Rabu, 18 Mei 2016

Pendekatan Strukturalisme dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia


I. Pendahuluan
             Perjalanan pembelajaran bahasa Indonesia (PBI) tidak dapat dilepaskan dari kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia dan perkembangan studi linguistik di dunia. Kurikulum di Indonesia dirancang dan disusun atas dasar kurikulum yang berlaku di negara lain serta disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Sementara itu, berkaitan dengan perkembangan linguistik di dunia, dalam praktiknya selalu terlambat diikuti oleh PBI di Indonesia. Keterlambatan ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pada zaman dahulu pengertian jarak antara Indonesia dengan negara-negara maju sungguh-sungguh jarak secara geografis yang sangat jauh sehingga perkembangan pembelajaran bahasa dengan negeri maju yang menjadi pusat perkembangan linguistik tidak cepat sampai ke Indonesia, kemampuan berbahasa asing para pakar PBI yang terbatas sehingga tidak mampu mengikuti perkembangan secara cepat, keterlambatan pemahaman konsep linguistik mutakhir yang berkembang di negara maju, keterlambatan mengimplementasikan teori linguistik dalam PBI dan kondisi persekolahan di Indonesia berbeda dengan negara maju (Pranowo, 2014:50).
            Kondisi seperti itu dapat ditelusuri melalui sejarah perkembangan PBI di Indonesia. Pada awal kemerdekaan, PBI dilaksanakan berdasarkan berbasis materi. Artinya, pembelajar yang dianggap berhasil dalam belajar jika pembelajar menguasai materi pembelajaran. Pendekatan seperti itu tentu bertolak pada kebiasaan pembelajaran bahasa Belanda yang dilakukan di Indonesia pada zaman penjajah. Tentu pembelajaran bahasa Belanda pada saat itu sangat dipengaruhi oleh linguistik tradisional yang berkembang pesat di Eropa. Dengan kata lain, kurikulum sejak zaman kemerdekaan, kemudian berganti dengan kurikulum 1968 kondisinya masih tetap sama. 
            Baru pada tahun 1975, kurikulum berubah. PBI tidak lagi menggunakan pendekatan tradisional yang berbasis penguasaan materi tetapi berubah ke PBI berbasis pada tujuan. Artinya, seorang pembelajar dinyatakan berhasil dalam belajar jika mereka mampu mencapai tujuan yang telah ditentukan. Beraneka macam tujuan yang disusun dan dirumuskan secara sentralistis dan ditata secara hierakhis dari yang sangat luas sampai ke yang sangat sempit (khusus) sehingga terdapat tujuan pendidikan secara nasiona, tujuan pendidikan secara kurikuler, tujuan pendidikan secara umum (TIU ” tujuan instruksional umum”), dan tujuan pendidikan secara khusus (TIK ”tujuan instruksional khusus”). Karena kurikulum pendidikan di Indonesia disusun secara sentralisitis, menempatkan PBI seperti pembelajaran pada mata pelajaran yang lain, dilaksakan dengan berorientasi pada tujuan. Keterkaitan PBI dengan pendekatan linguistik struktural pada kurikulum 1975 akan dibahas pada makalah tersebut, penulis akan membahas tentang konsep dan landasan dari linguistik strukturalisme serta pendekatannya dalam pembelajaran bahasa Indonesia (PBI).
II. Pembahasan
2.1 Konsep Linguistik Strukturalisme
            Awal kajian ilmiah atau yang lebih dikenal dengan pendekatan modern terhadap bahasa sejak terbitnya buku Course de Linguistique (1916) karya sarjana Swiss, Ferdinand de Saususure yang dianggap sebagai pelopor linguistik modern. Dia merupakan linguis pertama yang mampu menjawab pertanyaan ontologis yang berhubungan dengan linguistik, sehingga linguistik tidak perlu mengambil paradigma dari cabang ilmu lain sebagaimana yang telah dilakukan pada kajian-kajian ilmu linguistik sebelumnya. Pemikiran de Saussure inilah yang menjadi landasan pijak pengembangan linguistik selanjutnya, baik tradisional maupun struktural.
            Asumsi Saussure yang terkenal dan merupakan dasar kajiannya adalah bahwa bahasa adalah realitas sosial. Sebagai realisasi asumsi tersebut, kajian pertama yang telah dilakukannya adalah kajian terhadap struktur bahasa. Hal ini dilakukan karena Saussure menganggap bahwa bahasa adalah sebagai satu struktur, sehingga pendekatannya sering disebut Structural Linguistics. Kedua, Saussure mengembangkan pikirannya ke dalam enam dikotomi tentang bahasa, yaitu (a) dikotomi sinkronik dan diakronik, (b) dikotomi bentuk (form) dan substansi, (c) dikotomi signifian dan signifie, (d) dikotomi langue dan parole, (e) dikotomi individu dan  sosial, dan (f) hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik (Busri, 2008:5).
            Pendekatan ini juga diikuti oleh sarjana-sarjana pada dekade berikutnya, seperti Franz Boas (1858-1942) sarjana Antropologi Amerika kelahiran Jerman; Edward Sapir (1884-1939) sarjana Antropologi dan Linguistik; dan Leonard Bloomfield (1887-1949) sarjana linguistik yang akhirnya tergabung dalam aliran linguitik struktural. Para sarjana tersebut mengembangkan kajian bahasa pada bahasa lain yang belum pernah diteliti sebelumnya. Bahkan mengembangkannya dengan membentuk aliran-aliran baru dalam kajian linguistik.
            Frans Boas adalah Antrolopog kelahiran Jerman yang banyak memberikan wawasan tentang penyelidikan lebih dalam tentang bahasa.  Boas  adalah seorang linguis yang otodidak (self – taught linguist) yang murni yang telah memberikan banyak andil pada penelitian bahasa – bahasa Indian Amerika, yang juga dengan hasil penelitiannya itu dapat menghilangkan anggapan salah yang mengatakan bahwa sifat dasar bahasa itu asalnya dari bahasa Eropa. Masalah ini dianggap penting karena pada masa – masa permulaan karir Boas, hasil – hasil penelitiannya banyak ditolak oleh para linguis ortodoks. Ciri khas sekolah linguistik yang didirikannya ialah faham relativismenya terhadap bahasa. Menurut Boas, tidak ada suatu bahasa yang merupakan ideal yang merupakan ukuran bahasa – bahasa lainnya. Bahasa manusia itu berubah – ubah terus dan tetap berbeda satu dengan yang lainnya.
Pikirannya tentang struktur bahasa menyangkut:
(1) kategori gramtikal: unit dasar bahasa (termasuk makna) adalah kalimat bukan kata, contoh kata ”air”, kata itu dapat bermakna air di sumur, atau air minum di gelas, ataukah air sungai. Singkatnya, sebuah kata akan menimbulkan pengertian yang bermacam – macam selama kata itu tidak diletakkan dalam konteks kalimat.
(2) pronomina atau kata ganti: klasifikasi kata ganti itu menurut Boaz tidak tetap. Artinya ketiga macam kata ganti orang, pertama, kedua, dan ketiga, didasarkan pada konsep diri sendiri dan non diri sendiri. Kata ganti non diri sendiri dibagi lagi menurut kebutuhan tuturan, yaitu orang yang di ajak bicara dan orang yang dibicarakan.
(3) Verba (kata kerja): kategori verba khususnya dalam bahasa Eropa seperti person (orang), number (Jumlah), tense (kala), mood, dan voice, bersifat semena-mena dan berkembang tidak merata pada berbagai usaha. Kalimat seperti: ”The man is sick”, tidak eksplisit dan tidak berkecil – kecil. Tetapi kalau dilihat pada bahasa lain, dapat lebih eksplisit dan berkecil – kecil karena kalimat itu biasa berarti ”The singgle definite man is sick at the present time” (seseorang yang tertentu sakit sekarang). Kalau dalam bahasa eskimo, kalimat diatas hanya akan berbunyi ”Singgle man sick” karena bentuk gramatikalnya tidak memerlukan ”tense” (kala).
            Linguis aliran struktural selanjutnya adalah Edward Sapir, ia adalah seorang Yahudi Jerman, mulai berdiam di Amerika Serikat ketika ia berumur 5 tahun (1889). Ia belajar di Universitas Columbia, dengan Filologi bahasa Jerman sebagai mata kuliah utamanya. Pengaruh Boas sangat besar terhadap dirinya sehingga iapun tertarik pada Linguistik dan Antropologi.
            Konsepsinya tentang bahasa dapat dipelajari dan ditelusuri pada batasan bahasa yang dibuatnya. Ia membuat batasan tentang bahasa sebagai berikut : Languange is a purely human and non-instinctive method of communicating ideas, emotions, and desires by means of a system of voluntarily produced symbols (Bahasa adalah suatu metode yang semata-mata digunakan oleh manusia dan tidak bersifat instingtif yang digunakan untuk menyampaikan ide, perasaan, dan keinginan dengan menggunakan sistem lambang secara sukarela) (Busri, 2008:13).
            Tokoh linguis yang selanjutnya yang paling terkenal akan sumbangsinya dalam lingusitik aliran struktural adalah Leonard Bloomfield, ia adalah seorang ahli bahasa Amerika yang paling besar sumbangannya dalam menyebarluaskan prinsip – prinsip dan metode – metode yang biasa disebut ”Strukturalisme Amerika”. Pengaruhnya melalui tulisan – tulisan yang dihasilkannya melebihi dari ajaran – ajaran yang dilakukannya. Sesudah bukunya yang pertama ”Introduction to the study of linguage”  terbit pada tahun 1914. Ia banyak menulis karangan – karangan, baik tentang linguistik umum maupun tentang bahasa – bahasa tertentu. Penelitiannya tentang bahasa – bahasa Indian Amerika sangat terkenal dan memberikan pengaruh yang besar. Ide – idenya disalurkan melalui tulisan –tulisannya dalamsebuah jurnal mengenai masyarakat linguistik Amerika yang bernama ”language”. Melalui majalah itu pulalah ia berusaha menjelaskan pendiriannya terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan metode.
            Pandangannya tentang penggunaan bahasa dirumuskan dengan “Rangsangan” (stimulus) dan tanggapan (respons). Menurut Bloomfield kita hanya dapat menentukan arti dari suatu bentuk tuturan secara cermat, apabila suatu arti itu berhubungan dengan sesuatu yang dapat memberikan manfaat pengetahuan yang bersifat ilmiah. Misalnya, kita dapat menetukan nama-nama tumbuhan dan binatang dengan menggunakan teknik botani dan kehewanan dan sebagainya. Ia juga telah menyatakan bahwa ”tuturan bahasa” itu penting karena mengandung makna; dan makna itu sendiri terdiri atas hal – hal yang penting dimana tuturan bahasa itu dihubungkan, yaitu peristiwa praktis. Arti dari suatu bentuk bahasa (linguistic form) adalah situasi dimana si pembicara menyebutkannya dan tanggapan yang ditimbulkannya pada diri si pendengar.


2.2 Landasan Linguistik Strukturalisme
            Pada makalah tersebut, penulis akan menjelaskan dua landasan penting dalam linguistik Strukturalisme yang akan menjadi acuan pada pendekatan linguistik strukturalisme dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia (PBI).
           
2.2.1 Landasan Psikologis
            Pendekatan Psikologis diartikan sebagai asumsi teoritis yang diyakini oleh psikologi tertentu yang saling berhubungan yang menyangkut hakikat belajar dan pengajaran pada diri seseorang (Richards, 1986:14).
            Belajar bahasa adalah proses penggunaan bahasa, baik pada bahasa pertama maupun bahasa kedua. Proses penguasaan bahasa yang dimaksud meliputi penguasaan secara alamiah (acquisition) maupun secara formal (learning) (Krashen, 1981:40). Kedua proses tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa proses alamiah maupun proses secara formal sedikit banyak akan mempertimbangkan aspek psikologi bagi pembelajarannya.
            Oleh karena itu, agar kita memiliki pemahaman mengenai asumsi teoritis yang diyakini oleh paham psikologi tertentu, secara ringkas akan dibahas pendekatan psikologi behaviorisme yang menjadi dasar acuan teori linguistik strukturalisme.
            Pandangan kaum behavioris tentang belajar dapat dilihat melalui eksperimen Ivan Pavlov. Ia mengadakan eksperimen dengan menggunakan seekor anjing. Anjing dikerangkeng, setelah kelaparan beberapa hari kemudian diperdengarkan bunyi bel. Sesaat bel berbunyi ditaburkan bubuk daging ke dalam mulutnya. Respons anjing adalah berupa keluarnya liur dari mulutnya. Perlakuan ini diulangi berkali-kali dan lama-kelamaan, bel tetap diperdengarkan tetapi penaburan bubuk daging dihentikann. Meskipun bubuk daging tidak lagi ditaburkan ternyata setiap mendengarkan bunyi bel, anjing tetap mengeluarkan air liur dari mulutnya.
            Kesimpulan yang diambil oleh Pavlov berdasarkan percobaan tersebut adalah anjing mampu belajar dari kebiasaan. Dengan pengulangan bunyi bel sehingga mengeluarkan air liur, bunyi bel merupakan stimulus yang akhirnya menghasilkan respons bersyarat, dan bunyi bel semula netral, setelah disertai mediasi berupa bubuk daging lama-kelamaan berubah menjadi daya yang mampu membangkitkan respons. Berdasarkan hasil eksperimen tersebut Pavlov menyimpulkan bahwa hasil eksperimennya juga dapat diterapkan kepada manusia untuk belajar. Implikasi hasil eksperimen tersebut pada belajar manusia adalah :
a. Belajar adalah proses membentuk asosiasi antara stimulus dan respons secara reflekrtif.
b. Proses belajar akan berlangsung apabila diberi stimulus bersyarat.
c. Prisip belajar pada dasarnya merupakan untaian stimulus respons.
d. Pavlov menyangkal adanya kemampuan bawaan.
e. Setiap pembelajaran memerlukan clasical conditioning.
            Eksperimen Pavlov tersebut kemudian dikembangkan oleh pengikutnya yaitu B.F Skinner (1993) dan hasilnya dipublikasikan dengan judul Behavior of Organism. Eksperimen Skinner tidak lagi menggunakan anjing tetapi menggunakan seekor tikus yang dimasukkan ke dalam kandang dan didalamnya diletakkan dua tongkat pengungkit yang dihubungkan dengan makanan dan bedak gatal. Gerakan-gerakan tidak sengaja yang dilakukan oleh tikus pada suatu saat si tikus menginjak salah satu pengungkit yang kemudian menjatuhkan bedak gatal. Pada waktu lain, gerakan si tikus secara tidak sengaja menginjak tongkat pengungkit yang kemudian menjatuhkan makanan. Setelah berulang-ulang terjadi, lama-kelamaan si tikus mampu belajar. Tikus lama kelamaan tidak mau lagi menginjak tongkat pengungkit yang biasa menjatuhkan bedak gatal. Sebaliknya si tikus berkali-kali menginjakkan kakinya pada tongkat pengungkit yang biasa menjatuhkan makanan. Dari gerakan tikus, Skinner melihat dan memaknai bahwa gerakan tikus yang tidak diinginkan (menginjak tongkat yang dihubungkan dengan bedak gatal), si tikus harus dihukum dengan guyuran bedak gatal agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Sebaliknya, jika gerakan yang dilakukan oleh si tikus sesuai yang diharapkan, si tikus pantas mendapat ganjaran, yaitu kajatuhan makanan dan dapat makan dengan kenyang.
            Hasil eksperimen B.F Skinner kemudian disimpulkan bahwa pengertian belajar merupakan pembentukan asosiasi antara stimulus dengan respons reflektif (sama dengan Pavlov). Skinner juga menyangkal adanya kemampuan bawaan dan meyakini bahwa belajar perlu clasical conditing (tikus dikerangkeng adalah penciptaan situasi belajar) dan operan conditing.
            Eksperimen Skinner juga menyimpulkan perlunya pengajaran terpogram secara bertahap. Artinya, stimulus yang diberikan pada pembelajar (jika persyaratan lain terpenuhi, seperti terciptanya situasi kelas yang kondusif) akan menghasilkan respons tertentu. respons tertentu akan menjadi stimulus baru dan akan menghasilkan respons baru yang lain, dan seterusnya. Perhatikan bagan dibawah ini!



Stimulus 1

Respons 1

Stimulus 2

Respons 2

Dan Seterusnya
 



            Makna penting yang ditambahkan Skinner berdasarkan eksperimennya adalah bahwa belajar membutuhkan hukuman dan ganjaran sebagai bentuk reinforcement (penguatan) baik secara positif maupun negatif. Hal ini sebagai konsekuensi dari hasil eksperimen untuk memberikan hukuman dan ganjaran yang diberikan pada si tikus.
            Penemuan Pavlov maupun Skinner memiliki kesamaan. Beda dari keduanya adalah bahwa Skinner menambahkan nosi reinforcement (penguatan) dan pengajaran terprogram (rote learning). Pavlov dengan hasil eksperimennya sering disebut tokoh behaviorisme klasik, sedangkan Skinner disebut-sebut sebagai tokoh neo-behaviorisme (Pranowo, 2014: 30).
            Para pakar psikologi belajar bahasa penganut paham behaviorisme berpendapat bahwa belajar bahasa berlangsung dalam lima tahapan yaitu :
a.       trial and error
b.      mengingat-ingat,
c.       menirukan,
d.      mengasosiasikan, dan
e.       menganalogi.
            Dari kelima langkah tersebut dapat disimpulkan bahwa berbahasa pada dasarnya merupakan proses pembentukan kebiasaan. Jika kita amati dari langkah-langkah eksperimen Pavlov maupun Skinner kemudian dikaitkan dengan proses pembelajaran bahasa, dapat dikemukakan bahwa :
a)      Pembelajaran bahasa dapat diamati berdasarkan tingkah laku bahasanya.
b)      Pembelajaran bahasa berdasarkan langkah-langkah eksperimennya dilakukan secara ilmiah.
c)      Pembelajaran bahasa dilakukan secara terprogram dan bertahap, dan memberikan arti penting pada nosi penguatan baik berupa ganjaran maupun hukuman.
Dalam kaitannya dengan tahap pembelajaran bahasa tersebut diatas, Skinner secara tegas menyatakan bahwa :
a)      Deskripsi tingkah laku belajar bahasa dapat dideskripsikan berdasarkan stimulus respons.
b)      Setiap ujaran mengikuti satu bentuk stimulus verbal maupun non verbal.
c)      Jika stimulusnya non-verbal, situasi stimulus yang menyebabkan seseorang merespons dengan menggunakan ujaran.
d)     Tingkah laku bahasa dapat diamati melalui faktor eksternal berupa frekuensi (tingkat keseringan). Dalam kaitannya dengan frekuensi ini, kaum behavioris mengemukakan bahwa proses menirukan secara besar-besaran terjadi pada masa usia anak-anak. Akibat dari proses peniruan tersebut berarti frekuensi pemakaian kata dan struktur yang terjadi dalam lingkungan bahasa anak akan mempengaruhi perkembangan bahasa anak.
e)      Nosi reinforcement (penguatan) sangat diperlukan pada saat anak ingin meningkatkan kemahiran berbahasa pada tingkat yang lebih tinggi. Kepedulian orang tua berupa persetujuan terhadap ujaran betul yang berhasil diproduksi anak sangat membantu perkembangan penguasaan bahasa anak.
Landasan psikologi behaviorisme juga menjadi landasan teori pembelajaran/pemerolehan bahasa model pengondisian operan yang dikembangkan oleh B.F Skinner pula. Menurut Skinner, psikologi behavioris memfokuskan perhatian pada peranan faktor-faktor eksternal diri manusia, bukan faktor-faktor internalnya, dalam mengendalikan perilaku manusia. Ternyata faktor lingkungan dianggap berperan paling penting dalam mengendalikan manusia, bukan kejiwaannya. Dengan demikian, manusia diperlakukan sebagai makhluk yang mekanistis (Saryono, 2010:15).
2.2.2 Landasan Filsafat
            Disamping dilandasi oleh psikologi behavioris TPB model pengondisian operan dapat berkembang karena dilandasi oleh disiplin ilmu lain, yaitu filsafat empiris dan linguistik struktural Amerika (Tarigan, 1985:185). Maka dari itu, filsafat empirisme sangat menekankan pengalaman indrawi, dan semua pengalaman “non-indrawi” tidak menjadi perhatian. Dalam hubungan ini manusia diperlakukan sebagai bagian dari alam kebendaan (Hobbes), kertas putih yang licin atau tabula rasa (Aristoteles dan Locke), dan jiwa manusia dianggap sebagai kompleksitas proses-proses mekanis dalam tubuh. Oleh karena itu, manusia dipandang sebagai makhluk yang dapat dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan kita. Tipologi atau karakter yang kita inginkan dapat kita bentuk atau wujudkan dalam diri manusia (Saryono, 2010:16).
            Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience.Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) yang berarti pengalamanSementara menurut A.R. Laceyberdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yangberpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkankepada pengalaman yang menggunakan indera.
Para penganut aliran empiris dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut aliran rasionalisme. Mereka menentang pendapat-pendapat para penganut rasionalisme yang didasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Menurut pendapat penganut empirisme, metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori tetapi posteriori, yaitu metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya kemudian.
Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman.
 Berikut ini adalah pandangan-pandangan dari filsafat empirisme :
a.       Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
b.      Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
c.       Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
d.   Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
e.         Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
f.       Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.

            Sementara itu, linguistik struktural atau strukturalisme Amerika beranggapan bahwasannya bahasa merupakan hasil stimulus-respons antara pembicara dan pendengar. Oleh sebab itu, linguistik struktural Amerika beranggapan bahwa bahasa ialah sistem bunyi dan bunyi ini dianggap sebagai perwujudan bentuk bahasa. Bentuk-bentuk bahasa yang dapat diindra ini menjadi perhatian utama lingusitik struktural Amerika karena bentuk-bentuk inilah yang dapat diamati secara langsung, segi-segi yang tidak tampak, khususnya semantik bahasa diabaikannya (Saryono, 2010:16).
2.3 Pendekatan Linguistik Struktural dalam Belajar Bahasa
            Sejak linguistik struktural yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure berkembang dan berdiri sebagai sistem ilmu yang otonom, pengaruh linguistik tradisional terhadap kajian bahasa mulai pudar, pengaruh linguistik struktural semakin menguat. Identifikasi bahasa para linguis struktural dipandang lebih linguistis, objektif, dan rasional.
            Deskripsi bahasa dipandang lebih linguistis karena bertolak pada bahasa itu sendiri. Hal ini berbeda dengan linguistik tradisional yang mengidentifikasi bahasa berdasarkan ilmu filsafat sehingga identifikasinya bersifat normatif dan filosofis.
            Identifikasi lain mengenai bahasa berdasarkan linguistik struktural adalah asumsinya mengenai bahasa primer adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa tulis hanyalah tiruan dari bahasa lisan yang tidak sempurna. Bahasa selalu terdiri atas unsur segmental dan supramental. Bahasa tulis hanya mampu menggambarkan unsur segmental, sedangkan unsur suprasegmental hanya sedikit yang dapat digambarkan oleh linguistik tradisional, yaitu ejaan. Unsur suprasegmental lain yang ikut menentukan makna dan pesan bahasa belum dapat digambarkan melalui linguisitk tradisional. Misalnya tekanan, intonasi, nilai rasa, daya bahasa, konteks dan lain-lain belum dapat digambarkan secara nyata.
            Identifikasi bahasa berdasarkan berdasarkan linguisitk struktural yang dianggap sebagai hasil penting dari linguistik struktural adalah teori dikotomi bahasa. Artinya bahwa bahasa dapat didikotomikan secara berpasang-pasangan, yang diantaranya adalah :
·         Langue-parole
·         Paradigmatik-sintagmatik
·         Sinkronis-diakronis
Langue yang dimaksud oleh kaum struktural didefinisikan sebagai pengetahuan seseorang mengenai bahasanya. Pengetahuan dan penguasaan kaidah bahasa termasuk dalam pemahaman langue ini. Sedangkan parole adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa berdasarkan kaidah bahasanya.
Urutan paradigmatik merupakan susunan bunyi satu dengan bunyi yang lain yang membentuk kata dan memiliki perbedaan makna dari unsur bunyi yang digunakan. Misalnya kata “dari” berbeda artinya dengan kata “dasi” . Perbedaan makna kedua kata tersebut hanya karena adanya satu bunyi yang berbeda, yaitu “r” dan “s”. Urutan paradigmatik ini sering pula disebut sebagai pasangan vertikal suatu kata. Perhatikan contohnlain yang memiliki perbedaan makna pada kata-kata dibawah ini.
·         Dara-dari-duri
·         Nasi-nari-nadi
·         Santai-pantai-rantai
Urutan sintagmatik merupakan susunan kata dengan kata lain yang membetuk struktur kalimat dan memiliki perbedaan makna. Misalnya:
·         Koruptor itu ditangkap oleh tim KPK.
·         Tim KPK ditangkap oleh koruptor.
·         Ditangkap oleh tim KPK koruptor itu.
Urutan yang berbeda antara kata dengan kata memberi tekanan makna yang berbeda dalam struktur kalimat. Namun, juga harus diakui bahwa linguistik struktural belum mampu menyelesaikan seluruhan persoalan sintagmatik. Beberapa urutan kata secara sintagmatik masih ada yang belum dapat dijelaskan oleh linguistik struktural, seperti contoh berikut ini.
·         Menerbangkan pesawat itu berbahaya.
·         Istri polisi yang nakal itu camtik.
·         Ada lima banteng besar dimargasatwa Ujung Kulon.
Perhatikan kalimat “Menerbangkan pesawat berbahaya” dapat menimbulkan beberapa pertanyaan karena menimbulkan beberapa tafsiran makna, seperti : (1)  apakah membahayakan pilotnya, (2) apakah membahayakan pesawatnya, (3) apakah membahayakan orang yang berada dibawah pesawat terbang?
Struktur kalimat “istri polisi yang nakal itu cantik” dapat menimbulkan pertanyaan karena memiliki interpretasi lebih dari satu tafsiran makna. Siapakah yang nakal? Apakah yang nakal itu “polisinya” ataukah “istri polisinya”.
Begitu juga struktur kalimat “ada lima banteng di marga satwa Ujung Kulon”. Kalimat itu juga memiliki tafsiran makna lebih dari satu maksus. Apakah penutur ingin “memberi informasi”, “ingin memberi peringatan agar berhati-hati”, ataukah “ingin memberi dorongan agar pendengar segera pergi melihat taman margasatwa”. Hal seperti inilah yang belum dapat diselesaikan oleh teori linguistik struktural.
Studi sinkronis adalah kajian bahasa pada satu kesatuan waktu yang sama dalam pemakaian bahasa yang berbeda-beda. Misalnya, seorang peneliti bahasa sedang memilih topik penelitian “pemakaian diksi dalam bahasa Indonesia pada media masa cetak nasional dan daerah pada bulan Januari s.d Februari 2013”. Waktu pemakaian bahasa yang diteliti adalah bulan Januari s.d Desember 2013. Meskipun media massanya berbeda-beda tetapi terbitan media massa tersebut pada kurun waktu yang sama, disebut studi sinkronis. Perhatikan contoh lain topik studi bahasa secara sinkronis dibawah ini.
·         Pemakaian gaya bahasa para politisi di televisi swasta pada bulan Januari 2013.
·         Nilai rasa bahasa para tokoh masyarakat dalam dialog interaksi di televisi swasta pada 2012.
·         Daya bahasa dalam berkomunikasi para guru ketika sedang mengajar pada semester gasal tahun pelajaran 2012.
Dari berbagai topik yang berbeda, karena waktu penelitiannya sama, setiap topik tersebut disebut studi sinkronis.
Studi diakronis adalah studi bahasa dalam kurun waktu yang berbeda. Misalnya, penelitian pemakaian bahasa Indonesia para tokoh politik pada zaman orde baru dibandingkan dengan pemakaian bahasa Indonesia pada zaman reformasi. Karena pemakaian bahasa Indonesia pada zaman orde baru (kurun waktunya dari 1966-1987) dan pemakaian bahasa Indonesia pada zaman reformasi (kurun waktunya dari 1999-sekarang), kajian bahasa yang berbeda kurun waktunya tersebut disebut studi diakronis. Perhatikan contoh lain topik studi bahasa secara diakronis dibawah ini.
·         Perbedaan gaya bahasa novel BP dengan novel populer tahun 1970-an.
·         Pemakaian bahasa Indonesia dalam pidato kenegaraan antara Bung Karno, Suharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Teori dikotomi bahasa yang dikemukakan oleh kaum struktural, memberi kontribusi pemikiran secara ilmiah. Meskipun, dalam kenyataannya, tidak semua unsur bahasa tidak dapat didikotomi seperti itu.
Dari berbagai pemikiran linguistik struktural, oleh pakar PBI di sekolah memberi warna dan pengaruh nyata dalam kurikulum di sekolah. Jika kita perhatikan penyusunan kurikulum 1975, kurikulum bahasa Indonesia ditata dengan urutan berdasarkan pokok bahasan yang diklasifikasikan dengan cara sebagai berikut.
·         Pokok bahasan fonologi
·         Pokok bahasan morfologi
·         Pokok bahasan sintaksis
·         Pokok bahasan kosakata/leksikon
Begitu juga untuk keterampilan berbahasa diklasifikasikan menjadi :
·         Menyimak/berbicara
·         Membaca/menulis
Dengan berbagai pokok bahasan seperti diatas, ternyata banyak kelebihan dan kekurangan dalam penerapan di Indonesia.
Silih bergantinya pendekatan dalam penyusunan kurikulum maupun penggunaan pendekatan linguistik dalam PBI di Indonesia belum pernah ada yang berakhir dengan menyenangkan karena keberhasilannya. Semuanya berakhir dengan kritik negatif dan tidak pernah ada penilaian positif. Padahal, di negeri Barat, teori kurikulum maupun teori linguistik yang digunakan dalam pembelajaran di sekolah, kalau toh terus diganti bukan karena kegagalan konsep dan implementasinya tetapi karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun kritik yang muncul pada kurikulum 1975 sebagai berikut (Pranowo, 2014:69):


Orientasi Kurikulum
Kelemahan
Kurikulum 1975
·         Beroriantasi pada tujuan.
·         Menggunakan pendekatan linguistik struktural.
·         Pembelajaran masih tetap berfokus pada penguasaan materi.
·         Pembelajaran akhirnya lebih banyak teori bahasa dan keterampilan berbahasa tetapi tidak menjadikan pembelajar mahir berbahasa.






III. Kesimpulan

·         Perjalanan pembelajaran bahasa Indonesia (PBI) tidak dapat dilepaskan dari kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia dan perkembangan studi linguistik di dunia. Kurikulum di Indonesia dirancang dan disusun atas dasar kurikulum yang berlaku di negara lain serta disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia.
·         Linguitik strukturalisme menjadi acuan pembelajaran bahasa Indonesia pada kurikulum 1975, karena dianggap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia dan sesuai dengan kebutuhan negara Indonesia, serta adanya ketidakpuasan terhadap kurikulum sebelumnya yang mengacu kepada linguistik tradisonal.
·         Psikologi behaviorisme dengan tokoh pelopornya B.F Skinner dan filsafat empirisme menjadi landasan linguistik struktural.
·         Pada awalnya, pendekatan linguistik struktural terhadap PBI pada kurikulum 1975 dianggap sesuai dengan perkembangan keilmuan di dunia dan sesuai dengan kebutuhan Bangsa Indonesia, karena dipandang pembelajar dinyatakan berhasil ketika telah menguasai tujuan dan materi pembelajaran. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya yang menggunakan pendekatan linguisitk tradisional yang dipandang pembelajar dinyatakan berhasil ketika telah menguasai materi pembelajarannya saja. Pada akhirnya pun kurikulum tersebut di kritik karena memiliki kelemahan, pada realitanya pembelajaran masih tetap berfokus pada penguasaan materi, dan Pembelajaran akhirnya lebih banyak teori bahasa dan keterampilan berbahasa tetapi tidak menjadikan pembelajar mahir berbahasa.
·         Sepanjang perjalanan penyusunan kurikulum di Indonesia, semuanya berakhir dengan kritik negatif dan tidak pernah ada penilaian positif hal tersebut disebabkan karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berjalan menyesuaikan kebutuhan zaman.

Daftar Rujukan
Busri, Hasan dan Badrih. 2015. Linguistik Indonesia. Malang : UM press.
Krasehen, Stephen D. 1981. Second Languange Acquisition and Second Languange Learning. Oxford : Pergamon Press.
Pranowo. 2014. Teori Belajar Bahasa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Richard, Jack C. 1978. Understanding Second and Foreign Languange Learning, Issue and Approaches.Massachusets : Newbury House Publisher, Inc.
Saryono, Djoko. 2010. Pemerolehan Bahasa, Teori dan Serpih Kajian. Malang : Nasa Media.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung : Penerbit Angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar