I. Pendahuluan
Perjalanan
pembelajaran bahasa Indonesia (PBI) tidak dapat dilepaskan dari kurikulum yang
pernah berlaku di Indonesia dan perkembangan studi linguistik di dunia. Kurikulum
di Indonesia dirancang dan disusun atas dasar kurikulum yang berlaku di negara
lain serta disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Sementara itu,
berkaitan dengan perkembangan linguistik di dunia, dalam praktiknya selalu
terlambat diikuti oleh PBI di Indonesia. Keterlambatan ini disebabkan oleh
berbagai faktor, seperti pada zaman dahulu pengertian jarak antara Indonesia
dengan negara-negara maju sungguh-sungguh jarak secara geografis yang sangat
jauh sehingga perkembangan pembelajaran bahasa dengan negeri maju yang menjadi
pusat perkembangan linguistik tidak cepat sampai ke Indonesia, kemampuan
berbahasa asing para pakar PBI yang terbatas sehingga tidak mampu mengikuti
perkembangan secara cepat, keterlambatan pemahaman konsep linguistik mutakhir
yang berkembang di negara maju, keterlambatan mengimplementasikan teori
linguistik dalam PBI dan kondisi persekolahan di Indonesia berbeda dengan
negara maju (Pranowo, 2014:50).
Kondisi seperti itu dapat ditelusuri melalui sejarah
perkembangan PBI di Indonesia. Pada awal kemerdekaan, PBI dilaksanakan
berdasarkan berbasis materi. Artinya, pembelajar yang dianggap berhasil dalam
belajar jika pembelajar menguasai materi pembelajaran. Pendekatan seperti itu
tentu bertolak pada kebiasaan pembelajaran bahasa Belanda yang dilakukan di
Indonesia pada zaman penjajah. Tentu pembelajaran bahasa Belanda pada saat itu
sangat dipengaruhi oleh linguistik tradisional yang berkembang pesat di Eropa.
Dengan kata lain, kurikulum sejak zaman kemerdekaan, kemudian berganti dengan
kurikulum 1968 kondisinya masih tetap sama.
Baru pada tahun 1975,
kurikulum berubah. PBI tidak lagi menggunakan pendekatan tradisional yang
berbasis penguasaan materi tetapi berubah ke PBI berbasis pada tujuan. Artinya,
seorang pembelajar dinyatakan berhasil dalam belajar jika mereka mampu mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Beraneka macam tujuan yang disusun dan dirumuskan
secara sentralistis dan ditata secara hierakhis dari yang sangat luas sampai ke
yang sangat sempit (khusus) sehingga terdapat tujuan pendidikan secara nasiona,
tujuan pendidikan secara kurikuler, tujuan pendidikan secara umum (TIU ” tujuan
instruksional umum”), dan tujuan pendidikan secara khusus (TIK ”tujuan
instruksional khusus”). Karena kurikulum pendidikan di Indonesia disusun secara
sentralisitis, menempatkan PBI seperti pembelajaran pada mata pelajaran yang lain,
dilaksakan dengan berorientasi pada tujuan. Keterkaitan PBI dengan pendekatan
linguistik struktural pada kurikulum 1975 akan dibahas pada makalah tersebut,
penulis akan membahas tentang konsep dan landasan dari linguistik
strukturalisme serta pendekatannya dalam pembelajaran bahasa Indonesia (PBI).
II. Pembahasan
2.1 Konsep Linguistik Strukturalisme
Awal kajian ilmiah atau yang lebih dikenal dengan
pendekatan modern terhadap bahasa sejak terbitnya buku Course de
Linguistique (1916) karya sarjana Swiss, Ferdinand de Saususure yang
dianggap sebagai pelopor linguistik modern. Dia merupakan linguis pertama yang
mampu menjawab pertanyaan ontologis yang berhubungan dengan linguistik,
sehingga linguistik tidak perlu mengambil paradigma dari cabang ilmu lain
sebagaimana yang telah dilakukan pada kajian-kajian ilmu linguistik sebelumnya.
Pemikiran de Saussure inilah yang menjadi landasan pijak pengembangan
linguistik selanjutnya, baik tradisional maupun struktural.
