh laki-laki), bagaimanapu juga, kaum feminis telah tertarik kepada tipe teori pasca-strukturalis Lacan dan Derrida, barangkali secara nyata menolak untuk menegaskan otoritas atau kebenaran “maskulin”. Teori-teori psikoanalitik tentang dorongan nalurilah terutaman telah menolong para kritikus feminis yang mencoba mengucapkan perlawanan tanpa bentuk dan yang bersifat subversif dari beberapa penulis dan kritikus wanita terhadap nilai-nilai sastra yang dikuasai oleh laki-laki, meskipun sejumlah feminis telah menjajaki kemungkinan strategi perlawanan wanita tanpa mengembangkan teori yang rumit (Pradopo dan Abdullah, 1993:136).
            Simone de Beauvoir, dalam The Second Sex (1949), menetapkan dengan sangat jelas masalah dasar feminisme modern. Bila seorang wanita membatasi dirinya sendiri, ia mulai berkata “saya seorang perempuan”. Tidak ada laki-laki yang berbuat begitu. Kenyataan ini mengungkapkan ketaksimetrisan dasar antara istilah “maskulin” dan “feminin”. Orang laki-laki membatasi manusia bukan perempuan. Keseimbangan ini mundur ke belakang sampai ke perjanjian lama. Karena tersebar di antara orang laki-laki, para perempuan tidak mempunyai sejarah terpisah, tidak ada solidaritas, mereka telah tidak berkombinasi sebagai kelompok-kelompok tertindas yang lain, wanita terikat dalam suatu hubungan berat sebelah dengan laki-laki, laki-laki adalah satu perempuan adalah yang lain. Kekuasaan laki-laki telah menyelamatkan suatu iklim pemenuhan ideologis. Para wakil rakyat, pendeta, ahli filsafat, penulis, ahli ilmu pengetahuan telah berusaha menunjukkan bahwa kedudukan wanita yang rendah diinginkan di surga dan bermanfaat di bumi. De Beauvoir mendokumentasikan tuntutannya yang penuh ketelitian. Wanita telah dibuat lebih rendah dan tekanan ini menjadi berlipat ganda oleh keyakinan para lelaki bahwa wanita adalah lebih rendah menurut kodratnya. Gagasan abstrak tentang persamaan hanya permainan bibir, tetapi desakan untuk persamaan yang nyata biasanya akan ditentang. Para wanita sendiri, bukan para lelaki yang simpatik adalah dalam posisi terbaik untuk menilai kemungkinan-kemungkinan eksistensial kewanitaan.
            Tampak ada lima fokus pokok yang terlibat dalam kebanyakan diskusi tentang pokok perbedaan seksual yaitu : biologi,pengalaman, wacana, ketaksadaran, kondisi sosial dan ekonomi (Pradopo dan Abdullah, 1993: 137).
            Feminisme Perancis telah sangat dalam dipengaruhi oleh psikoanalisa, terutama oleh pengerjaan kembali teori-teori Freud dan Lacan. Para feminis Perancis, dengan mengikuti teori-teori Lacan, mengatasi permaslaahan terhadap Freud yang dilakukan oleh sebagian besar feminis. Sebelum Lacan, teori-teori Freud, terutama di Amerika serikat, telah diturunkan ke tingkat Biologis yang kasar anak perempuan, dengan melihat alat kelamin laki-laki, akan mengenal dirinya sendiri sebagai perempuan karena ia tidak mempunyai zakar. Ia mendefinisikan dirinya sendiri secara negatif dan menderita kecemburuan zakar yang tak terelakkan. Menurut Freud, kecemburuan zakar itu universal bagi wanita dan bertanggung jawab untuk kompleks pengebiriannya, yang mengakibatkan mereka memamndang diri mereka sendiri sebagai jenis kelamin positif dengan hakikat mereka sendiri. Ernest Jones adalah orang pertama yang memberi julukan teori Freud “phallocentric” (berpusat pada kelelakian), sebauh istilah yang diterima secara luas oleh para feminis bila membicarakan dominasi lelaki pada umumnya.
            Juliet Michell, dalam Psychoanalysis and Feminism (1975), mempertahankan Freud, dengan mengemukakan bahwa psikoanalisis bukanlah rekomendasi dari masyarakat patriarkal. Tetapi analisis tentang orang, ia yakin bahwa Freud adalah menguraikan penggambaran mental realitas masyarakat, bukanlah realitas itu sendiri. Pertahanannya terhadap konsep Freud mengenai kecemburuan zakar dan gagasan-gagasan perbedaan seksual telah kedapatan tidak meyakinkan oleh banyak feminis. Pengembalian nama baik Freud banya mendapat pengaruh dari Lacan, tetapi seperti ditunjukkan oleh Jane Gallop, Mitchael gagal menghubungkan penggunaan strategi Lacan oleh linguistik aliran Sassure. 
2.4 Aliran-aliran dalam Feminisme
1. Feminisme Liberal
            Feminisme liberal merupakan suatu pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Gerakan ini muncul pada awal abad ke-18, lahirnya bersamaan dengan zaman pencerahan. Tuntutan kebebasan dan kesamaan terhadap akses pendidikan, pembaharuan hukum yang bersifat diskriminatif. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf.
2. Feminisme Radikal
            Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
3. Feminisme Marxis
            Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. 
4. Feminisme Sosialis
              Sebuah faham yang berpendapat “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung landasan aliran tersebut.
5. Feminisme postkolonial
            Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.
6. Feminisme ortodoks
            Dikenal sebagai feminisme gelombang kedua, berkarakter sangat fanatik dan ortodoks dengan penjelasan-penjelasan wacana patriarkhal. Kaum feminis garis keras ini begitu yakin bahwa segala sesuatu yang menyusahkan dan menindas perempuan berhubungan dengan patrarkhal, hingga segala argumen hanya bertumpu pada penjelasan patrarkhal. Camille Paglia seorang profesor studi kemanusiaan dari Universitas Philadelphia mengkritik sikap feminis ortodoks sebagai kelompok yang selalu menganggap perempuan sebagai korban.
            Pandangan aliran ini merupakan aliran yang memiliki pandangan yang sangat fanatic serta memiliki sikap yang keras. Aliran ini dengan jelas menentang segala sesuatu yang dapat mempersulit dan memberikan hubungan mereka dengan laki – laki sehingga teori ini sangat di dominasi oleh kaum lesbian serta sangat “tidak disukai” keberadaanya.
7. Postfeminisme
            Aliran ini merupakan salah satu bentuk perwujudan rasa “bosan” terhadap apa yang disebut feminisme. Dimana feminisme dianggap seolah merupakan suatu berontak atau kecurigaan berlebih suatu kelompok wanita kepada laki-laki yang tidak memiliki dasar sehingga pemikiran ini harus dihilangkan.
2.5 Sastrawan Feminisme dan Karyanya
Setelah banyak berbicara tentang kelahiran dan perjalanan sejarah gerakan feminisme yang banyak dikaji di Eropa dan Amerika kini kita berlanjut ke Asia, tepatnya di Jepang, kita mengenal nama Michiko sebagai tokoh pergerakan kaum perempuan, kemudian Fatimma Mernissi, perempuan kelahiran Maroko ini, juga tidak lepas dari gelar tokoh feminisme kala itu, di Malaysia, kita mengenal nama Amina Wadud Muhsin, dan di Indonesia, pelopor pertama gerakan feminisme adalah Raden Ajeng Kartini, perempuan kelahiran Jepara Jawa-Tengah ini, selalau gigih memperjuangkan hak-hak dan martabat perempuan pada masanya, yang mana menurut beliau dalam bukunya yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" menceritakan tentang kondisi perempuan jawa kala itu, yang menurutnya hak-haknya selalu direnggut oleh kaum adam, martabatnya selalu terkukung oleh adat, sebagai contoh, tak ada kebebasan bagi kaum perempuan untuk menempuh pendidikan formal -sekolah-, harus rela dinikahkan dengan lelaki yang tak ia kenali, ataupun harus rela dipoligami/dimadu, bagi perempuan yang lahir pada tanggal 21 April 1879 ini, kemajuan suatu bangsa akan terlihat jelas, ketika hak dan martabat perempuan disejajarkan dengan laki-laki.
            Pada bangsa Arab, khususnya di Mesir, Qasim Amin adalah salah satu tokoh feminisme pertama, ialah yang melahirkan generasi-genarasi setelahnya, semisal May Ziyadah, Huda Sya’rawi, Zaenab Fawwaz, dan Nawwal Sa’dawi, berkat ide-ide yang dilontarkannya ia mampu merubah nasib perempuan Mesir yang selalu terhempit oleh kepentingan kaum adam, hingga tak heran jika orang-orang menyandanginya dengan gelar "Bapak Feminisme Islam".
Qasim Amin, lahir di sebuah kota besar Alexandria-Mesir, dari ayahnya yang seorang ayah yang berasal dari Turki Utsmani, dan ibu berdarah Mesir asli, ia lahir pada awal bulan Desember tahun 1863 M, sejak keci, Qasim Amin nampak tekun dan rajin dalam mempelajari ilmu-ilmu ke-islaman khusunya, sekolah dasarnya (SD) ia selesaikan di Alexandria, menyusul ayah dan ibunya pindah ke kairo.
            Pada tahun 1881, umurnya telah menginjak angka 20, ia menyelesaikan studinya di sebuah universitas di Negerinya Mesir, pada fakultas hukum dan administrasi, di sanalah ia kenal dengan Jamaluddin Al-afghani, yang diusir dari negerinya, setelah perkenalannya dengan Al-afghani, pikirannya telah banyak menyerap ide-ide Al-afghani.
            Gelar licence (LC) yang ia sandang mampu menjadikan dirinya sebagai pengacara di sebuah kantor milik Musthafa Fahmi, seorang pengacara handal pada waktu itu, yang memang sudah memiliki hubungan akrab dengan orang tua Qasim, lewat peran pengacara itulah, akhirnya Qasim Amin bisa melanjutkan jenjang studinya di Perancis.
            Pemikiran Qasim Amin berangkat dari analisa sosial kemudian mengkritisi teks-teks agama hingga dipahami sebagai tradisi yang profan dan tunduk pada nilai sosial dan sejarah. Pemikiran Qasim pun mampu meruntuhkan pola pikir yang terbelakang dan menjadi shock therapy dari permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat.
            Dalam bukunya yang kontroversial, Tahriru al-Mar’ah (Kairo, 1899), dan al-Mar’ah al-Jadiidah (Kairo,1900), ia menyeru emansipasi wanita ala Barat, bahkan doktrin-doktrin agama yang menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya harus ditinggalkan.
            Buah pemikiran Qasim tersebut memberikan pengaruh besar pada masalah gerakan feminisme di Mesir banyak karya-karya sastra yang bermunculan setelah mendapat pengaruh dari pemikiran Qasim antara lain novel-novel karya Naguib Mahfudz dan Nawal Shaadawi.
            Nawal Shaadawi melihat problem dari diskriminasi wanita sebagai masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah negara. Dalam novel atau bukunya yang terkenal adalah المرأة و الجنس"” (perempuan dan masalah sex), sebagai seorang dokter ia coba mengungkapkan realita pasien wanitanya yang mendapatkan masalah negatif yang berkaitan dengan hubungan seks dengan pasangannya, sekilas digambarkan pandangan negatif seorang pria kepada wanita di Mesir dalam berhubungan seks, dan dalam novelnya “Woman at Point Zero” (Perempuan di Titik Nol), dengan bahasa novel yang menarik ia menggambarkan nasib wanita Arab yang mengalami tekanan-tekanan, bahkan tanpa ragu ia menyamakan status para istri orang Arab dengan para pelacur, mungkin bisa dibilang lebih buruk karena pelacur memiliki kebebasan untuk memilih suami. Masalah diskriminasi wanita menurut Shaadawi tidak bisa diselesaikan lewat persamaan seks bahkan lewat agama. Persoalan wanita sangat kompleks, erat kaitannya dengan masalah global, ekonomi, dan politik sebuah negara.
              Dalam karya-karya Najīb Mahfūzh, tokoh-tokoh perempuan digambarkan sebagai seorang yang mampu mengikuti zaman dan memainkan peran baru, yaitu bekerja dan dapat membantu menafkahi keluarganya seperti laki-laki. Akan tetapi ia juga tidak mengubah pandangannya bahwa letak kehormatannya adalah terletak pada keperawanannya. Perempuan sering disalahkan karena sudah dianggap tidak perawan lagi, padahal ketidak perawanan mereka bukan diakibatkan oleh mereka, melainkan akibat lain yang diluar dugaanya,  misalnya akibat jatuh, pemerkosaan dan hal-hal lain. 
                 Novel Bidāyah wa Nihāyah karya Najīb Mahfūzh ini merupakan representasi dari kehidupan sosial di Mesir dan kritiknya tehadap kehidupan sosial di Mesir antara tahun 1930-1945. Novel ini sangat berbeda dengan novel-novel  yang diterbitkannya antara tahun-tahun tersebut yang banyak mengkritik tentang kehidupan politik Mesir. Novel Bidāyah wa Nihāyah ini jauh sekali dari nuansa kehidupan politik yang sangat menghangat pada waktu itu, kalaupun ada hal tersebut bukan merupakan inti cerita yang disinggung Najīb Mahfūzh.
            Salah satu masalah yang diungkapakan Najīb Mahfūzh disini adalah masalah kemiskinan di Mesir antara tahun 1930-1945 yang menyiratkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, antara yang berkuasa dan yang dikuasai, antara yang kuat yang yang tak berdaya. Dalam novel tersebut, Najib Mahfuz ingin menjelaskan tentang pemikiran sastra berperspektif feminis yaitu dengan upaya pemahaman kedudukan seorang perempuan dalam karya sastra.
            Sampai sekarang pun di dunia Arab masih menjadi perbincangan hangat akan gerakan feminisme yang dituangkan dalam karya-karya sastra yang kontroversional dengan tujuan meluapkan isi hati pengarang apa yang mereka alami dan menggugah para pembaca agar bisa mencoba lebih menganalisa realitas dalam masyarakat.
                Di Indonesia sendiri, banyak yang telah mengetahui bahwa gerakan feminisme pertama adalah perjuangan R.A Kartini agar kaum perempuan diberikan hak untuk menempuh pendidikan seperti halnya kaum lelaki. Banyak kalangan yang mengkritisi peran Kartini dalam pergerakan feminisme nyata karena memang dalam sejarah diceritakan bahwa ide-ide besar Kartini untuk mengangkat derajat perempuan di Indonesia hanya tertuang dalam tulisan-tulisannya untuk temannya di Belanda dan karyanya sendiri yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, sedangkan tindakan nyata yang sempat dilakukan Kartini hanyalah membuat sekolah kecil khusus perempuan. Akan tetapi, kobaran semangat Kartini yang begitu kuat untuk menuntut persamaan hak perempuan dan laki-laki tidak dapat dipungkiri merupakan sesuatu yang pada masa itu memang belum dimiliki perempuan lain manapun di negeri ini. Oleh karena itu gelar pelopor gerakan feminisme di Indonesia memang sepantasnya disandang oleh Kartini. Setidaknya mengawali pemikiran akan kondisi sosial masyarakat diaman manusia tidak lagi dipandang berdasarkan gender dan diperlakukan negatif hanya karena mereka terlahir sebagai perempuan.
            Seorang sastrawan asal Mesir bernama Najib Kaelani  juga telah menggambarkan kondisi feminisme di Indonesia dalam novelnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul “Gadis Jakarta”, novel ini menceritakan kondisi politik Indonesia tahun 1965. Novel ini mengisahkan perjuangan seorang gadis Fatimah, putri ketua Masyumi membebaskan ayah dan kekasihnya yang ditahan oleh partai, karena menentang ideologi partai. Partai demikian menguasai percaturan politik Indonesia ketika itu, mereka menggunakan berbagai cara untuk menggapai cita-cita partai, karena cintanya ditolak az-Zaim nekat menculik sang ayah dan kekasih Fatimah. Namun kegigihan az-Zaim sebagai seorang ketua partai kandas akan kegigihan seorang gadis muda yaitu Fatimah.
            Novel ini juga disebut sebagai novel sejarah, karena banyak menggambarkan perjalanan pergolakan politik, yang menurut setting cerita ini adalah pemberontakan PKI. Kedekatan ideologi antara Indonesia dan Mesir telah mengilhami penulis yang tertera dalam keseluruhan isi novel tersebut.
            Berlanjut pada abad ke-21 yang kita semua berada dalam lingakarannya, telah  melahirkan pula novel-novel bertemakan feminis di dunia. Salah seorang sastrawan di Inggris yang bernama E.L James menulis karya novel yang berjudul “Fifty Shade of Grey” yang sejak awal perilisannya telah menduduki puncak teratas penjualan buku fiksi diseluruh dunia termasuk Inggris dan Amerika, terjual sekitar 40 juta kopi diseluruh dunia dan berhasil memecahkan rekor sebagai novel yang paling cepat terjual sepanjang masa yang telah mengalahkan novel sebelumnya yang dipegang oleh seri-seri “Harry Potter”. Sehingga pada tahun 2012 kisah tersebut telah diangkat ke dalam layar lebar.
            Fifty Shades of Grey bercerita tentang Anastasia "Ana" Steele, seorang mahasiswi sastra berusia 22 tahun yang tinggal bersama sahabatnya, Katherine Kavanagh. Katherine bekerja sebagai penulis untuk jurnal kampus mereka. Karena sakit, Katherine membujuk Ana untuk menggantikannya mewawancarai seorang pengusaha muda sukses dan kaya berusia 27 tahun bernama Christian Grey. Ana langsung tertarik pada Grey dan terobsesi oleh kharisma sensual yang dimilikinya. Namun sifat Grey yang mengintimidasi membuat Ana melupakan semuanya dan mencoba menghibur diri dengan pikiran bahwa mereka berdua mungkin tidak akan pernah bertemu satu sama lain lagi.
            Hubungan mereka berduapun berlanjut, dari mulai ciuman di lift hingga Ana perlahan menyadari dirinya telah terperangkap pada kuatnya daya pikat Christian Grey yang erotis, sensual, lembut, perhatian, super dominan, sekaligus menyakitkan. Selama tiga minggu Ana membiarkan nafsu, libido, gairah dan pengalaman seksualnya berjibaku bersama Christian, sekaligus menjadi pria pertama yang di percaya Ana untuk merenggut keperawanannya. Ana menyadari, menyetujui dan menikmati semua permainan seksual penuh gairah dan menyimpang, yang secara perlahan dan sensasional diperkenalkan Christian. Terbius oleh ketampanan, kelembutan dan perhatiannya, perlahan Ana menemukan sisi erotis dalam dirinya, yang bisa mengimbangi seaneh apapun Christian memperlakukannya. Ana bahkan berani melihat beberapa “sex stuff” di kamar pribadi Christian yang disebutnya “Red Room Pain”. Flogger, Cambuk, Rantai dan banyak permainan sex lainnya di perlihatkan Christian pada Ana, tanpa ada rasa takut sedikitpun di benaknya. Meski Christian selalu mengingatkan Ana untuk pergi atau bahkan lari jika ia merasa tak nyaman atau takut. Tapi Ana menikmatinya, bahkan menantang Christian untuk mencoba dirinya. “There’s no line between Love and Lush” – Ana bahkan tak lagi mengenali apa yang ia rasakan.
            Sekilas tentang cerita diatas menjelaskan bahwa adanya perbedaan konsep pemikiran feminisme yang disebabkan oleh dinamika perubahan zaman, yang mana pada era sebelumnya feminisme membahas tentang kebebasan akan wanita dari hukum, politik, dan sosial ekonomi, kini melebar kepada kebebasan wanita dalam memilih cara untuk berhubungan cinta dengan pria atau lebih pada hal intim, dan yang sebelumnya wanita ingin keluar dari kekangan bercinta dengan seorang pria, namun novel tersebut menjelaskan bentuk kenyamanan dan kenikmatan seorang wanita  bercinta dari kekangan tersebut. Inilah yang menjadi perbedaan sisi feminis dan menjadikan karakter yang berbeda pada novel tersebut.
            Walaupun novel ini mendapatkan banyak kritik, tetapi novel ini menjadi titik tolak perbedaan konsep feminisme dalam sebuah karya sastra yang menjadi kekhasan dalam setiap periode, isinya juga mencerminkan dinamika yang begitu jelas akan perbedaan dengan novel-novel feminisme sebelumnya.
            Dari sekilas perjalanan sejarah gerakan Feminisme diatas yang berawal dari sebuah pemikiran sosiologi, telah melahirkan banyak sastrawan yang menulis karya sastranya yang agung dan kontroversial bertemakan feminism. Mereka menuliskan karya-karyanya berdasarkan realita yang ada di lapangan kemudian menjadi endapan dalam hati yang ingin mereka sampaikan lewat keliahaiannya dalam berbahasa sehingga berbentuk buku, novel, atau bahkan puisi dan menjadi karya sastra agung yang diperhatikan oleh orang banyak.
III. Simpulan
Feminisme lahir atas ketidakadilan hak yang dimiliki antara laki-laki dan perempuan, dan adanya keinginan untuk memperjuangkan kesetaraan gender yang dimiliki oleh perempuan atas laki-laki
Karya sastra yang besar adalah merupakan cerminan atau potret kehidupan masyarakat yang benar dialami oleh pengarangnya atau orang lain yang ingin diceritakan semasa ia hidup, dan keberadaan gerakan feminisme disini begitu memperkuat dan mempertajam pemikiran pada penulisan seorang satrawan ke dalam karyanya. Sehingga menjadikan karyanya bernilai dan bermanfaat untuk merubah konsep diri seseorang ke arah yang lebih baik dan yang diharapkan.
Dinamika perkembangan pola pikir manusia mempangaruhi perubahan konsep dari feminisme itu sendiri, ditandai dengan adanya beberapa kekhasan dalam isi pikiran karya sastra yang bertemakan feminisme di setiap periodenya menunjukkan bahwa adanya dinamika pemikiran yang di miliki oleh manusia pada setiap perbedaan zaman tersebut.

Daftar Rujukan
Hubbies, Aida Fitalya S. 1997. Feminisme dan Pemberdaan Perempuan. Bandung : Pustaka Hidayah.
Istibsyaroh. 2004. Hak-hak Perempuan Relasi Gender, Menurut Tafsir al-Sya’rawi. Jakarta : Teraju.
James E.L. 2011. Fifty Shades of Grey. London : Vintage Books.                   
Kartini. (Ed. Terj) Armin Pane. 2005. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta : Balai Pustaka.
Muzakki, Ahmad. 2006. Kesusasteraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Najīb Mahfūdh. 2007. Bidāyah wa Nihāyah. Dūrus’-Syurūq: Qāhirah.
Najib Kaelani. Gadis Jakarta. Yogyakarta : Navila.
Pradopo, Rachmat Djoko dan Abdullah, Imran T. 1993. Teori Sastra Masa Kini. UGM Press: Yogyakarta.
Saadawy, Nawal. (ed. Terj). Amir Sutaarga. 2010. Perempuan di Titik Nol. Yayasan Pustaka Obor: Jakarta.
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang : UMM Press.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Nusa Indah.
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Bandung: Dunia Pustaka Jaya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar