JURNAL TESIS
FAISAL
AKBAR
NPM 21402071069
ABSTRAK: Transformasi karya sastra dari novel ke film merupakan pengembangan karya
sastra yang tidak asing lagi dalam masyarakat sekarang ini. Khususnya dalam
ranah karya sastra Indonesia, telah banyak novel terbaik karya anak bangsa yang
telah diangkat ke dalam layar lebar. Namun, dari sekian banyak proses
transformasi novel ke film tersebut, telah ditemukan adanya perbedaan oleh
penulis novel, pembaca novel, dan penikmat film. Perbedaan tersebut dapat berupa perubahan cerita,
penghilangan cerita, penambahan cerita, dan pemberian variasi. Hal tersebut
ditemukan pada transformasi novel Filosofi
Kopi karya Dewi Lestari ke film Filosofi
Kopi karya Angga Dwimas Sasongko yang menjadi objek material penelitian
pada tesis ini. Perbedaan media yang digunakan oleh kedua karya sastra tersebut
menyebabkan perbedaan yang mendasar antara novel dan film. Jika novel menggunakan
medium karangan tulisan untuk menyampaikan pesannya, sedangkan film menggunakan
medium gambar dan suara (audio visual).
Ada
peristiwa tertentu yang dapat dimunculkan dengan baik pada novel tetapi tidak
dapat dimunculkan pada film dengan baik pula, atau sebaliknya.
Rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah; (1) bagaimanakah kernel dan satelit novel Filosofi Kopi selaku hipogram dari film Filosofi Kopi? (2) bagaimanakah kernel
dan satelit film Filosofi Kopi
sebagai hasil transformasi terhadap novel aslinya? (3) bagaimanakah perbedaan
dalam alur cerita, penokohan, dan setting waktu serta tempat yang
terdapat dalam film Filosofi Kopi berdasarkan
novel yang diadaptasi ? (4) bagaimanakah perubahan fungsi yang terjadi pada
film terhadap novel selaku hipogramnya?
Penelitian
membatasi pembahasan tentang penentuan kernel dan satelit pada novel dan film,
untuk memposisikan keduanya menjadi struktur naratif, yang kemudian
dibandingkan dengan posisi sejajar sehingga diketahui perbedaan keduanya
berdasarkan teori struktur naratif Seymour Benjamin Chatman. Selanjutnya, perbedaan
tersebut menjadi dasar perubahan alur cerita pada film terhadap novelnya. Kemudian
dari perubahan alur cerita terjadi perubahan fungsi yang dianalisis dengan
menggunakan teori intertekstual. Penelitian tersebut menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jumlah kernel dan satelit film lebih banyak dibandingkan
dengan novel karena durasi film yang mendukung pengembangan dari cerita Filosofi Kopi pada novel. Kemudian, film
banyak memberikan variasi setting
waktu dan tempat maupun perubahan berupa penambahan tokoh dan alur sekaligus
mengadakan penghilangan pada alur yang tidak memberikan peran penting dalam
pengembangan penceritaan film. Selanjutnya, dari keseluruhan perbedaan
tersebut, menunjukkan adanya perubahan fungsi yang terjadi dari cerita novel ke
cerita film yang dianalisis dengan menerapkan prinsip intertekstual berupa transformasi,
modifikasi, haplologi, ekspansi, dan ekserp.
Kata-kata
Kunci: ekranisasi,
transformasi, struktur naratif, intertekstual, novel, dan film.
PENDAHULUAN
Seiring
dengan perkembangan sastra, para seniman sering melakukan transformasi dalam menciptakan karya
sastra. Misalnya
transformasi dari puisi ke musik, transformasi dari film ke novel, transformasi
dari novel ke film, dan sebagainya.
Perkembangan proses transformasi dari novel ke film telah banyak dilakukan, antara lain Harry Potter (transformasi dari novel karya
J.K Rowling ke film oleh Steven Kloves), The Old Man And The Sea (transformasi dari novel karya Ernest
Hemmingway ke film oleh Spencer Tracey), dan The Lord Of The Rings
(transformasi dari novel Tolkien ke film
oleh Peter S. Beagle) Bermacam-macam alasan mendasari proses transformasi dari
novel ke film. Alasan-alasan tersebut antara lain karena novel sudah terkenal,
sehingga masyarakat pada umumnya sudah tidak asing lagi dengan cerita novel itu. Pada akhirnya, ketidakasingan
tersebut mendukung aspek komersil. Alasan terakhir adalah karena ide cerita novel dianggap baik dan memberikan wawasan dan pendidikan oleh masyarakat dan penulis skenario film. Munculnya fenomena pengangkatan novel ke
bentuk film merupakan perubahan substansi dari wacana yang memunculkan istilah
ekranisasi. Istilah ini dimunculkan oleh Bluestone (1957:5) yang berarti proses
pemindahan atau perubahan bentuk dari sebuah novel ke bentuk film. Berdasarkan
asal katanya, Eneste (1991:60) mengartikan ekranisasi sebagai pelayar
putihan (Ecran dalam bahasa
Perancis berarti layar).
Ketika film ditayangkan, tidak
jarang penulis maupun pembaca novel merasa kecewa
terhadap film hasil transformasinya. Menurut Eneste (1991:9), pengarang Amerika yakni Ernest Hemmingway adalah pengarang yang sering mengalami kekecewaan
ketika novel-novelnya diangkat ke layar putih. Bahkan, pemenang hadiah
Nobel tersebut bersedia membayar biaya yang dikeluarkan produser film asalkan
salah satu film yang diadaptasi dari novelnya tidak diedarkan. Lebih jauh,
Julian Friedman juga mengatakan bahwa proses pengadaptasian sebuah novel menjadi
bentuk film bukanlah kerja yang mudah. Novel merupakan karya yang rumit
sehingga sering penyuntingan yang jauh lebih banyak. Sebuah skenario film
mengandung 20.000 kata dibandingkan dengan novel yang terdiri dari 100.000 kata (Eneste, 1991:9-10).
Asrul Sani, dalam kumpulan
Essai Surat-Surat Kepercayaan (1997:194) menyatakan bahwa gambar-gambar yang
dihadirkan film disertai suara dan musik, sehingga membatasi seorang penonton untuk berimajinasi. Selain itu,
faktor film yang terikat dengan durasi menyebabkan para pekerja film harus
kreatif untuk dapat memilah dan memilih peristiwa-peristiwa penting untuk
difilmkan. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman berkesan bagi pembaca pada
saat membaca novel tidak selalu ditemukannya pada saat menonton film hasil transformasi
dari novel.
Eneste (1991:63) juga
menjelaskan bahwa pada proses pemindahan novel ke layar putih, perubahan
terjadi pada penceritaan, alur, penokohan, latar atau suasana, tema, dan
amanat. Misalnya, pada novel Dokter Zhivago yang menampilkan seorang
tokoh yang terlibat dalam peperangan, pengkhianatan, revolusi, dan kemanusiaan.
Tokoh Yury hanyalah seorang dokter dalam Revolusi Oktober di Rusia. Ia tidak
mampu menghalangi pengkhianatan yang dilakukan Kamarovsky terhadap Lara. Tetapi
di dalam film yang dikerjakan oleh David Lean, tokoh Yury sangat menonjol.
Semua peristiwa berkisar pada kehidupan Yury sehingga tokoh tersebut telah
berubah menjadi tokoh penting dalam film Dokter Zhivago. Itulah
sebabnya, orang yang pada saat membaca novel Pasternak, kemudian menonton film
Lean merasakan banyak perbedaan di antara keduanya. Perbedaan yang terjadi
antara novel dengan filmnya tersebut tidak dapat dilepaskan dari pembacaan para
pekerja film terhadap novel yang akan diadaptasinya tersebut. Iser menyatakan
sebagai berikut:
“The text is a whole system
of such processes, there must be the place market by the gaps in text. It
consists in the blanks which the reader is to fill in. they cannot be filled in
by the system itself, so they can only be filled in by another system. Whenever
the reader bridges the gaps, communication begins. The blanks, then, stimulate
the process of ideation to be performed by the readers on terms set bythe text
(1987:169).”
Kutipan di atas menjelaskan
bahwa teks merupakan keseluruhan sistem yang di dalamnya terdapat blank.
Blank tersebut tidak dapat diisi oleh yang terdapat dalam teks itu
sendiri namun harus diisi oleh pembaca
dengan interpretasinya. Ketika pembaca mengisi blank tersebut maka
terjadi komunikasi antara teks dengan pembaca itu sendiri. Blank itulah
yang merangsang ide pembaca teks. Oleh karena itu, interpretasi karya sastra
antara pembaca satu dengan pembaca lainnya memiliki perbedaan tergantung pada storage masing-masing pembaca tersebut.
Alasan ini menjadi dasar terjadinya
perbedaan antara film dengan novel yang di adaptasinya selain karena perbedaan
medium di antara keduanya (jika film menggunakan medium gambar dan musik maka
novel menggunakan medium bahasa).
Perbedaan-perbedaan yang
terjadi antara film dan novel yang diadaptasinya, menurut Eneste merupakan
proses kreatif yang dapat dilakukan oleh sutradara dengan cara mengadakan
penambahan, pengurangan, dan pemunculan
variasi-variasi alur cerita. Bermacam-macam penambahan, pengurangan, dan
pemberian variasi-variasi tersebut adalah sebagai akibat medium yang berbeda
antara film hasil transformasi dengan novel yang diadaptasi, sehingga
mengakibatkan pula terjadinya perubahan fungsi khususnya dalam alur cerita.
Asumsi adanya perbedaan tersebut yang menjadi kajian dalam penelitian ini.
Proses di atas muncul pada alur cerita film
“Filosofi Kopi” karya Angga Dwimas
Sasongko yang diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karya Dewi
Lestari yang dibukukan menjadi sejumlah 139 halaman. Setelah novel tersebut
diangkat ke layar lebar, fakta menunjukkan bahwa untuk menguraikan alur cerita
tersebut, durasi film “Filosofi Kopi”
hanya menghabiskan waktu 117 menit.
Peneliti menentukan novel “Filosofi Kopi”
karya Dewi Lestari yang diterbitkan pada Tahun 2015 cetakan ke-13 dan film “Filosofi Kopi” karya Angga Dwimas Sasongko
pada tahun 2015 sebagai objek penelitian ini didasarkan pada terdapatnya perbedaan pada alur, penokohan, latar ruang
dan waktu antara kedua karya sastra tersebut.
Penulis menganalisis novel
yang diadaptasi dan film adaptasinya dengan menempatkan keduanya sebagai sebuah
sistem sastra dan sistem film. Sistem yang dianalisis adalah alur cerita
keduanya, ditinjau dari kernel dan satelitnya, sehingga diperoleh perubahan
fungsi yang terjadi pada film. Perubahan fungsi itulah yang menghasilkan
beragam perbedaan antara kedua karya sastra tersebut dan merupakan proses
pentransformasian atau ekranisasi.
Proses telaah sistem sastra
dan sistem film difokuskan pada kernel (kernel) dan satelit (satellite)
novel dan film yang berdasarkan pada
pemikiran Chatman menempatkan novel dan film
pada posisi imbang dan sejajar, yaitu meletakkan keduanya sebagai suatu
struktur naratif. Hal itulah yang menyebabkan sistem sastra dan sistem film
dapat dianalisis dengan mempergunakan kaidah masing-masing. Selanjutnya, hasil analisis
struktur naratif dapat dibandingkan untuk melihat perubahan fungsi yang terjadi
melalui tinjauan intertekstual film terhadap novel aslinya.
Berdasarkan latar belakang
permasalahan yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah (1) kernel
dan satelit novel
“Filosofi
Kopi” selaku hipogram
dari film “Filosofi Kopi”, (2) kernel dan satelit
film “Filosofi Kopi” sebagai hasil
transformasi terhadap novel aslinya,
(3) perbedaan dalam alur cerita, penokohan, dan setting waktu serta
tempat yang terdapat dalam film “Filosofi
Kopi” berdasarkan novel yang diadaptasi,
dan (4) perubahan fungsi yang terjadi pada
film “Filosofi
Kopi”
terhadap novel selaku hipogramnya.
Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi dasar
sebagai berikut: (1) adanya perbedaaan
kernel
dan satelit
antara novel dan film “Filosofi Kopi”
dikarenakan perbedaan interpretasi karya sastra setiap pembaca, (2) terdapat perubahan pada alur cerita,
penokohan, dan setting waktu serta tempat dalam film “Filosofi Kopi” berdasarkan novel yang diadaptasi, dan (3) terdapat perubahan fungsi yang terjadi
pada film sebagai
transformasi terhadap novel selaku
hipogramnya.
MANFAAT
PENELITIAN
Manfaat teoretis penelitian ini adalah pertama, untuk
mengetahui hasil analisis alur cerita melalui kernel dan satelit berdasarkan
sistem sastra dan sistem film “Filosofi Kopi”. Kedua,
untuk mengetahui bermacam – macam perbedaan film adaptasi terhadap novel
hipogramnya. Ketiga, untuk mendapatkan hasil telaah perubahan fungsi
sebagai hasil interpretasi dari analisis intertekstual film terhadap novel
aslinya. Dari analisis ekranisasi tersebut, penelitian dapat mengembangkan
teori estetika resepsi, teori naratif, dan teori interktekstual, dalam
penerapannya, serta mengenalkan istilah kernel dan satelit pada pembelajan teks
naratif terhadap buku siswa SMP dan SMA. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk memberikan
pengayaan kepada masyarakat mengenai sebuah karya dari seorang sastrawan
termasyhur di Indonesia Dewi Lestari, yaitu novel berjudul “Filosofi Kopi” yang telah mengalami
perubahan bentuk melalui medium lain yaitu audio visual berupa film dengan
judul yang sama. Dengan demikian, melalui pengayaan tersebut diharapkan mampu
menumbuhkan apresiasi dan penghargaan masyarakat terhadap hasil dan bentuk
karya seni, baik berupa karya sastra maupun film dan menambah pendidikan dan
wawasan tentang kekayaan alam, adat, dan budaya di Indonesia.
KAJIAN KEPUSTAKAAN
Teori Estetika Resepsi
Teori
estetika resepsi yang dikemukakan oleh Iser (1987:11),
Throughout the reading process there is a
continual interplay between expectation and transformed memories. However, the
text doesn’t
formulated expectation or specify how the connectibility of memories. This is
the province of the reader himself and so here we have a first insight
into how the synthetizing activity of the reader enables the text to be
translated and transferred to his own mind”. Hal
ini yang mendasari setiap pembaca untuk memiliki interprestasi yang
berbeda-beda dengan pembaca lainnya ketika teks diterjemahkan dan ditransfer
dalam pikiran tiap–tiap pembaca.
Teori Naratif
Novel dan film merupakan bentuk-bentuk dari teks naratif. Chatman menempatkan novel
maupun film dalam posisi yang imbang dan sejajar, yaitu meletakkan keduanya
sebagai suatu struktur naratif sehingga membuat sistem novel dan film dapat
dianalisis. Struktur naratif menurut Chatman (1980:22–26) dibagi menjadi dua;
yang pertama yaitu cerita atau isi, dan yang kedua yaitu wacana
atau ekspresi. Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam petikan ini “If narrative
structure is semiotic – that is. Communicates meaning in its own right it
should contain (1) a form and substance of expression , and (2) a form and
substance of content”.
“According to Barthes, major event - which I call
kernel –advances the plot by raising and satisfying question. Kernels cannot be
deleted without destroying the narrative logic. A minor plot event – a satellite-
is not crucial. Its function is that of filling in, elaborating, completing the
kernel; they form the flesh on the skeleton” (1980:53-54).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa beberapa peristiwa
cerita lebih penting daripada lainnya. Barthes via Chatman mengemukakan bahwa
peristiwa mayor atau yang disebut kernel yaitu saat naratif memunculkan inti
atau pokok arahan peristiwa. Oleh karena itu, kernel tidak dapat dihapus karena
akan merusak logika cerita. Peristiwa minor atau satelit yaitu peristiwa dalam
alur yang dapat dihilangkan tanpa merusak kelogisan cerita meskipun dengan
menghilangkannya dapat mengurangi keestetikan naratifnya. Fungsi satelit adalah
mengisi, menjelaskan dan melengkapi kernel. Satelit dapat berkembang
seluas-luasnya tanpa batas. Satelit
tidak selalu terjadi di dekat kernel sebab wacana tidak setara dengan cerita.
Dalam hal ini satelit dapat mendahului atau mengikuti kernel. Namun satelit
dapat juga berada jauh dari kernel. Jadi, satelit berfungsi sebagai “ daging
yang membungkus tulang ( kernel)”.
Teori Intertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah
teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk
hubungan tertentu. Misalnya, ia dilakukan untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur
instrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan
lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan
bahwa kajian intertekstual berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah
ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan
kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh
terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada
kaitannya dengan unsur kesejahteraannya sehingga pemberian makna itu akan lebih
lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejahteraan itu (Teeuw, 1983:62-65) dalam
Nugiyantoro (2013:76).
Pada penelitian ini digunakan beberapa prinsip intertekstual untuk
mengetahui perubahan fungsi yang terjadi pada proses ekranisasi,
prinsip-prinsip tersebut adalah:
a. Transformasi
Transformasi adalah penjelmaan, pemindahan atau pertukaran suatu
teks ke teks lain. Penerapan unsur ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
formal dan abstrak. Secara formal, transformasi adalah pemindahan, penjelmaan
atau pertukaran teks secara keseluruhan atau hampir keseluruhan.
b. Haplologi
Haplologi merupakan unsur intertekstual berupa pengguguran,
pembuangan atau penghilangan sehingga tidak seluruh teks dihadirkan.
c. Ekserp
Ekserp adalah unsur intertekstual yang dalam penerapannya
mengambil intisari dari sebagian episode, petikan atau suatu aspek secara sama
atau hampir sama dengan teks yang telah ada sebelumnya.
d. Modifikasi
Modifikasi adalah penyesuaian atau perubahan suatu teks terhadap
teks yang telah ada sebelumnya. Biasanya, prinsip ini dipergunakan dengan tujuan untuk
melakukan penyesuaian, perbaikan ataupun perlengkapan dalam teks yang muncul
kemudian berdasarkan pada teks yang telah ada sebelumnya. Pada umumnya,
penyesuaian atau perubahan berlaku pada pemikiran, alur, atau gaya yang lain
dibangun dalam karya tersebut.
e. Ekspansi
Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan terhadap suatu teks (Napiah
via Rokhani, 1994: xxiv-xxv).
Pengertian
Film
Menurut
Palapah dan Syamsudin (1986: 114) mendefinisikan film sebagai “salah satu media
yang berkarakteristik masal, yang merupakan kombinasi antara gambar-gambar
bergerak dan perkataan”.
Pengertian Novel
Burhan Nurgiyantoro (2005:22) bahwa sebuah novel merupakan sebuah
totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah
totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang salingberkaitan
secara erat dan saling menggantungkan.
Analisis
Film dan Sastra
Boggs via Asrul Sani juga menyatakan bahwa film dan novel memiliki
persamaan yakni berfungsi sebagai media bercerita. Jadi, film dan novel dapat
dianalisis secara bersama–sama.
Analisa film yang perseptif dibangun atas unsur–unsur yang dipakai
dalam analisa sastra. Prinsip sastra
yang tidak dapat terlepas dalam film adalah plot atau jalan cerita dan tokoh.
Kedua hal tersebut tidak terpisahkan. Film umumnya memiliki sebuah plot atau
alur cerita yang berkesinambungan dimana satu kejadian membawa kita ke kejadian
lain secara wajar dan logis. Biasanya antara kejadian–kejadian tersebut
terdapat suatu hubungan sebab akibat yang kuat. Dengan demikian, setiap
kejadian tumbuh dengan alamiah dari plot itu sendiri. Plot yang bersatu tidak memunculkan satu peristiwa yang kebetulan atau aneh
sebagai sesuatu yang jatuh dari langit. Misalnya, sebuah film yang memvisualisasikan
iringan kereta kuda yang diserang oleh gerombolan orang Indian yang jumlahnya
ribuan. Kehancuran boleh dikatakan sudah merupakan suatu kepastian. Tapi tiba-tiba entah
dari mana, muncul satu batalyon pasukan berkuda Amerika (yang kebetulan tengah
melakukan manuver dan lewat di tempat itu, seratus mil dari benteng mereka). Walaupun
kebetulan-kebetulan seperti itu bisa saja terjadi dalam kehidupan sebenarnya,
namun dalam fiksi, hal tersebut tidak bisa diterima. Peristiwa tersebut hanya
dapat diterima akal jika sebelumnya sudah dikemukakan alasan yang cukup dalam
plot (misalnya, sebelumnya ada penunggang kuda yang dikirim menjemput mereka).
Biarpun kesatuan plot merupakan persyaratan, film bisa memusatkan diri pada
penggambaran satu tokoh tunggal yang unik, kesatuan hubungan sebab akibat
antara kejadian-kejadian tidaklah begitu penting (1992:23-25).
METODE
PENELITIAN
Menurut Mardalis (2004:24) metode adalah suatu cara
atau teknis yang dilakukan dalam penelitian, sedangkan penelitian diartikan sebagai
upaya dalam bidang ilmu pengetahuan untuk memperoleh fakta-fakta dan
prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan
kebenaran. Dalam penelitian ini, Jenis metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian deskriptif kualitatif.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada
kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana
peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan
secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi
(Sugiyono, 2011:9). Pada penelitian tersebut yang menjadi instrument kunci adalah peneliti
sendiri.
Objek formal dalam penelitian ini adalah transformasi atau
pemindahan bentuk dari novel ke film “Filosofi Kopi”, khususnya dalam alur cerita, tokoh dan penokohan, serta setting
tempat dan setting waktu. Objek material yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini
adalah novel dan film “Filosofi Kopi”. Novel “Filosofi Kopi” yang menjadi objek material dalam penelitian ini adalah novel “Filosofi Kopi” cetakan ke-13 yang
ditulis di Indonesia pada Maret 2015 sebanyak 139 halaman, namun peneliti memfokuskan penelitian
pada cerita yang berjudul “Filosofi Kopi”
sebanyak 30 halaman karena cerita lain dalam novel tersebut tidak berkaitan
dengan film “Filosopi Kopi”, diterbitkan oleh PT. Bentang Pustaka, dan dicetak di Sleman, Yogyakarta-Indonesia. Sementara
itu, film “Filosofi Kopi” yang menjadi objek material dalam penelitian ini adalah film “Filosofi Kopi” yang diproduksi oleh Anggia Kharisma, Handoko Hendroyono, dan
Glenn Fredly di Visinema Pictures, Indonesia pada tahun 2013. Film tersebut disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko. Pemeran utama film tersebut adalah Rio Dewanto sebagai Jody (tokoh I) dan Chicco Jerico sebagai Ben (tokoh
II). Durasi film “Filosofi Kopi
adalah 117 menit.
HASIL PENELITIAN
Hasil
penelitian menemukan bahwa pada novel Filosofi Kopi memiliki kernel sejumlah 28
buah dengan satelit sejumlah 86 buah, sedangkan pada film Filosofi Kopi memiliki kernel sejumlah 47 buah dengan
satelit sejumlah 181 buah, dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah
kernel dan satelit film lebih banyak dibandingkan dengan novel karena durasi
film yang mendukung pengembangan dari cerita Filosofi Kopi pada novel. Berikut
contoh penulisan kernel dan satelit novel dan film Filosofi Kopi pada penelitian ini:
Kernel
dan Satelit Novel Filosofi Kopi
Kernel
novel Filosofi Kopi ditunjukkan oleh penomoran
Latin. Sementara itu, satelitnya ditunjukkan dengan penggunaan huruf Abjad
(a–z). Masing-masing kernel memiliki jumlah satelit yang beragam, berikut
contoh kernel nomor 9 yang memiliki satelit (a-d) pada novel:
9)
Narator mendatangi Ben
di Kedai Filosofi Kopi tengah malam.
a. Ben
menyodorkan segelas kopi kepada narator.
b. Narator
merasakan kesempurnaan rasa dari kopi yang telah dibuat Ben.
c. Narator
menjabat tangan Ben keras-keras sampai badannya terguncang-guncang dan saling
tertawa setelah menyeruput kopi hasil buah kerja keras Ben untuk memenangkan
tantangan.
d. Narator
dan Ben memberikan nama kopi tersebut “Ben’s Perfecto”.
Kernel
dan Satelit Film Filosofi Kopi
Kernel
Film Filosofi Kopi ditunjukkan oleh penomoran Latin. Sementara itu, satelitnya
ditunjukkan dengan penggunaan huruf Abjad (a–z). Masing-masing kernel memiliki
jumlah satelit yang beragam. Berikut contoh kernel nomor 12 yang memiliki satelit
(a-h):
12) Perbincangan
narator dan Ben ketika
makan siang.
a. Narator
menyodorkan kopi Aceh Gayo yang telah dibelinya dari Bang Norma untuk Filosofi Kopi kepada Ben.
b. Ben
menanyakan kepada Narator akan dijual berapa kopi tersebut di Kedai.
c. Narator
mengeluarkan ide agar semua pelanggan bisa bebas menentukan harga kopinya.
d. Narator
mengajak Ben untuk segera kembali ke Kedai Filosofi Kopi.
e. Narator
memberitahukan Ben ketika kedai buka pada jam makan siang income/pendapatan
Kedai akan meningkat karena banyak orang membutuhkan kopi pada jam makan siang.
f. Narator
mengingatkan Ben jika tetap tutup pada jam makan siang akan mengurangi pegawai
yang ada di Kedai Filosofi Kopi.
g. Ben
tidak menghiraukan apa yang dikatakan Narator.
h. Narator
terus mengingatkan kepada Ben untuk meminimalisir pengeluaran dan memaksimalkan
pendapatan Kedai sepanjang perjalanan kembali ke Kedai Filosofi Kopi dari
warung makan.
Perbedaan
dalam alur cerita, penokohan, dan setting waktu serta tempat yang
terdapat dalam film “Filosofi Kopi” berdasarkan novel yang diadaptasi terjadi
disebabkan oleh perbedaan medium yang digunakan antara novel dan film dalam
penyampaian cerita dan pesan masing-masing, serta pemahaman teks karya sastra
yang berbeda oleh setiap individu. Sehingga pesan yang disampaikan novel dan
film bisa diterima oleh berbagai kalangan masyarakat dengan tidak meninggalkan
pesan yang dimaksud oleh karya sastra itu sendiri. Hasil penelitian telah
menemukan berbagai perbedaan tersebut, berikut adalah beberapa contohnya:
No
|
Aspek
|
Film
|
Novel
|
1
|
Alur cerita
|
Nama Kedai Filosofi
Kopi sudah terlahir pada awal alur cerita film.
|
Narator hanya
menceritakan pengalaman Ben dan sejarah perintisan kedai kopi oleh mereka
berdua pada awal alur cerita novel, yang mana kedai kopi tersebut akan
berubah nama menjadi Kedai Filosofi Kopi pada alur cerita berikutnya.
|
2
|
Penokohan
|
Tokoh Elania seorang Q-grader yang mengenalkan Pak Seno dan
kopi tiwus kepada narator dan Ben.
|
Pria setengah baya seorang penggila kopi sebagai
pemberi kabar keberadaan kopi tiwus di Jawa Tengah kepada narator dan Ben.
|
3
|
Setting
waktu
|
Peristiwa masa lalu
Ben dengan orang tua dan kampung halamannya.
|
Novel hanya
menceritakan Ben semasa dewasanya bersama narator dan tidak sama sekali
menyinggung masa lalu Ben.
|
4
|
Setting
tempat
|
Lapangan golf menjadi
latar tempat Peristiwa persetujuan antara Bos penantang dengan narator dan
Ben ditampilkan film.
|
Peristiwa persetujuan
akan tantangan yang diberikan sebatas pertemuan di Kedai Filosofi Kopi.
|
Berdasarkan
hasil penelitian telah ditemukan berbagai perubahan fungsi yang terjadi pada
film terhadap novel selaku hipogramnya, berikut ini adalah beberapa contohnya:
Modifikasi
Film menampilkan Elania seorang penulis
kopi dan Q-grader yang credible/terpercaya tengah
melakukan wawancara tentang Ben’s Perfecto untuk penelitian dalam tulisannya
tentang kopi. Elania merupakan modifikasi tokoh wanita yang sebelumnya pada
novel merupakan seorang pria paruh baya.
Perubahan fungsi tersebut sebagai: pertama, memodifikasi tokoh pemuda
paruh baya dalam novel yang berkunjung ke Kedai Filosofi Kopi dan memberi kabar
tentang kopi tiwus. kedua, penguat data tentang penilaian kopi yang
dibuat dari buah kerja keras Ben.
Ekspansi
Film menceritakan peristiwa problematika
yang dihadapi narator tentang hutang sepeninggalan almarhum Ayahnya, yang mana
peristiwa tersebut berfungsi sebagai salah satu pemicu konflik antara Narator
dan Ben pada alur cerita berikutnya. Film melakukan ekspansi atau penambahan
alur cerita dalam peristiwa tersebut, karena novel tidak menceritakan masalah
kepemilikan hutang narator yang diturunkan dari almarhum ayahnya.
Haplologi
Peristiwa tersasarnya Narator dan Ben
dalam perjalanan ke warung Pak Seno yang diceritakan novel tidak diceritakan
pada film, akan tetapi film menekankan dengan memberikan visualisasi suasana
pedesaan disekitar warung Pak Seno. Film melakukan haplologi atau penghilangan
cerita tersebut disebabkan: pertama, fungsi alur cerita novel tidak memberikan
peran penting dalam alur cerita film, kedua,
perjalanan narator dan Ben ke warung Pak Seno mengalami modifikasi dengan
penambahan tokoh Elania sebagai pengantar perjalanan pada alur cerita film.
Ekserp
Film mengambil intisari dari peristiwa
keramaian yang ada di Kedai Filosofi Kopi setelah terciptanya Ben’s Perfecto
yang dibuat dari tangan Ben. Fungsi dari pengambilan intisari tersebut adalah
sebagai penyesuaian durasi film dengan tidak menghilangkan pesan cerita novel,
sehingga antara novel dan film memiliki pesan cerita yang sama.
PEMBAHASAN
Pengangkatan novel ke sebuah film atau
yang biasa disebut dengan istilah ekranisasi telah banyak dilakukan oleh para
seniman di Indonesia. Berkembangnya teknologi perfilman di dunia membuat
novel-novel terbaik karya anak bangsa diangkat ke dalam sebuah film. Akan
tetapi, proses ekranisasi tersebut tentu menuai kritik dari berbagai pihak
termasuk pembaca novel, penulis novel, dan penikmat film itu sendiri. Hal ini
disebabkan oleh kemampuan manusia dalam menginterpretasi karya sastra yang berbeda-beda,
setiap orang akan memiliki pemahaman tentang estetika resepsi pada ruang
akalnya masing-masing, seperti yang dikemukakan oleh Iser, bahwa setiap teks
memiliki blank atau kekosongan di
dalamnya, kemampuan menginterpretasi
setiap individulah yang akan mengisi kekosongan tersebut, atas dasar inilah
proses kritik terjadi dalam pemahaman sebuah teks karya sastra.
Penelitian ini menempatkan novel Filosofi Kopi menjadi hipogram atau teks
tertentu yang menjadi latar penciptaan sebuah karya, dan menempatkan film Filosofi Kopi sebagai transformasi atau
teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogramnya. Hal ini sesuai dengan
yang telah dipaparkan tentang teori intertekstual yang menganggap bahwa
keberadaan teks transformasi didasarkan atas penyerapan dari teks hipogramnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
analisis proses pengangkatan novel ke dalam film atau ekranisasi dapat
dilakukan dengan menjadikan kedua karya tersebut sebuah teks naratif. Sehingga
dapat dibandingkan dengan memposisikan keduanya sejajar. Hal ini sesuai dengan
teori dikemukakan oleh Chatman tentang
teori naratif.
Pada dasarnya Chatman melakukan
pengembangan teori naratif yang dikemukakan oleh Rolland Barthes tentang
peristiwa mayor dan peristiwa minor dalam sebuah teks naratif. Kemudian Chatman
mengembangkan teori tersebut menjadi kernel yaitu peristiwa inti yang tidak
dapat dihilangkan dalam sebuah struktur teks naratif karena akan merusak
kelogisan cerita, dan satelit yaitu peristiwa
yang membungkus kernel, dapat dihilangkan tetapi akan mengurangi nilai
estetik dalam sebuah cerita.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa durasi film Filosofi Kopi yang
mendukung pengembangan cerita terhadap novel aslinya membuat film ini melakukan
banyak ekspansi yang terjadi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kernel dan
satelit yang dimiliki novel lebih sedikit dibandingkan dengan kernel dan
satelit yang dimiliki film.
Perbedaan alur cerita, penokohan, dan setting tempat serta waktu pada film Filosofi Kopi terhadap novel aslinya
dapat dilihat dengan memposisikan susunan kernel dan satelitnya secara sejajar.
Sebagaimana yang dipaparkan pada hasil penelitian dengan menghadirkan tabel
untuk meletakkan keduanya dengan seimbang, maka ditemukan berbagai perbedaan yang
ada.
Teori intertektual yang digunakan pada
penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai perubahan fungsi yang terjadi
pada film Filosofi Kopi terhadap
novel aslinya, penelitian ini menerapkan prinsip-prinsip interkstual yang
dikemukakan oleh Julia Kristeva berupa modifikasi, haplologi, ekspansi, dan
ekserp. Hasil Penelitian menujukkan kesesuaian, dan belum menemukan adanya
perbedaan tentang prinsip-prinsip intertekstual yang telah dipaparkan.
Perbedaan dan perubahan fungsi yang
terjadi pada setiap proses ekranisasi disebabkan oleh perbedaan media yang
digunakan dalam penyampaian pesan kedua karya sastra tersebut, serta proses
kreatif yang dilakukan oleh seorang sutradara.
Dengan adanya penelitian ini, kita dapat mengetahui perbedaan dan
perubahan fungsi yang terjadi dalam proses ekranisasi dengan menerapkan
beberapa teori yang telah dipaparkan, sehingga makna yang disampaikan dalam
proses kritik sastra berjalan sistematis dan dapat diterima oleh para pengkaji
sastra.
KESIMPULAN
Proses ekranisasi atau pengangkatan
novel ke dalam film telah banyak terjadi pada era modern ini. Hal disebabkan
oleh perkembangan teknologi yang berbanding lurus dengan perkembangan dunia
kesusasteraan. Penelitian tentang hal tersebut dapat dilakukan melalui analisis
kernel dan satelit, yang kemudian dibandingkan dengan posisi sejajar untuk
mengetahui perbedaan alur cerita, penokohan, dan setting tempat, serta waktu antara kedua karya sastra tersebut berdasarkan
teori struktur naratif, untuk mengetahui perubahan fungsi yang terjadi dalam
proses ekranisasi tersebut, analisis dapat dilakukan dengan menggunakan
implementasi dari prinsip-prinsip teori intertekstual yang berupa modifikasi, haplologi, ekspansi,
dan ekserp. Sehingga perubahan fungsi yang terjadi dapat ditentukan dengan
sistematis sesuai dengan struktur naratif pada novel dan film.
Saran
kepada peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis, hendaknya dapat
mengambil cakupan permasalahan yang lebih luas lagi, agar kajian penelitian
dapat lebih mendalam, agar lebih bermakna dalam pengembangan dunia pendidikan
dan sastra. Kepada guru Bahasa Indonesia, novel dan film Filosofi Kopi merupakan karya yang baik untuk
dijadikan bahan pengajaran Bahasa Indonesia karena kedua karya sastra ini
memberikan pelajaran tentang nilai-nilai persahabatan, kehidupan, dan kekayaan
alam Indonesia. Penelitian menggunakan teori naratif tersebut juga dapat
dikembangkan dalam pembelajaran teks naratif siswa SMP dan SMA.
DAFTAR
RUJUKAN
Bluestone,
George. 1957. Novels Into Film. Berkeley and Los Angeles: University California
Press.
Boggs,
Joseph M. 1992. Cara Menilai Sebuah Film (diterjemahkan oleh Asrul
Sani). Jakarta: Yayasan Citra.
Chatman,
Seymour. 1980. Story and Discourse: Narrative Structure in Fiction and Film.
Ithaca.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Penerbit Nusa Indah.
Iser,
Wolfgang. 1987. The Act of Reading. London: The John Hopkins University
Press.
Kristeva,
Julia. 1987. Desire In Language: A Semiotics Approach to literature And Art.
England: Basil Blackwell Ltd.
Lestari,
Dewi. 2015. Filosofi Kopi. Yogyakarta:
Bentang Pustaka.
Mardalis. 2004. Metode Penelitian (Suatu
Pendekatan Proposal). Jakarta : Bumi Aksara.
Maurier, Daphne
Du. 1938. Rebecca. New York: Pocket Book Inc.
Napiah, Abdul Rahman. 1994. Tuan Jebat Dalam Drama
Melayu: Satu Kajian Intertekstualiti. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Nurgiyantoro, Burhan.
2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
UGM Press. (Edisi revisi)
Palapah dan Syamsudin.
1986. Studi Ilmu Komunikasi. Bandung:
Universitas Padjajaran.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu
Sastera. Bandung: Dunia Pustaka Jaya.
Yunus, Umar.
1985. Resepsi Sastra : Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.