Asumsi Saussure yang
terkenal dan merupakan dasar kajiannya adalah bahwa bahasa adalah realitas
sosial. Sebagai realisasi asumsi tersebut, kajian pertama yang telah
dilakukannya adalah kajian terhadap struktur bahasa. Hal ini dilakukan karena
Saussure menganggap bahwa bahasa adalah sebagai satu struktur, sehingga
pendekatannya sering disebut Structural Linguistics. Kedua, Saussure
mengembangkan pikirannya ke dalam enam dikotomi tentang bahasa, yaitu (a)
dikotomi sinkronik dan diakronik, (b) dikotomi bentuk (form) dan substansi, (c)
dikotomi signifian dan signifie, (d) dikotomi langue dan parole, (e) dikotomi
individu dan sosial, dan (f) hubungan
sintagmatik dan hubungan paradigmatik (Busri, 2008:5).
Pendekatan ini juga
diikuti oleh sarjana-sarjana pada dekade berikutnya, seperti Franz Boas (1858-1942)
sarjana Antropologi Amerika kelahiran Jerman; Edward Sapir (1884-1939) sarjana
Antropologi dan Linguistik; dan Leonard Bloomfield (1887-1949) sarjana
linguistik yang akhirnya tergabung dalam aliran linguitik struktural. Para
sarjana tersebut mengembangkan kajian bahasa pada bahasa lain yang belum pernah
diteliti sebelumnya. Bahkan mengembangkannya dengan membentuk aliran-aliran
baru dalam kajian linguistik.
Frans Boas adalah
Antrolopog kelahiran Jerman yang banyak memberikan wawasan tentang penyelidikan
lebih dalam tentang bahasa. Boas adalah seorang linguis yang
otodidak (self – taught linguist) yang murni yang telah memberikan banyak andil
pada penelitian bahasa – bahasa Indian Amerika, yang juga dengan hasil
penelitiannya itu dapat menghilangkan anggapan salah yang mengatakan bahwa
sifat dasar bahasa itu asalnya dari bahasa Eropa. Masalah ini dianggap penting
karena pada masa – masa permulaan karir Boas, hasil – hasil penelitiannya
banyak ditolak oleh para linguis ortodoks. Ciri khas sekolah linguistik yang
didirikannya ialah faham relativismenya terhadap bahasa. Menurut Boas, tidak
ada suatu bahasa yang merupakan ideal yang merupakan ukuran bahasa – bahasa
lainnya. Bahasa manusia itu berubah – ubah terus dan tetap berbeda satu dengan
yang lainnya.
Pikirannya tentang
struktur bahasa menyangkut:
(1) kategori gramtikal: unit dasar bahasa (termasuk makna) adalah kalimat
bukan kata, contoh
kata ”air”, kata itu dapat bermakna air di sumur, atau air minum di gelas,
ataukah air sungai. Singkatnya, sebuah kata akan menimbulkan pengertian yang
bermacam – macam selama kata itu tidak diletakkan dalam konteks kalimat.
(2) pronomina atau kata ganti: klasifikasi kata ganti itu menurut Boaz tidak tetap. Artinya ketiga macam kata ganti orang, pertama, kedua, dan ketiga, didasarkan pada konsep diri sendiri dan non diri sendiri. Kata ganti non diri sendiri dibagi lagi menurut kebutuhan tuturan, yaitu orang yang di ajak bicara dan orang yang dibicarakan.
(2) pronomina atau kata ganti: klasifikasi kata ganti itu menurut Boaz tidak tetap. Artinya ketiga macam kata ganti orang, pertama, kedua, dan ketiga, didasarkan pada konsep diri sendiri dan non diri sendiri. Kata ganti non diri sendiri dibagi lagi menurut kebutuhan tuturan, yaitu orang yang di ajak bicara dan orang yang dibicarakan.
(3) Verba (kata kerja): kategori verba khususnya dalam bahasa Eropa seperti
person (orang), number (Jumlah), tense (kala), mood,
dan voice, bersifat semena-mena dan berkembang tidak merata pada
berbagai usaha. Kalimat
seperti: ”The man is sick”, tidak
eksplisit dan tidak berkecil –
kecil. Tetapi kalau dilihat pada bahasa lain, dapat lebih eksplisit dan
berkecil – kecil karena kalimat itu biasa berarti ”The singgle definite man
is sick at the present time” (seseorang yang tertentu sakit sekarang). Kalau
dalam bahasa eskimo, kalimat diatas hanya akan berbunyi ”Singgle man sick” karena
bentuk gramatikalnya tidak memerlukan ”tense” (kala).
Linguis aliran struktural
selanjutnya adalah Edward Sapir, ia adalah seorang Yahudi
Jerman, mulai berdiam di Amerika Serikat ketika ia berumur 5 tahun (1889). Ia
belajar di Universitas Columbia, dengan Filologi bahasa Jerman
sebagai mata kuliah utamanya. Pengaruh Boas sangat besar terhadap dirinya
sehingga iapun tertarik pada Linguistik dan Antropologi.
Konsepsinya tentang bahasa dapat dipelajari dan
ditelusuri pada batasan bahasa yang dibuatnya. Ia membuat batasan tentang
bahasa sebagai berikut : Languange is a purely human and non-instinctive
method of communicating ideas, emotions, and desires by means of a system of
voluntarily produced symbols (Bahasa adalah suatu metode yang semata-mata
digunakan oleh manusia dan tidak bersifat instingtif yang digunakan untuk
menyampaikan ide, perasaan, dan keinginan dengan menggunakan sistem lambang
secara sukarela) (Busri, 2008:13).
Tokoh linguis yang selanjutnya yang
paling terkenal akan sumbangsinya dalam lingusitik aliran struktural adalah Leonard
Bloomfield, ia
adalah seorang
ahli bahasa Amerika yang paling besar sumbangannya dalam menyebarluaskan prinsip –
prinsip dan metode – metode yang biasa disebut ”Strukturalisme Amerika”. Pengaruhnya melalui tulisan – tulisan yang dihasilkannya
melebihi dari ajaran – ajaran yang dilakukannya. Sesudah bukunya yang pertama ”Introduction
to the study of linguage” terbit pada tahun
1914. Ia banyak menulis karangan – karangan, baik tentang linguistik umum
maupun tentang bahasa – bahasa tertentu. Penelitiannya tentang
bahasa – bahasa Indian Amerika sangat terkenal dan memberikan pengaruh yang
besar. Ide – idenya disalurkan melalui tulisan –tulisannya
dalamsebuah jurnal mengenai masyarakat linguistik Amerika yang bernama
”language”. Melalui majalah itu pulalah ia berusaha menjelaskan pendiriannya
terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan metode.
Pandangannya tentang
penggunaan bahasa dirumuskan dengan “Rangsangan” (stimulus) dan tanggapan
(respons). Menurut Bloomfield kita hanya dapat menentukan arti dari suatu
bentuk tuturan secara cermat, apabila suatu arti itu berhubungan dengan sesuatu
yang dapat memberikan manfaat pengetahuan yang bersifat ilmiah. Misalnya, kita
dapat menetukan nama-nama tumbuhan dan binatang dengan menggunakan teknik
botani dan kehewanan dan sebagainya. Ia juga telah menyatakan bahwa
”tuturan bahasa” itu penting karena mengandung makna; dan makna itu sendiri
terdiri atas hal – hal yang penting dimana tuturan bahasa itu dihubungkan,
yaitu peristiwa praktis. Arti dari suatu bentuk bahasa (linguistic form) adalah situasi dimana si
pembicara menyebutkannya dan tanggapan yang ditimbulkannya pada diri si
pendengar.
2.2
Landasan Linguistik Strukturalisme
Pada makalah tersebut,
penulis akan menjelaskan dua landasan penting dalam linguistik Strukturalisme
yang akan menjadi acuan pada pendekatan linguistik strukturalisme dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia (PBI).
2.2.1
Landasan Psikologis
Pendekatan Psikologis diartikan
sebagai asumsi teoritis yang diyakini oleh psikologi tertentu yang saling
berhubungan yang menyangkut hakikat belajar dan pengajaran pada diri seseorang
(Richards, 1986:14).
Belajar bahasa adalah proses
penggunaan bahasa, baik pada bahasa pertama maupun bahasa kedua. Proses
penguasaan bahasa yang dimaksud meliputi penguasaan secara alamiah (acquisition)
maupun secara formal (learning) (Krashen, 1981:40). Kedua proses
tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa proses alamiah maupun proses secara formal
sedikit banyak akan mempertimbangkan aspek psikologi bagi pembelajarannya.
Oleh karena itu, agar kita memiliki
pemahaman mengenai asumsi teoritis yang diyakini oleh paham psikologi tertentu,
secara ringkas akan dibahas pendekatan psikologi behaviorisme yang menjadi
dasar acuan teori linguistik strukturalisme.
Pandangan kaum behavioris tentang
belajar dapat dilihat melalui eksperimen Ivan Pavlov. Ia mengadakan eksperimen
dengan menggunakan seekor anjing. Anjing dikerangkeng, setelah kelaparan beberapa
hari kemudian diperdengarkan bunyi bel. Sesaat bel berbunyi ditaburkan bubuk
daging ke dalam mulutnya. Respons anjing adalah berupa keluarnya liur dari
mulutnya. Perlakuan ini diulangi berkali-kali dan lama-kelamaan, bel tetap
diperdengarkan tetapi penaburan bubuk daging dihentikann. Meskipun bubuk daging
tidak lagi ditaburkan ternyata setiap mendengarkan bunyi bel, anjing tetap
mengeluarkan air liur dari mulutnya.
Kesimpulan yang diambil oleh Pavlov
berdasarkan percobaan tersebut adalah anjing mampu belajar dari kebiasaan.
Dengan pengulangan bunyi bel sehingga mengeluarkan air liur, bunyi bel
merupakan stimulus yang akhirnya menghasilkan respons bersyarat, dan bunyi bel
semula netral, setelah disertai mediasi berupa bubuk daging lama-kelamaan
berubah menjadi daya yang mampu membangkitkan respons. Berdasarkan hasil
eksperimen tersebut Pavlov menyimpulkan bahwa hasil eksperimennya juga dapat
diterapkan kepada manusia untuk belajar. Implikasi hasil eksperimen tersebut
pada belajar manusia adalah :
a. Belajar
adalah proses membentuk asosiasi antara stimulus dan respons secara reflekrtif.
b. Proses
belajar akan berlangsung apabila diberi stimulus bersyarat.
c. Prisip
belajar pada dasarnya merupakan untaian stimulus respons.
d. Pavlov
menyangkal adanya kemampuan bawaan.
e. Setiap
pembelajaran memerlukan clasical conditioning.
Eksperimen Pavlov tersebut kemudian
dikembangkan oleh pengikutnya yaitu B.F Skinner (1993) dan hasilnya
dipublikasikan dengan judul Behavior of Organism. Eksperimen Skinner tidak lagi
menggunakan anjing tetapi menggunakan seekor tikus yang dimasukkan ke dalam
kandang dan didalamnya diletakkan dua tongkat pengungkit yang dihubungkan
dengan makanan dan bedak gatal. Gerakan-gerakan tidak sengaja yang dilakukan
oleh tikus pada suatu saat si tikus menginjak salah satu pengungkit yang
kemudian menjatuhkan bedak gatal. Pada waktu lain, gerakan si tikus secara
tidak sengaja menginjak tongkat pengungkit yang kemudian menjatuhkan makanan.
Setelah berulang-ulang terjadi, lama-kelamaan si tikus mampu belajar. Tikus
lama kelamaan tidak mau lagi menginjak tongkat pengungkit yang biasa menjatuhkan
bedak gatal. Sebaliknya si tikus berkali-kali menginjakkan kakinya pada tongkat
pengungkit yang biasa menjatuhkan makanan. Dari gerakan tikus, Skinner melihat
dan memaknai bahwa gerakan tikus yang tidak diinginkan (menginjak tongkat yang
dihubungkan dengan bedak gatal), si tikus harus dihukum dengan guyuran bedak
gatal agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Sebaliknya, jika gerakan yang
dilakukan oleh si tikus sesuai yang diharapkan, si tikus pantas mendapat
ganjaran, yaitu kajatuhan makanan dan dapat makan dengan kenyang.
Hasil eksperimen B.F Skinner
kemudian disimpulkan bahwa pengertian belajar merupakan pembentukan asosiasi
antara stimulus dengan respons reflektif (sama dengan Pavlov). Skinner juga
menyangkal adanya kemampuan bawaan dan meyakini bahwa belajar perlu clasical
conditing (tikus dikerangkeng adalah penciptaan situasi belajar) dan operan
conditing.
Eksperimen Skinner juga
menyimpulkan perlunya pengajaran terpogram secara bertahap. Artinya, stimulus
yang diberikan pada pembelajar (jika persyaratan lain terpenuhi, seperti terciptanya
situasi kelas yang kondusif) akan menghasilkan respons tertentu. respons
tertentu akan menjadi stimulus baru dan akan menghasilkan respons baru yang
lain, dan seterusnya. Perhatikan bagan dibawah ini!
Stimulus 1
|
Respons 1
|
Stimulus 2
|
Respons 2
|
Dan Seterusnya
|
Makna
penting yang ditambahkan Skinner berdasarkan eksperimennya adalah bahwa belajar
membutuhkan hukuman dan ganjaran sebagai bentuk reinforcement (penguatan)
baik secara positif maupun negatif. Hal ini sebagai konsekuensi dari hasil
eksperimen untuk memberikan hukuman dan ganjaran yang diberikan pada si tikus.
Penemuan Pavlov maupun
Skinner memiliki kesamaan. Beda dari keduanya adalah bahwa Skinner menambahkan
nosi reinforcement (penguatan) dan pengajaran terprogram (rote
learning). Pavlov dengan hasil eksperimennya sering disebut tokoh
behaviorisme klasik, sedangkan Skinner disebut-sebut sebagai tokoh
neo-behaviorisme (Pranowo, 2014: 30).
Para pakar psikologi
belajar bahasa penganut paham behaviorisme berpendapat bahwa belajar bahasa
berlangsung dalam lima tahapan yaitu :
a.
trial and error
b.
mengingat-ingat,
c.
menirukan,
d.
mengasosiasikan, dan
e.
menganalogi.
Dari kelima langkah
tersebut dapat disimpulkan bahwa berbahasa pada dasarnya merupakan proses
pembentukan kebiasaan. Jika kita amati dari langkah-langkah eksperimen Pavlov
maupun Skinner kemudian dikaitkan dengan proses pembelajaran bahasa, dapat
dikemukakan bahwa :
a) Pembelajaran bahasa dapat diamati berdasarkan tingkah
laku bahasanya.
b) Pembelajaran bahasa berdasarkan langkah-langkah
eksperimennya dilakukan secara ilmiah.
c) Pembelajaran bahasa dilakukan secara terprogram dan
bertahap, dan memberikan arti penting pada nosi penguatan baik berupa ganjaran
maupun hukuman.
Dalam kaitannya dengan tahap pembelajaran bahasa tersebut
diatas, Skinner secara tegas menyatakan bahwa :
a)
Deskripsi tingkah laku belajar bahasa dapat dideskripsikan berdasarkan
stimulus respons.
b)
Setiap ujaran mengikuti satu bentuk stimulus verbal maupun non verbal.
c)
Jika stimulusnya non-verbal, situasi stimulus yang menyebabkan seseorang
merespons dengan menggunakan ujaran.
d)
Tingkah laku bahasa dapat diamati melalui faktor eksternal berupa frekuensi
(tingkat keseringan). Dalam kaitannya dengan frekuensi ini, kaum behavioris
mengemukakan bahwa proses menirukan secara besar-besaran terjadi pada masa usia
anak-anak. Akibat dari proses peniruan tersebut berarti frekuensi pemakaian
kata dan struktur yang terjadi dalam lingkungan bahasa anak akan mempengaruhi
perkembangan bahasa anak.
e)
Nosi reinforcement (penguatan) sangat diperlukan pada saat anak
ingin meningkatkan kemahiran berbahasa pada tingkat yang lebih tinggi.
Kepedulian orang tua berupa persetujuan terhadap ujaran betul yang berhasil
diproduksi anak sangat membantu perkembangan penguasaan bahasa anak.
Landasan psikologi behaviorisme juga menjadi landasan
teori pembelajaran/pemerolehan bahasa model pengondisian operan yang
dikembangkan oleh B.F Skinner pula. Menurut Skinner, psikologi behavioris
memfokuskan perhatian pada peranan faktor-faktor eksternal diri manusia, bukan
faktor-faktor internalnya, dalam mengendalikan perilaku manusia. Ternyata
faktor lingkungan dianggap berperan paling penting dalam mengendalikan manusia,
bukan kejiwaannya. Dengan demikian, manusia diperlakukan sebagai makhluk yang mekanistis
(Saryono, 2010:15).
2.2.2 Landasan Filsafat
Disamping dilandasi oleh psikologi behavioris TPB model
pengondisian operan dapat berkembang karena dilandasi oleh disiplin ilmu lain,
yaitu filsafat empiris dan linguistik struktural Amerika (Tarigan, 1985:185).
Maka dari itu, filsafat empirisme sangat menekankan pengalaman indrawi, dan
semua pengalaman “non-indrawi” tidak menjadi perhatian. Dalam hubungan ini
manusia diperlakukan sebagai bagian dari alam kebendaan (Hobbes), kertas putih
yang licin atau tabula rasa (Aristoteles dan Locke), dan jiwa manusia dianggap
sebagai kompleksitas proses-proses mekanis dalam tubuh. Oleh karena itu,
manusia dipandang sebagai makhluk yang dapat dibentuk sedemikian rupa sesuai
dengan kepentingan dan kebutuhan kita. Tipologi atau karakter yang kita
inginkan dapat kita bentuk atau wujudkan dalam diri manusia (Saryono, 2010:16).
Empirisme adalah
suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal
dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa
fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris
dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis
berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience.Kata-kata
ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) yang
berarti pengalamanSementara menurut A.R. Laceyberdasarkan akar katanya Empirisme
adalah aliran dalam filsafat yangberpandangan bahwa pengetahuan secara
keseluruhan atau parsial didasarkankepada pengalaman yang menggunakan indera.
Para penganut aliran empiris
dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut aliran rasionalisme.
Mereka menentang pendapat-pendapat para penganut rasionalisme yang didasarkan
atas kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Menurut pendapat penganut
empirisme, metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori tetapi
posteriori, yaitu metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya
atau adanya kemudian.
Bagi penganut empirisme sumber
pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman
disini adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang
menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas
untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui
pengalaman.
Berikut ini adalah pandangan-pandangan dari filsafat empirisme :
a. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk
dengan menggabungkan apa yang dialami.
b. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal
atau rasio.
c. Semua yang kita
ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
d. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak
langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan
matematika).
e. Akal budi sendiri tidak dapat
memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman
inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk
mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
f. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan.
Sementara
itu, linguistik struktural atau strukturalisme Amerika beranggapan bahwasannya
bahasa merupakan hasil stimulus-respons antara pembicara dan pendengar. Oleh
sebab itu, linguistik struktural Amerika beranggapan bahwa bahasa ialah sistem
bunyi dan bunyi ini dianggap sebagai perwujudan bentuk bahasa. Bentuk-bentuk
bahasa yang dapat diindra ini menjadi perhatian utama lingusitik struktural
Amerika karena bentuk-bentuk inilah yang dapat diamati secara langsung,
segi-segi yang tidak tampak, khususnya semantik bahasa diabaikannya (Saryono,
2010:16).
2.3 Pendekatan Linguistik Struktural dalam Belajar Bahasa
Sejak linguistik struktural yang dipelopori oleh
Ferdinand de Saussure berkembang dan berdiri sebagai sistem ilmu yang otonom,
pengaruh linguistik tradisional terhadap kajian bahasa mulai pudar, pengaruh
linguistik struktural semakin menguat. Identifikasi bahasa para linguis
struktural dipandang lebih linguistis, objektif, dan rasional.
Deskripsi bahasa dipandang
lebih linguistis karena bertolak pada bahasa itu sendiri. Hal ini berbeda
dengan linguistik tradisional yang mengidentifikasi bahasa berdasarkan ilmu
filsafat sehingga identifikasinya bersifat normatif dan filosofis.
Identifikasi lain mengenai
bahasa berdasarkan linguistik struktural adalah asumsinya mengenai bahasa
primer adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa tulis hanyalah tiruan dari bahasa
lisan yang tidak sempurna. Bahasa selalu terdiri atas unsur segmental dan
supramental. Bahasa tulis hanya mampu menggambarkan unsur segmental, sedangkan
unsur suprasegmental hanya sedikit yang dapat digambarkan oleh linguistik
tradisional, yaitu ejaan. Unsur suprasegmental lain yang ikut menentukan makna
dan pesan bahasa belum dapat digambarkan melalui linguisitk tradisional.
Misalnya tekanan, intonasi, nilai rasa, daya bahasa, konteks dan lain-lain
belum dapat digambarkan secara nyata.
Identifikasi bahasa
berdasarkan berdasarkan linguisitk struktural yang dianggap sebagai hasil
penting dari linguistik struktural adalah teori dikotomi bahasa. Artinya bahwa
bahasa dapat didikotomikan secara berpasang-pasangan, yang diantaranya adalah :
·
Langue-parole
·
Paradigmatik-sintagmatik
·
Sinkronis-diakronis
Langue yang dimaksud oleh
kaum struktural didefinisikan sebagai pengetahuan seseorang mengenai bahasanya.
Pengetahuan dan penguasaan kaidah bahasa termasuk dalam pemahaman langue ini.
Sedangkan parole adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa
berdasarkan kaidah bahasanya.
Urutan paradigmatik merupakan susunan bunyi satu dengan
bunyi yang lain yang membentuk kata dan memiliki perbedaan makna dari unsur
bunyi yang digunakan. Misalnya kata “dari” berbeda artinya dengan kata “dasi” .
Perbedaan makna kedua kata tersebut hanya karena adanya satu bunyi yang berbeda,
yaitu “r” dan “s”. Urutan paradigmatik ini sering pula disebut sebagai pasangan
vertikal suatu kata. Perhatikan contohnlain yang memiliki perbedaan makna pada
kata-kata dibawah ini.
·
Dara-dari-duri
·
Nasi-nari-nadi
·
Santai-pantai-rantai
Urutan sintagmatik merupakan susunan kata dengan kata
lain yang membetuk struktur kalimat dan memiliki perbedaan makna. Misalnya:
·
Koruptor itu ditangkap oleh tim KPK.
·
Tim KPK ditangkap oleh koruptor.
·
Ditangkap oleh tim KPK koruptor itu.
Urutan yang berbeda antara kata dengan kata memberi
tekanan makna yang berbeda dalam struktur kalimat. Namun, juga harus diakui
bahwa linguistik struktural belum mampu menyelesaikan seluruhan persoalan
sintagmatik. Beberapa urutan kata secara sintagmatik masih ada yang belum dapat
dijelaskan oleh linguistik struktural, seperti contoh berikut ini.
·
Menerbangkan pesawat itu berbahaya.
·
Istri polisi yang nakal itu camtik.
·
Ada lima banteng besar dimargasatwa Ujung Kulon.
Perhatikan kalimat “Menerbangkan pesawat berbahaya” dapat
menimbulkan beberapa pertanyaan karena menimbulkan beberapa tafsiran makna,
seperti : (1) apakah membahayakan
pilotnya, (2) apakah membahayakan pesawatnya, (3) apakah membahayakan orang
yang berada dibawah pesawat terbang?
Struktur kalimat “istri polisi yang nakal itu cantik”
dapat menimbulkan pertanyaan karena memiliki interpretasi lebih dari satu
tafsiran makna. Siapakah yang nakal? Apakah yang nakal itu “polisinya” ataukah
“istri polisinya”.
Begitu juga struktur kalimat “ada lima banteng di marga
satwa Ujung Kulon”. Kalimat itu juga memiliki tafsiran makna lebih dari satu
maksus. Apakah penutur ingin “memberi informasi”, “ingin memberi peringatan
agar berhati-hati”, ataukah “ingin memberi dorongan agar pendengar segera pergi
melihat taman margasatwa”. Hal seperti inilah yang belum dapat diselesaikan oleh
teori linguistik struktural.
Studi sinkronis adalah kajian bahasa pada satu kesatuan
waktu yang sama dalam pemakaian bahasa yang berbeda-beda. Misalnya, seorang
peneliti bahasa sedang memilih topik penelitian “pemakaian diksi dalam bahasa
Indonesia pada media masa cetak nasional dan daerah pada bulan Januari s.d
Februari 2013”. Waktu pemakaian bahasa yang diteliti adalah bulan Januari s.d
Desember 2013. Meskipun media massanya berbeda-beda tetapi terbitan media massa
tersebut pada kurun waktu yang sama, disebut studi sinkronis. Perhatikan contoh
lain topik studi bahasa secara sinkronis dibawah ini.
·
Pemakaian gaya bahasa para politisi di televisi swasta pada bulan Januari
2013.
·
Nilai rasa bahasa para tokoh masyarakat dalam dialog interaksi di televisi
swasta pada 2012.
·
Daya bahasa dalam berkomunikasi para guru ketika sedang mengajar pada
semester gasal tahun pelajaran 2012.
Dari berbagai topik yang berbeda, karena waktu
penelitiannya sama, setiap topik tersebut disebut studi sinkronis.
Studi diakronis adalah studi bahasa dalam kurun waktu
yang berbeda. Misalnya, penelitian pemakaian bahasa Indonesia para tokoh
politik pada zaman orde baru dibandingkan dengan pemakaian bahasa Indonesia
pada zaman reformasi. Karena pemakaian bahasa Indonesia pada zaman orde baru
(kurun waktunya dari 1966-1987) dan pemakaian bahasa Indonesia pada zaman
reformasi (kurun waktunya dari 1999-sekarang), kajian bahasa yang berbeda kurun
waktunya tersebut disebut studi diakronis. Perhatikan contoh lain topik studi
bahasa secara diakronis dibawah ini.
·
Perbedaan gaya bahasa novel BP dengan novel populer tahun 1970-an.
·
Pemakaian bahasa Indonesia dalam pidato kenegaraan antara Bung Karno,
Suharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Teori dikotomi bahasa yang dikemukakan oleh kaum struktural, memberi
kontribusi pemikiran secara ilmiah. Meskipun, dalam kenyataannya, tidak semua
unsur bahasa tidak dapat didikotomi seperti itu.
Dari berbagai pemikiran linguistik struktural, oleh pakar PBI di sekolah
memberi warna dan pengaruh nyata dalam kurikulum di sekolah. Jika kita
perhatikan penyusunan kurikulum 1975, kurikulum bahasa Indonesia ditata dengan
urutan berdasarkan pokok bahasan yang diklasifikasikan dengan cara sebagai
berikut.
·
Pokok bahasan fonologi
·
Pokok bahasan morfologi
·
Pokok bahasan sintaksis
·
Pokok bahasan kosakata/leksikon
Begitu juga untuk keterampilan berbahasa diklasifikasikan
menjadi :
·
Menyimak/berbicara
·
Membaca/menulis
Dengan berbagai pokok bahasan seperti diatas, ternyata banyak kelebihan dan
kekurangan dalam penerapan di Indonesia.
Silih bergantinya pendekatan dalam penyusunan kurikulum maupun penggunaan
pendekatan linguistik dalam PBI di Indonesia belum pernah ada yang berakhir
dengan menyenangkan karena keberhasilannya. Semuanya berakhir dengan kritik
negatif dan tidak pernah ada penilaian positif. Padahal, di negeri Barat, teori
kurikulum maupun teori linguistik yang digunakan dalam pembelajaran di sekolah,
kalau toh terus diganti bukan karena kegagalan konsep dan implementasinya
tetapi karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun kritik yang
muncul pada kurikulum 1975 sebagai berikut (Pranowo, 2014:69):
Orientasi
Kurikulum
|
Kelemahan
|
|
Kurikulum 1975
|
·
Beroriantasi pada tujuan.
·
Menggunakan pendekatan linguistik struktural.
|
·
Pembelajaran masih tetap berfokus pada penguasaan materi.
·
Pembelajaran akhirnya lebih banyak teori bahasa dan keterampilan
berbahasa tetapi tidak menjadikan pembelajar mahir berbahasa.
|
III. Kesimpulan
·
Perjalanan pembelajaran bahasa Indonesia (PBI) tidak dapat dilepaskan dari
kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia dan perkembangan studi linguistik di
dunia. Kurikulum di Indonesia dirancang dan disusun atas dasar kurikulum yang
berlaku di negara lain serta disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia.
·
Linguitik strukturalisme menjadi acuan pembelajaran bahasa Indonesia pada
kurikulum 1975, karena dianggap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di dunia dan sesuai dengan kebutuhan negara Indonesia, serta adanya
ketidakpuasan terhadap kurikulum sebelumnya yang mengacu kepada linguistik
tradisonal.
·
Psikologi behaviorisme dengan tokoh pelopornya B.F Skinner dan filsafat
empirisme menjadi landasan linguistik struktural.
·
Pada awalnya, pendekatan linguistik struktural terhadap PBI pada kurikulum
1975 dianggap sesuai dengan perkembangan keilmuan di dunia dan sesuai dengan
kebutuhan Bangsa Indonesia, karena dipandang pembelajar dinyatakan berhasil
ketika telah menguasai tujuan dan materi pembelajaran. Berbeda dengan kurikulum
sebelumnya yang menggunakan pendekatan linguisitk tradisional yang dipandang
pembelajar dinyatakan berhasil ketika telah menguasai materi pembelajarannya
saja. Pada akhirnya pun kurikulum tersebut di kritik karena memiliki kelemahan,
pada realitanya pembelajaran masih tetap berfokus pada penguasaan materi, dan
Pembelajaran akhirnya lebih banyak teori bahasa dan keterampilan berbahasa
tetapi tidak menjadikan pembelajar mahir berbahasa.
·
Sepanjang perjalanan penyusunan kurikulum di Indonesia, semuanya berakhir
dengan kritik negatif dan tidak pernah ada penilaian positif hal tersebut
disebabkan karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus
berjalan menyesuaikan kebutuhan zaman.
Daftar Rujukan
Busri, Hasan dan Badrih. 2015. Linguistik Indonesia. Malang : UM
press.
Krasehen,
Stephen D. 1981. Second Languange Acquisition and Second Languange Learning.
Oxford : Pergamon Press.
Pranowo. 2014. Teori Belajar Bahasa. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Richard,
Jack C. 1978. Understanding Second and Foreign Languange Learning, Issue and
Approaches.Massachusets : Newbury House Publisher, Inc.
Saryono,
Djoko. 2010. Pemerolehan Bahasa, Teori dan Serpih Kajian. Malang : Nasa
Media.
Tarigan,
Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung : Penerbit Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar