Selasa, 17 Mei 2016


Perspektif Sejarah dalam Pendidikan Islam

            Orang-orang Arab sebelum Islam hidup di kawasan yang sekarang dikenal dengan nama semenanjung Arabia atau ada yang menyebutkan daerah Bulan Sabit Subur. Kehidupannya sangatlah sederhana dan bersahaja yang diatur oleh suasana padang pasir dengan kegersangannya dan kabilah atau kelompok-kelompok di dalamnya. Tidak terdapat kesatuan politik yang menyatukannya, tetapi mereka hidup berpuak-puak dalam keadaan perpecahan sosial dan politik. Di kalangan mereka hanya terdapat syair yang di senandungkan di pasar-pasar sastra yang terkenal diantaranya Ukaz, Zil-Majaz dan lain-lain. Mereka menyembah berhala, meminum khamr, bermain judi, dan percaya pada sihir-sihir dan memperdagangkan hamba sahaya. Sungguh suatu gambaran kehidupan yang kejam, yang bertahan hanyalah mereka yang bisa mengalahkan yang lemah dan yang lemah hanya menunggu saat kematiaanya di atas tangan yang kuat karena itulah peperangan terus berjalan untuk mempertahankan kehidupan mereka masing-masing.
            Kota Mekkah mendapat keistimewaan yang khas dengan adanya Baitullah di sana, yaitu rumah yang dibina oleh Nabi Ibrahim A.S di samping ia juga menjadi pusat perdagangan yang terpenting. Perdagangan merupakan jalan-jalan terutama yang menghubungkan orang-orang Arab dengan dunia luar. Kelas kaya disitu terdiri dari kelas pedagang yang menarik perdagangan dari Persia, Syam, dan Yaman. Di waktu itu negara Arab bertetangga dengan dua kerajaan besar yang sudah maju perdabannya. Yang pertama adalah kerajaan Persia di sebelah Timur dan yang kedua adalah kerajaan Romawi atau Byzantium di sebelah Barat. Kerajaan Terakhir ini menguasai Iraq, Syam, Mesir dan Afrika Utara.
            Kedatangan Islam merupakan revolusi sosial yang menyeluruh terhadap perpecahan dan kemunduran, dan dengan segera ia menyatukan orang-orang Arab dibawah satu kekuasaan. Tetapi Islam sendiri bukanlah hanya untuk penduduk semenajung Arabia sahaja, tetapi untuk orang-orang Arab dan bukan Arab sekaligus. Dari situlah mulai perutusan Islam menemukan jalan keluar semenanjung untuk memperkenalkan agama baru itu. Dibawah bendera agama baru itu dapatlah orang-orang Arab mengalahkan dua kerajaan besar dizamannya (pada awal abad ketujuh masehi). Bahkan belum berlalu tiga perempat abad dari wafatnya Rasulullah SAW, bendera Islam sudah berkibar di suatu kawasan luas yang terbentang dari lautan hindia disebelah Timur sampai lautan Atlantik disebelah Barat (Langgulung, 1987: 67).
            Perbedaan antara Arabisme dan Islam tidak dapat kita fahami kecuali melalui penelitian yang cermat terhadap asas sejarah terbentuknya dunia Islam itu. Islam pada prinsipnya tidak membawa ideologi ras dan etnik seperti agam Yahudi, yang pengikutnya mengaku bahwa merekalah rakyat Tuhan yang terpilih (the chosen people of God), tetapi Islam untuk manusia seluruhnya. Itu sebabnya Islam dengan mudah berkembang di luar semenanjung Arabia. Yang membawa bendera perkembangan Islam itu adalah orang-orang Arab sendiri sebab al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, dan diterima oleh seorang Nabi dari bangsa Arab. Begitulah perkembangan agama Islam disertai dengan ekspansi bangsa Arab. Ekspansi itu begitu besar sehingga meliputi berbagai penjuru dunia, tetapi hasilnya tidak satu bentuk saja bagi seluruh dunia Islam.
            Dunia Islam mencapai puncak kegemilangannya ketika menjadi asas kesatuan fikiran dan merupakan lingua franca dunia selama empat abad semenjak abad kedelapan sampai abad kedua belas. Dipelajari oleh banyak orang-orang bukan Arab sebagai bahasa budaya dan ilmiah dan digunakan sebagai bahasa penulisan. Ulama-ulama Islam baik Arab, Persi, dan Turki malah orang-orang Indonesia dan Melayupun menggunakan bahasa Arab dalam karangan-karangannya, walaupun mereka juga menggunakan bahasa Negeri masing-masing.
            Seiring dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan agama Islam tersebut di dalamnya terdapat tujuan visi dan misi pendidikan bagi para pengikutnya. Perkembangan tersebut memiliki dinamika yang berubaha sesuai dengan zaman dan kodrat dari seorang manusia itu sendiri selaku pengikutnya. Sehingga pendidikan dalam agama Islam tersebut menjadi titik acuan kepada para pengikutnya untuk lebih dalam mengenal agamanya sendiri. Maka dari itu dalam artikel tersebut penulis membahas tentang sekilas pandangan sejarah pendidikan dalam dunia Islam, mulai dari kelahirannya, perkembangannya pada masa keemasan, hingga pada masa kehancuran, dan terakhir masa  pembaharuan kembali.
           

            Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh, yang menurut bahasa berarti ketentuan masa. Sedangkan menurut istilah berarti keterangan yang telah terjadi dikalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa yang masih ada. Kata “Tarikh” juga dipakai dalam arti perhitungan tahun, seperti keterangan mengenai tahun sebelum atau sesudah masehi dipakai sebutan sebelum atau sesudah Tarikh Masehi. Kemudian yang dimaksud dengan ilmu tarikh atau ilmu sejarah, ialah suatu pengetahuan yang gunanya untuk mengetahui keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian yang telah lampau maupun yang sedang terjadi di kalangan umat. 
            Dalam bahasa Inggris sejarah disebut History , yang berarti pengalaman masa lampau dari pada umat manusia “the past experience of mankind. Pengertian selanjutnya memberikan makna sejarah sebagai catatan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian masa silam yang di abadikan dalam laporan-laporan tertulis dan dalam ruang lingkup yang luas. Kemudian sebagai cabang ilmu pengetahuan sejarah mengungkap peristiwa-peristiwa masa silam, baik peristiwa sosial, politik, ekonomi, maupun agama dan budaya dari suatu bangsa, negara atau dunia.
            Pokok persoalan sejarah senantiasa akan sarat dengan pengalaman-pengalaman penting yang menyangkut perkembangan keseluruhan keadaan masyarakat. Oleh sebab itu, menurut Sayid Quthub “sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa, melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa itu, dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata, yang menjalin seluruh bagian serta memberinya dinamisme dalam waktu dan tempat (Quthub, Konsepsi Sejarah dalam Islam:18).
            Berangkat dari persoalan pengertian sejarah sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan pengertian tentang “sejarah pendidikan Islam” atau “Tarikhut Tarbiyatul Islamiyyah” sebagai berikut : a. Keterangan mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari waktu ke waktu yang lain sejak zaman lahirnya Islam sampai pada masa sekarang dan b. Cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi ide dan konsepsi maupun segi institusi dan operasionalisasi sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang (Zuhairini, 1985: 2).

            Sejarah biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandangan suatu fakta atau kejadian tentang peradaban bangsa. Maka objek sejarah pendidikan Islam mencakup fakta-fakta yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam baik informal, formal, maupun non formal. Dengan demikian akan diperoleh apa yang disebut sejarah serba objek. Dan hal ini sejalan dengan peranan agama Islam sebagai agama dakwah menyeru kebaikan mencegah kemungkaran, menuju kehidupan yang sejahtera lahir dan batin (material dan spiritual). Namun sebagai cabang ilmu pengetahuan, obyek sejarah pendidikan Islam umunya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan dalam obyek-obyek sejarah pendidikan, seperti mengenai sifat-sifat yang dimilikinya. Dengan perkataan lain bersifat menjadi “sejarah serba subjek”.
            Mengenai metode sejarah pendidikan Islam, walaupun terdapat hal-hal yang sifatnya khusus, akan tetapi berlaku kaidah-kaidah yang ada dalam penulisan sejarah. Kebiasaan daripada penelitian dan penulisan sejarah meliputi suatu perpaduan khusus keterampilan intelektual. Sejarawan harus menguasai alat-alat analisis untuk menilai kebenaran materi-materi sumbernya, dan perpaduan untuk mengumpulkan dan menafsirkan materi-materi itu ke dalam kisah yang penuh makna. Sebagai seorang ahli, maka sejarawan harus mempunyai suatu kerangka berpikir kritis baik dalam mengkaji materi maupun dalam mengungkapkan sumber-sumbernya. Selain itu ia juga membutuhkan keterampilan menangkap dan merasakan secara luas hubungan-hubungan yang serba kompleks. Penguasaan ilmu yang luas akan memudahkan pemahaman dari berbagai konteks, membanding dan merasakan dampak serta mengkaitkan data dengan peristiwa-peristiwanya. Sehubungan dengan ini H. Munawar cholil mengemukakan bahwa, pengetahuan yang diperlukan sebagai alat menyusun sejarah itu cukup banyak, tetapi yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah ilmu bumi (takhtithul ard), ilmu isi bumi (tabaqathul ard), dan ilmu negara (taqwimul-buldan) (Cholil, 1969:16).
            Sampai dengan pertengahan abad 19, sarjana sejarah umumnya mengambil tema-tema luas, menampilkan seluruh sejarah nasional dalam berbagai karya-karya besar. Sejak waktu itu penelitian sejarah diarahkan pada lebih banyak topik-topik khusus, dengan berbagai cara penetapan sesuai dengan kecenderungan penulisnya, atau kepada masalah-masalah nasionalnya atau kepada sumber materi yang belum digali. Topik kajian sejarah, apa saja peristiwanya baik yang berhubungan dengan sang tokoh, maupun institusinya, harus mempunyai relevansi dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Disini nampak bahwa metode deskriptif dan analitis merupakan kunci dalam penyusunan sejarah pada umumnya.
            Akan tetapi, mengingat bahwa objek sejarah pendidikan Islam sangat sarat dengan nilai-nilai agamawi, filosofi, sosiologi, dan psikologi, maka perlu menempatkan objek sasarannya itu secara utuh, menyeluruh dan mendasar. Sesuai dengan sifat dan sikap itu, maka metode yang harus ditempuh pertama-tama deskriptif, kemudian komparatif dan ketiga analisis-sintesis tanpa menyingkirkan nilai agamawi tadi. Dengan cara deskriptif dimaksudkan bahwa ajaran-ajaran Islam, sebagai agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW dalam al-Qur’an dan Hadits, terutama yang berhubungan dengan pengertian pendidikan, harus diuraikan sebagaimana adanya, dengan maksud untuk memahami makna yang terkandung dalam ajaran tersebut.
            Kemudian dengan cara komparatif dimaksudkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi dan berkembang dalam kurun-kurun serta di tempat-tempat tertentu untuk mengetahui adanya persamaan dan perbedaan di dalam suatu permasalahan tertentu, sehingga diketahui pula adanya garis yang tertentu yang menghubungkan pendidikan Islam dengan pendidikan yang dibandingkan. Dalam hal ini khusunya yang berkaitan antara pendidikan Islam dan pendidikan nasional.
            Ketiga, dengan pendekatan analisis-sintesis. Pendekatan analisis artinya secara kritis membahas, meneliti istilah-istilah, pengertian-pengertian yang diberikan oleh Islam, sehingga diketahui adanya kelebihan dan kekhasan pendidikan Islam. Dan sintesis dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan yang di ambil guna memperoleh satu keutuhan dan kelengkapan kerangka pencapaian tujuan serta manfaat penulisan sejarah pendidikan Islam.   

2.3 Kegunaan Sejarah Pendidikan Islam
            Secara umum sejarah mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan kehidupan umat manusia. Sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an) mengandung cukup banyak nilai-nilai kesejarahan, yang langsung atau tidak langsung mengandung makna yang besar, pelajaran yang sangat tinggi dan pimpinan utama, khususnya bagi umat Islam. Maka tarikh dan ilmu tarikh (sejarah) dalam Islam menduduki arti penting dan mempunyai kegunaan dalam kajian tentang Islam. Oleh sebab itu kegunaan sejarah pendidikan Islam meliputi dua aspek, yaitu kegunaan yang bersifat umum dan kegunaan yang bersifat akademis.
            Yang bersifat umum, sejarah pendidikan Islam mempunyai kegunaan sebagai faktor keteladanan. Hal ini sejalan dengan makna yang tersurat dan tersirat dalam firman Allah.
لقد لكم فى رسول الله أسوة حسنة ... (الأحذاب 21)
Demi sesungguhnya, Rasulullah itu adalah contoh teladan yang baik bagi kamu sekalian (Q.S. 33:21)
قل إنكنتم تحبّون الله فاتبعوانى يحببكم الله ...(آل عمران 31)
Katakanlah olehmu (Muhammad) : jika kamu sekalian cinta kepada Allah, maka hendaklah ikut akan daku, niscaya Allah cinta kepada kamu. (Q.S. 3:31)
و اتبعوه لعلكم تهتدون (الأعراف 158)
Dan hendaklah kamu mengikut akan dia (Nabi Muhammad) supaya kamu mendapatkan petunjuk (Q.S. 7: 158)
            Berpedoman pada tiga ayat di atas, maka umat Islam dapat meneladani proses pendidikan Islam semenjak zaman kerasulan Muhammad SAW, zaman Khulafa’ur Rasyidin, zaman ulama-ulama besar dan para pemuka gerakan pendidikan Islam. Karena secara global bahwa proses pendidikan Islam pada hakikatnya merupakan pengejewantahan (manifestasi) daripada pemikiran mereka tentang konsepsi Islam di bidang pendidikan, baik teoritik maupun pelaksanaannya (masa Nabi dan seterusnya). Ini yang membawa kesinambungan (kontinuitas) dan menimbulkan mitos yang mencakup segala-galanya. Dan para ulama Islam sering mendengungkan akan pentingnya kegunaan tarikh dan ilmu tarikh, seperti yang diungkapkan oleh H. Munawar Cholil, bahwa : “sesungguhnya pengetahuan tarikh itu banyak gunanya, baik bagi urusan keduniaan maupun bagi urusan keakhiratan. Barang siapa hafal (mengerti benar) tentang tarikh bertambahlah akal pikirannya. Tarikh itu bagi masa menjadi cermin. Sesungguhnya tarikh itu menjadi cermin perbandingan bagi masa yang baru. Tarikh dan ilmu tarikh itu pokok kemajuan suatu umat, mana kala ada suatu umat tidak memperhatikan tarikh dan ilmu tarikh, maka umat itu tentulah akan ketinggalan dibelakang (dalam kemunduran) dan dimana kala suatu umat sungguh-sungguh memperhatikan tarikh dan ilmu tarikh, maka tentulah umat itu maju ke muka (dalam kemajuan) (Cholil, 1969:26).
            Yang bersifat akademis, kegunaan sejarah pendidikan Islam selain memberikan perbendaharaan perkembangan ilmu pengetahuan (teori dan praktek), juga untuk menumbuhkan perspektif baru dalam rangka mencari relevansi pendidikan Islam terhadap segala bentuk perubahan dan perkembangan kemajuan ilmu teknologi dan informasi. Kegunaan studi sejarah pendidikan Islam diharapkan dapat :
1. Mengetahui dan memahami pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, sejak zaman lahirnya sampai masa sekarang.
2. Mengambil manfaat dari proses pendidikan Islam, guna memecahkan problematika pendidikan Islam masa kini.
3. memiliki sifat positif terhadap perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan sistem pendidikan Islam.
            Selain itu sejarah pendidikan Islam akan mempunyai kegunaan dalam rangka pembangunan dan pengembangan pendidikan Islam. Dalam hal ini, sejarah pendidikan Islam akan memberikan arah kemajuan yang pernah dialaminya dan dinamismenya sehingga pembangunan dan pengembangan itu tetap berada dalam kerangka pandangan yang utuh dan mendasar.
           
2.4 Periodisasi Sejarah Pendidikan Islam
            Sejarah pendidikan Islam pada hakikatnya tidak terlepas dari sejarah Islam. Oleh sebab itu periodisasi sejarah pendidikan Islam dapat dikatakan berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besar Dr. Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan dan modern (Nasution, 1975:11).
            Untuk lebih spesifik lagi, penulis membagi periode perkembangan pendidikan Islam kepada empat periode sesuai dengan ciri perkembangan pendidikan dari tiap-tiap periode sejarah tersebut.
2.4.1 Periode Pembinaan
            Masa pertama kebangkitan Islam ditandai dengan masa kekuasaan Syuraa oleh Khulafa’ur Rasyidin yang empat yang semasa dengan Rasulullah SAW.., mendapat pengaruhnya dan memimpin penaklukan-penaklukan Islam yang pertama yang berusaha meneguhkan kedudukan agama dan negara. Pada negara Umayyah kedudukan khalifah itu diwarisi, sebab khalifah mengangkat orang yang akan menggantikannya. Kekhalifahan berterusan selama kurang lebih sembilan puluh tahun antara 40-132 H. pada permulaan pemerintahannya dipindahkannya ibukota dari Madinah ke Damaskus. Kerajaan Umayyah bercorak Arab tulen walaupun ibu kotanya berpindah dari jantung negeri Arab ke suatu kawasan dimana bertemu perdaban Romawi dan Persi. Sastra dan Syair-syair maju, sedang seni bina Islam terpampang di masjid Damaskus. Juga zaman Umayyah itu merupakan permulaan gerakan terjemahan dari berbagai bahasa ke bahasa Arab, tetapi ini terbatas kepada individu-individu dan mencerminkan keprihatinan perseorangan atau usaha-usaha pribadi, sedang pada zaman kerajaan Abbasyiah ia mencerminkan suatu sekolah yang lengkap dibawah pengawasan dan restu negara. Juga keprihatinan terjemahan pada zaman Umayyah ini tertuju kepada ilmu (science) seperti kedoktoran dan kimia, belum mencakup ilmu-ilmu akliah seperti matematik, logika dan filsafat. Jadi ilmu-ilmu akliah ini adalah produk kerajaan Abbasyiah sendiri (Langgulung, 1987:68-69).
            Adapun uraian ciri-ciri perkembangan pendidikan Islam pada periode ini dapat di uraikan sebagai berikut.
1. Bersifat Arab dan Islam Tulen.   
            Periode pendidikan Islam ini berlanjutan semenjak bangkit atau lahirnya Islam sampai akhir kerajaan Umayyah yang mempunyai ciri-ciri istimewa bahwa ia bercorak Arab dan Islam tulen. Ini  disebabkan karena pengaruh mayoritas orang Arab sedangkan elemen-elemen Islam yang baru belum menyerapi budaya yang sempurna. Juga karena unsur-unsur Arab itulah yang utama sekali memberi arah pemerintahan politik, agama, dan budaya.
Pada periode ini, terutama pada masa Umayyah diaturlah lingkaran-lingkarang (halaqah) pelajaran di masjid-masjid, dan kemudian ini menyebabkan timbulnya mazhab-mazhab, dan kelompok-kelompok Islam dan agama, diantaranya adalah kelompok Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah. Tersiarnya kelompok-kelompok tersebut menambah perhatian ahli-ahli untuk meneliti berbagai masalah agama, seperti masalah qada dan qadar, jabr dan ikhtiar, orang yang mengerjakan dosa besar, dan lain sebagainya. Jadi perhatian ditujukan pada aspek-aspek agama dalam Islam, sedangkan orang Islam mengerjakan sesuatu dengan bahasa dan budayanya sendiri. Seperti kata Sa’id al-Andalusi :
“orang-orang Arab pada permulaan Islam tidak menunjukkan perhatian sedikitpun kepada ilmu kecuali dengan bahasanya dan hukum-hukum syariat, kecuali tentang kedoktoran yang memang dimiliki oleh invidu-individu Arab. Juga ia tidak melarang orang banyak mempelajarinya sebab mereka sangat memerlukannya.”
2. Berusaha Meneguhkan Dasar-dasar Agama Islam.
            Wajar kalau pendidikan Islam pada periode awal kehidupan Islam ini untuk berusaha menyebarkan agama dan ajaran-ajarannya. Itu sebab kita dapati bahwa periode ini mempunyai ciri-ciri penaklukan Islam untuk menyiarkan dan menguatkan prinsip-prinsip agama.
            Para Khalifah juga mengutus ulama-ulama keseluruh negeri-negeri dan bersama dengan tentara untuk menyiarkan dakwa Islamiyah. Mereka juga menasihatkan gubernur-gubernurnya di seluruh negeri bahwa sangatlah penting menyiarkan agama dan ajaran-ajarannya.
            Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengutus ke Afrika Utara sepuluh ahli fiqih (fuqaha) untuk mengajar anak-anak keluarga Barbar akan ajaran-ajaran yang dibawa oleh agam Islam.
3. Prioritas pada Ilmu Naqliyah dan Bahasa.
            Pada periode ini pendidikan Islam memberi prioritas pada ilmu-ilmu naqliyah yang meliputi ilmu-ilmu agama yang terdiri dari membaca al-Qur’an, tafsir, hadits, dan fiqih. Begitu juga ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu di atas yaitu ilmu bahasa : Nahwu, Sharf, bahasa, dan Sastra.kecenderungan naqliah dan bahasa dalam aspek budaya pendidikan Islam ini sejalan dengan yang telah kita sebutkan bahwa pendidikan pada zaman ini bercorak Arab dan Islam tulen yang terutama bertujuan mengukuhkan dasar-dasar agama.
4. Menunjukkan Perhatian pada Bahan Tertulis sebagai Media Komunikasi.
            Datangnya Islam merupakan faktor penting bagi munculnya kepentingan penulisan. Mula-mula sekali dirasa penting penulisan itu ketika Nabi Muhammad SAW hendak menulis wahyu dan ayat-ayat yang diturunkan. Beliau mengangkat orang-orang yang tahu menulis memegang jabatan ini.
            Orang yang mula-mula sekali menulis wahyu Ubay bin Ka’ab al-Ansari, dan zaid bin Tsabit al-Ansari. Juga termasuk penulis-penulis wahyu adalah Abdullah bin sa’ad bin Abi sarh al-qurasyi sebelum menjadi murtad, Ustman bin Affan, Syurahbil bin Hasanah, Muawiyah bin Abi Sofyan, dan hadlah bin al-Rabi.diriwayatkan oleh Ibnu Khaldun pada masa ini para penulis belum sampai kepad taraf profesional disebabkan karena mereka masih lemah dalam teknologi penulisan dan pada masa ini penulis masih menggunakan media kulit-kulit tulang, pelepah kurma, dan batu-batuan sebagai media tulisannya.
            Disegi lain kita dapatikebutuhan menulis perjanjian-perjanjian damai, piagam-piagam, dan lain-lain semenjak Nabi Muhammad SAW merupakan faktor lain yang menekankan pentingnya penulisan, kebutuhan ini belum timbul dulu.
            Ketika khilafah berpindah ke bani Umayyah bertambah banyaklah penulis karena bertambah banyaknya kepentingan negara menjadi lima penulis : penulis surat-surat, penulis harta, penulis tentara, penulis polisi, dan penulis qadi (hakim). Penulis surat-surat adalah paling tinggi pangkatnya. Para khalifah tidak memberi jabatan ini kecuali kepad keluarga dan teman-temannya. Keadaan ini berlanjut sampai ke zaman kerajaan Abbasyiah.
            Dewan adalah buku atau kumpulan kertas-kertas yang ditulisi oleh anggita-anggota tentara dan pemberian. Mereka takrifkan dewan sebagai tempat untuk memelihara yang berkenaan dengan hak-hak pemerintahan yang terdiri dari pekerjaan, harta-harta dan tentara-tentara dan pekerja-pekerja yang mengerjakannya. Sesudah itu diberi nama kepada semua catatan-catatan pemerintah dan tempat dimana duduk orang-orang yang bekerja pada catatan-catatan, ijazah-ijazah dan surat-surat (Kurdi Ali, 1934).
5. Membuka Jalan Pengajaran Bahasa Asing
            Kebutuhan mengajarkan bahasa-bahasa asing semenjak hari-hari pertama Islam walaupun dalam sekop yang sempit adalah akibat dari perhubungan orang-orang Islam dengan negeri-negeri lain dan meluasnya daerah kekuasaan Islam diluar kawasan semenanjung Arabia, munculnya kebutuhan mempelajari bahasa-bahasa asing, Nabi Muhammad SAW telah mengajak sebagian sahabat-sahabatnya agar mempelajari bahasa-bahasa lain dari bahasa Arab karena ada sebab-sebab keperluan untuk itu.
            Kata Ibn Sa’ad dalam “al-Taubat al-Kubro” bahwa Nabi SAW ketika kembali dari hudaibiyah pada bulan Zulhijjah tahun keenam diutusnya utusan kepada raja-raja mengajak mereka masuk Islam, ditulisnya surat-surat untuk itu. Dikatakan kepada beliau (Muhammad SAW) bahwa raja-raja tidak membaca surat-surat yang tidak bercap. Nabipun membuat cincin perak yang ditulisnya kata-kata : Muhammad Rasul Allah. Dicapnya surat-surat itu dengan cincin itu.
            Nabi Muhammad SAW mengajak sahabat-sahabatnya mempelajari bahasa Ibrani, Siryani, untuk menuliskan surat-suratnya. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda kepadanya : “aku menulis kepada kaum tetapi aku tahu mereka menambahkan atau mengurangkan. Maka pelajarilah bahasa Siryani. Aku mempelajari selama tujuh belas hari”.
            Juga diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa Rasulullah SAW memintanya mempelajari tulisan Yahudi (Ibrani) untuk mengurus surat menyurat Nabi kepada mereka. Zaid pun mengerjakannya. Ia menulis kepada mereka dengan bahasa Nabi sebagaimana ia membacakan Nabi yang mereka kirimkan kepada beliau.
            Bagitulah pengajaran bahasa asing menjadi kemestian dalam pendidikan Islam semenjak munculnya Islam untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang dimestikan oleh watak kemanusiaan dan universal yang ada pada agama Islam.
6. Menggunakan Surrau (kuttab) dan masjid.
            Pendidikan Islam menggunakan terutama sekali surrau dan masjid sebagai pusat pendidikan, karena sekolah belum didirikan, begitu juga perpustakaan belum punya kedudukan penting dalam periode ini. Surrau dan masjid memainkan peranan penting dalam pendidikan Islam pada periode ini. Sebab pusat-pusat ini terus memainkan peranan penting ini kemudian maka itu akan kita tangguhkan perbincangan tentang pusat-pusat pendidikan ini.
2.4.2 Periode Keemasan
            Pada periode ini kawasan-kawasan Islam sudah meliputi lautan Atlantik di sebelah Barat dan perbatasan negeri Cina disebelah Timur, dan Asia tengah di sebelah Utara ke Afrika Tengah di sebelah Selatan. Di negeri Eropalah Islam berkembang sampai ke pegunugan Prans dan negeri Galila di sebelah Selatan Negeri Perancis. Bangsa-bangsa di negeri-negeri yang luas ini tunduk di bawah kekuatan Islam, dan memberi sumbangan pada suatu peradaban yang paling cemerlang yang pernah di kenal dunia di antara peradaban-peradaban pemikiran dan kebendaan sekaligus.
             Periode sejarah peradaban Islam yang paling cemerlang adalah periode khilafah Abbasyiah di Baghdad yang mengambil waktu selama lima abad (750-1258 M) dan periode Umayyah di Spanyol (711-1492M) yang terus berkembang hampir delapan abad.
            Kata Gustave Lebon : “ Baghdad dan Cordova sebagai dua pangkalan dimana berada kekuasaan Islam adalah di antara pusat-pusat peradaban yang menyinari dunia dengan cahayanya yang gemerlapan (Mursi, 1982:185).
            Adapun lebih jelasnya ciri-ciri perkembangan pendidikan Islam masa keemasan pada periode tersebut sebagai berikut :
1. Perkembangan Negara Islam di Timur dan Barat
            Periode sejarah ini di Timur berkaitan dengan kerajaan Abbasyiah, seperti telah dikatakan di atas. Pada periode ini bahasa Arab berkembang di seluruh pelosok Asia, dengan cepat bahasa Arab menggantikan bahasa-bahasa lama sehingga bahasa Arab bagi negara-negara Timur seakan-akan seperti bahasa Latin bagi negeri-negeri Barat.
             Pertanian dan industri maju, kekayaan alam yang memenuhi kerajaan di Timur dan Barat, tambang-tambang besi di Khurasan, tambang peluru di Karman, dan marmar di Turus. Juga dibuka sumber minyak dan batu-batu permata (Langgulung, 1987:76).
             Seni dan sastra mencapai puncak kegemilangannya. Muncullah alf Lailah wa Lailah yang mengisi khayal para penyair dan para sastrawan dan berkaitan dengan kehidupan Harun al-Rasyid. Sekolahan-sekolahan, rumah sakit, labotarium kedokteran, teropong bintang telah didirikan dimana-mana. Diantara pemimpin dan ulama-ulama pada periode ini adalah dua ahli fiqih Islam yang agung Abu hanifah dan Malik yang hidup pada awal pemerintahan Abbasyia. Keduanya hidup pada zaman khalifah Abbasyiah kedua al-Mansur (754-775M).
            Khalifah al-Makmun menunjukkan perhatian besar pada pendidikan dan kesusastraan. Hal ini dilihat dari perlakuannya mengumpulkan kitab-kitab yang ada di daerah kekuasaannya seperti Syiria, Afrika, dan Mesir.
            Islam pada masa ini juga telah menduduki daerah spanyol lebih tepatnya di Andalusia, betapa pendidikan dan syair berkembang pesat pada daerah tersebut, sehingga banyak orang Eropa pun yang masuk ke dalam Andalusia untuk mempelajari ilmu pengetahuan disana, bahkan Andalusia telah menjadi salah satu kota tujuan  pendidikan ketika itu.
2. Masuknya Ilmu Akal
            Ilmu akal yang dimaksud penulis disini adalah ilmu yang berkaitan dengan filsafat, matematika, geometrik, aljabar, falak, kedoktoran, kimia, musik, sejarah, dan geografi.
            Masuknya ilmu akal telah mencerminkan periode baru dalam pendidikan Islam yang memungkinkan pemikiran Islam menjalankan perannya untuk memperkaya pemikiran umat manusia.
            Kumpulan ilmu akal ini memasuki kurikulum pendidikan Islam di berbagai pusat pendidikan dan pengajaran, terutama di sekolah-sekolah atau madrasah-madrasa yang masih memegang landasan kurikulum berbasis pendidikan Islam.
3. Timbulnya sekolah-sekolah
            Periode ini menyaksikan munculnya sekolah-sekolah yang belum begitu terkenal ketika itu. Nizam al-Mulklah yang pertama mendirikan sekolah di dalam Islam. Pembinaan sekolah-sekolah ini mencerminkan puncak pendidikan persekolahan Islam.
4. Munculnya Pikiran-pikiran Pendidikan yang Unik
`           Diantara ciri-ciri terpenting yang memberikan keunikan pendidikan dalam Islam sepanjang periode ini adalah terlibatnya ulama-ulama Islam menulis tentang judul atau tema pendidikan dan pengajaran secara meluas dan dalam yang menunjukkan keprihatinan khusus dalam hal tersebut. Pengarang yang pertama kali dalam hal ini adalah Ibn Sahnun. Pada abad ketiga Hijrah, al-Qabisi pada abad keempat Hijrah dan banyak lagi yang lain-lain, yang paling terkenal adalah Ibn Miskawaih dan al-Ghazali pada abad keenam Hijriah. Burhanuddin al-Zarnuji yang wafat tahun 591 Hijriah telah menulis buku : “Ta’lim Muta’allim Tariq at-Ta’allum” (mengajar murid-murid cara-cara belajar) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sangat terkenal dikalangan kaum Muslimin.
              
2.4.3 Periode Keruntuhan dan Kehancuran
            Telah kita tinggalkan negara-negara Islam pada zaman pertengahan yang telah mencapai puncak dan keagungannya yang menjadi obor peradaban dan pengetahuan yang menerangi zaman renaisans di Eropa dan selanjutnya kebangkitan modern. Periode itu menyaksikan kebangkitan pemikiran pendidikan Islam dan kebangkitan dalam mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Tetapi akhirnya runtuh dan menjadi beku tak dapat berkembang lagi. Keruntuhan ini dipercepat oleh jatuhnya kerajaan Abbasyiah oleh serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada abad ketiga belas Masehi ketika kota Baghdad sebagai pusat ilmu dan kebudayaan hancur sama sekali. Diwarisinya peninggalan kaum muslimin dan menggantikan mereka sebagai penguasa.” Alangkah celakanya kemanusiaan dan kehancuran dunia kalau ia diperintah oleh tangan umat yang jahil dan biadab, tidak punya agama, ilmu, budaya, dan peradaban. (Al-Nadwi, 1974: 257).
            Kemudian muncullah orang-orang Turki dipanggung sejarah Islam sebagai kekuatan perang yang memungkikannya menguasai rakyat Islam semenjak tahun 1517 M, ketika menguasai Mesir dan Syiria dan sesudah itu kekuasaannya menjangkau seluruh pelosok dunia Islam. Bangsa-bangsa Islam tidaklah merasa janggal diperintah oleh bangsa Turki dengan nama Islam, bahkan itu semua membangkitkan cita-cita kembali untuk mengembalikan keagungan Islam di tangan orang-orang Turki. Orang Turki mengambil bulan sabit sebagai lambang agama dan perang. Sayang sekali bagi kaum Muslimin seba orang-orang Turki tidak mencapai cita-cita ini. Mereka lebih sibuk membina kekuatan tentara dan memperluas daerah kekuasaan sehingga ini menghabiskan tenaganya, dan pada akhirnya mereka menjadi lemah dan lumpuh. Sampai datanglah masa terburuk bagi mereka yaitu ketika mengalami kebekuan kehidupan pemikiran dan kebudayaan yang apda akhirnya berakibat fatal terhadap dunia pendidikan Islam.
            Umat Islam telah tidur nyenyak selama empat abad kurang lebih, keadaan dunia Islam pada abad kesembilan belas lebih buruk dari pada abad ketiga belas, jadi umat Islam terlambat enam abad. Keadaan pendidikan tentu sudah tercermin oleh keadaan dan situasi tersebut.
            Serangan Perancis yang di pimpin oleh Napoleon pada tahun 1798 merupakan tanda bahaya yang memperingatkan pada dunia Islam dan membuka matanya tentang kesenjangan peradaban yang berbahaya antara Timur dan Barat.
            Pemerintahan Turki Utsmani mempunyai ciri-cir yang negatif dan positif yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan peradaban di negara-negara Arab. Dari segi positif adalah adanya ajakan untuk mengadakan pembaharuan dan perbaikan aqidah yang dilambangkan oleh gerakan salafiyah yang di mulai oleh Muhammad bin Abd. Wahab dan diikuti oleh Jamaluddiann al-Afghani., dari segi negatifnya adalah ajakan ke arab ke Baratan, penaburan keraguan fikiran, dan penonjolan perbedaan-perbedaan rasial dan etnik. Aspek tersebut dijelaskan dalam rincian tersebut :
1. Gerakan Perbaikan Pendidikan Salafiyah
            Negara Arab pada pertengahan kedua abad kedelapan belas menyaksikan suatu gerakan yang berusaha menentang kebekuan,kelemahan, dan keterbelakangan yang menimpa dunia Islamdi bawah pemerintahan Turki Utsmani. Gerakan ini kemudian tersebar juga di luar negara-negara Arab.
            Gerakan pertama seperti ini di abad modern muncul di tengah-tengah padang pasir semenanjung Arabia yang di pimpin oleh Muhammad bin Abd Wahab dari Hijaz pada tahu 1758 M. Ia merupakan tokoh yang memiliki pernyataan yang membenarkan pada keaslian Islam. Dari padang pasir inilah ia mulai dari situ pulalah gerakan pembaharu mulai bergerak. Ia adalah seorang pelopor yang banyak di ikuti oleh gerakan-gerakan Islam pembaharu yang lain seperti gerakan Sanusiah di Libya, gerakan Mahdiyah di Sudan, gerakan Pan-Islamisme yang di pimpin oleh Jamaluddin al-Afghani dan murid-muridnya Muhammad Abduh.
            Metode terpenting dalam gerakan salafiyah untuk mencapai tujuannya adalah pendidikan dan pengajaran dakwah memerangi buta huruf untuk menyiarkan dakwah dan mengharuskan pengikutnya mempelajari membaca dan menulis walaupun bagaimana tuanya dan apa itu pangkatnya.
            Dakwah Wahhabiyah ferormistis ini disokong oleh amir-amir saudi. Kemudian datanglah raja Abdul Aziz al-Saud, disatukannya negara-negara dan didirikannya kerajaan Arab Saudi yang di bina di atas asas-asas Islam dan mengajak kepada keadilan dan perdamaian.
            Gerakan Sanusiyah di Libya memiliki aktivitas pendidikan yang berpusat pada Zawiyah (pesantren-pesantren) yang telah didirikannya di Barqah. Pada masa itu Zawiyah di anggap sebagai institut ilmu, pusat reformasi, mahkamah untuk menyelesaikan perselisihan, dan sekolah untuk menghafal al-Qur’an.
Jamalludin al-Afghani adalah seorang pelopor Pan-Islamisme, ialah jiwanya yang menyala, pidato-pidatonya memberi pengaruh besar terhadap masyarakat luas, sebab beliau menyeru kepada kebebasan dari aniaya dan kediktaktoran. Kata-katanya berpengaruh sampai lubuk hati.
2. Gerakan Pemberatan dan Penyesatan Pikiran.
            Periode ini menyaksikan berbagai seruan dan gerakan untuk membaratkan, meyesatkan, meragukan pemikiran dalam Islam dan memerangi bahasa Arab yang merupakan media pokok untuk memahami sumber-sumber pokok ajaran Islam. Di antara gerakan-gerakan itu adalah gerakan Missionari, gerakan Zionisme, gerakan kembali pada bahasa pasar (ammiyah) menggantikan bahasa baku (fushah) dan menggunakan huruf latin menggantikan huruf Arab, serta munculnya tuntutan ras dan etnik yang merupakan suatu ciri negatif yang lahir di dunia Islam di bawah pimpinan Turki Utsmani.

2.4.4 Periode Pembaharuan Kembali
            Setelah warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam di terima oleh bangsa Eropa dan umat Islam sendiri sudah tidak memperhatikannya lagi maka secara berangsur-angsur telah membangkitkan kekuatan di Eropa dan menimbulkan kelemahan dikalangan umat Islam sendiri. Secara berangsur-angsur tapi pasti, kekuasaan umat Islam di tundukkan oleh kekuasaan bangsa Eropa, dan terjadilah penjajahan dimana-mana di seluruh wilayah yang pernah di kuasai oleh kekuasaan Islam. Eksploitasi kekayaan dunia Islam oleh bangsa-bangsa Eropa, semakin memperlemah kedudukan kaum Muslimin dalam segi kehidupannya.
            Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum muslimin dari bangsa Eropa dalam berbagai bidang kehidupan ini telah timbul mulai abad ke 11 H/17 M dengan kekalahan-kekalahan yang diderita oleh kerajaan Turki  Utsmani dalam peperangan dengan negara-negara Eropa. Kekalahan-kekalahan tersebut mendorong raja-raja dan pemuka-pemuka kerajaan untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan  mereka dan rahasia keunggulan lawan.
            Dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan modern dari Barat, untuk pertama kali dalam dunia Islam dibuka suatu percetakan di Istanbul pada tahun 1727 M, guna mencetak berbagai macam buku ilmu pengetahuan yang diterjemahkan dari buku-buku ilmu pengetahuan Barat.
            Pendudukkan Mesir oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798 M adalah merupakan tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan lagi kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Ekspedisi Napoleon tersebut bukan hanya menunjukkan akan kelemahan umat Islam, tetapi juga sekaligus menunjukkan akan kebodohan umat Islam. Sehingga akhirnya timbul berbagai macam usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan, untuk mengejar ketinggalan dan keterbelakangan mereka, termasuk usaha-usaha di bidang pendidikan, diantaranya sebagai berikut :
1. Pola-pola Pembaharuan dalam pendidikan Islam
            Setelah memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan kemunduran umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya, dan denga memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang telah dialami oleh bangsa-bangsa Eropa, maka garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut adalah (Zuhairini, 1985:117) :
·         Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pendidikan modern di Eropa.
·         Berorientasi dan bertujuan untuk pemurnian kembali ajaran Islam.
·         Berorientasi pada kekayaan dan sumber budaya bangsa masing-masing dan yang bersifat nasionalisme.
2. Dualisme Sistem Pendidikan Islam
            Sebagai akibat dari usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam yang dilaksanakan dalam rangka untuk mengejar kekurangan dan ketinggalan dari dunia Barat dalam segala aspek kehidupan, maka terdapat kecenderungan adanya dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam. Usaha pendidikan modern yang sebagaimana telah diuraikan yang berorientasi pada tiga pola pemikiran (Islam murni, Barat, dan Nasionalisme), membentuk suatu sistem atau pola pendidikan modern, yang mengambil pola sistem pendidikan Barat dengan penyesuaian-penyesuaian Islam dan kepentingan nasional. Di lain pihak sistem pendidikan tradisional yang telah ada di kalangan umat Islam tetap dipertahankan.
            Sistem pendidikan modern pada umumnya dilaksanakan oleh pemerintah, yang pada mulanya adalah dalam rangka memenuhi tenaga-tenaga ahli untuk kepentingan pemerintah, dengan menggunakan kurikulum dan mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan modern.
            Pada umumnya usaha pendidikan untuk memadukan antara kedua sistem tersebut telah diadakan, dengan jalan memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan modern ke dalam sistem pendidikan tradisional, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah-sekolah modern. Dengan demikian diharapkan sistem pendidikan tradisional akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah pada sistem pendidikan modern. Dan inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh para pemikir pembaharuan pendidikan Islam, yang berorientasi pada ajaran Islam murni, sebagaimana yang dipelopori oleh al-Afghani, Muhammad Abduh, dan lain-lain. Sampai sekarang proses pemaduan antara kedua sistem dan pola pendidikan Islam ini, tampak masih berlangsung di seluruh negara dan masyarakat Islam (Zuhairini, 1985: 125).





III. Simpulan
            Sejarah dalam pendidikan Islam dapat di bagi menjadi 4 periode, masing-masing periode memiliki perincian akan kekhasannya :
1. Periode Pembinaan
            Periode ini di mulai semenjak munculnya Islam hingga akhir masa Umayyah, dengan ciri sebagai berikut :
·         Merupakan pendidikan Islam yang tulen
·         Bertujuan meneguhkan dasar-dasar agama yang baru
·         Bargantung teguh pada ilmu naql dan lisan
·         Menggunakan bahan tertulis sebagai alat komunikasi
·         Membuka peluang mempelajari bahasa asing
·         Menggunakan masjid dan perpustakaan sebagai pusat pendidikan
2. Periode Keemasan
            Mulai kerajaan Abbasiyah hinnga runtuhnya kekhalifahan Abbasyiah dan runtuhnya kota baghdad, adapun cirinya sebagai berikut :
·         Masuknya ilmu-ilmu akal
·         Pembinaan sekolah-sekolah
·         Lahirnya pikiran-pikiran pendidikan yang istimewa
3. Periode keruntuhan dan kehancuran
            Periode ini mulai dengan kekuasaan Turki Utsmani sampai terlepasnya negara-negara Arab dari kekuasaan itu. Adapun cirinya :
·         Kebekuan pemikiran Islam
·         Kembali mengutamakan ilmu naqliyah
·         Kebekuan institusi pendidikan
·         Menonjolnya kebudayaan Turki
·         Keistimewaan budaya bagi golongan agam minoritas bukan Islam
·         Masuknya pengaruh pendidikan Barat
4. Periode pembaharuan dan pembinaan kembali
            Periode ini meliputi permulaan terlepasnya negara-negara Arab dari kekuasaan Turki, yang berkelanjutan sampai sekarang. Adapun cirinya :
·         Meminjam sistem pendidikan Barat
·         Keprihatinan terhadap ilmu akal dan mutakhir
·         Menyelinapnya kebudayaan barat

·         Percobaan mengembangkan institusi pendidikan tradisional


Daftar Pustaka

Ali, Moch. Kurdi. 1934. Al-Idarah al-Islamiyah fi Izil Arab. Beirut : Dar el-Qalam.
Cholil, Munawar. 1969. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW. Jakarta : Bulan Bintang.
Langgulung, Hasan. 1987. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka al-Husna.
Nasutin, Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta  : Bulan Bintang.
Quthub, Sayid. Konsepsi Sejarah dalam Islam. Jakarta : Al-Amin.
Zuhairni, dkk. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar