Kamis, 16 Februari 2017

ANALISIS EKRANISASI PADA TRANSFORMASI NOVEL FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI KE BENTUK FILM FILOSOFI KOPI KARYA ANGGA DWIMAS SASONGKO

JURNAL TESIS

FAISAL AKBAR
NPM 21402071069

ABSTRAK: Transformasi karya sastra dari novel ke film merupakan pengembangan karya sastra yang tidak asing lagi dalam masyarakat sekarang ini. Khususnya dalam ranah karya sastra Indonesia, telah banyak novel terbaik karya anak bangsa yang telah diangkat ke dalam layar lebar. Namun, dari sekian banyak proses transformasi novel ke film tersebut, telah ditemukan adanya perbedaan oleh penulis novel, pembaca novel, dan penikmat film. Perbedaan  tersebut dapat berupa perubahan cerita, penghilangan cerita, penambahan cerita, dan pemberian variasi. Hal tersebut ditemukan pada transformasi novel Filosofi Kopi karya Dewi Lestari ke film Filosofi Kopi karya Angga Dwimas Sasongko yang menjadi objek material penelitian pada tesis ini. Perbedaan media yang digunakan oleh kedua karya sastra tersebut menyebabkan perbedaan yang mendasar antara novel dan film. Jika novel menggunakan medium karangan tulisan untuk menyampaikan pesannya, sedangkan film menggunakan medium gambar dan suara (audio visual). Ada peristiwa tertentu yang dapat dimunculkan dengan baik pada novel tetapi tidak dapat dimunculkan pada film dengan baik pula, atau sebaliknya.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; (1) bagaimanakah kernel dan satelit novel Filosofi Kopi selaku hipogram dari film Filosofi Kopi? (2) bagaimanakah kernel dan satelit film Filosofi Kopi sebagai hasil transformasi terhadap novel aslinya? (3) bagaimanakah perbedaan dalam alur cerita, penokohan, dan setting waktu serta tempat yang terdapat dalam film Filosofi Kopi berdasarkan novel yang diadaptasi ? (4) bagaimanakah perubahan fungsi yang terjadi pada film terhadap novel selaku hipogramnya?
            Penelitian membatasi pembahasan tentang penentuan kernel dan satelit pada novel dan film, untuk memposisikan keduanya menjadi struktur naratif, yang kemudian dibandingkan dengan posisi sejajar sehingga diketahui perbedaan keduanya berdasarkan teori struktur naratif Seymour Benjamin Chatman. Selanjutnya, perbedaan tersebut menjadi dasar perubahan alur cerita pada film terhadap novelnya. Kemudian dari perubahan alur cerita terjadi perubahan fungsi yang dianalisis dengan menggunakan teori intertekstual. Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kernel dan satelit film lebih banyak dibandingkan dengan novel karena durasi film yang mendukung pengembangan dari cerita Filosofi Kopi pada novel. Kemudian, film banyak memberikan variasi setting waktu dan tempat maupun perubahan berupa penambahan tokoh dan alur sekaligus mengadakan penghilangan pada alur yang tidak memberikan peran penting dalam pengembangan penceritaan film. Selanjutnya, dari keseluruhan perbedaan tersebut, menunjukkan adanya perubahan fungsi yang terjadi dari cerita novel ke cerita film yang dianalisis dengan menerapkan prinsip intertekstual berupa transformasi, modifikasi, haplologi, ekspansi, dan ekserp.

Kata-kata Kunci: ekranisasi, transformasi, struktur naratif, intertekstual, novel, dan film.




PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan sastra, para seniman sering melakukan transformasi dalam menciptakan karya sastra. Misalnya transformasi dari puisi ke musik, transformasi dari film ke novel, transformasi dari novel ke film,  dan sebagainya.
Perkembangan proses transformasi dari novel ke film telah banyak dilakukan, antara lain Harry Potter (transformasi dari novel karya J.K Rowling ke film oleh Steven Kloves), The Old Man And The Sea  (transformasi dari novel karya Ernest Hemmingway ke film oleh Spencer Tracey), dan The Lord Of The Rings (transformasi dari novel Tolkien ke film oleh Peter S. Beagle) Bermacam-macam alasan mendasari proses transformasi dari novel ke film. Alasan-alasan tersebut antara lain karena novel sudah terkenal, sehingga  masyarakat pada umumnya sudah tidak asing lagi dengan cerita novel itu. Pada akhirnya, ketidakasingan tersebut mendukung aspek komersil. Alasan terakhir adalah  karena ide cerita novel dianggap baik dan memberikan wawasan dan pendidikan oleh masyarakat dan penulis skenario film. Munculnya fenomena pengangkatan novel ke bentuk film merupakan perubahan substansi dari wacana yang memunculkan istilah ekranisasi. Istilah ini dimunculkan oleh Bluestone (1957:5) yang berarti proses pemindahan atau perubahan bentuk dari sebuah novel ke bentuk film. Berdasarkan asal katanya, Eneste (1991:60) mengartikan ekranisasi sebagai pelayar putihan  (Ecran dalam bahasa Perancis berarti layar).
Ketika film ditayangkan, tidak jarang  penulis maupun pembaca novel merasa kecewa terhadap film hasil transformasinya.  Menurut Eneste (1991:9), pengarang Amerika yakni Ernest  Hemmingway adalah pengarang yang sering mengalami kekecewaan ketika novel-novelnya diangkat ke layar putih. Bahkan, pemenang hadiah Nobel tersebut bersedia membayar biaya yang dikeluarkan produser film asalkan salah satu film yang diadaptasi dari novelnya tidak diedarkan. Lebih jauh, Julian Friedman juga mengatakan bahwa proses pengadaptasian sebuah novel menjadi bentuk film bukanlah kerja yang mudah. Novel merupakan karya yang rumit sehingga sering penyuntingan yang jauh lebih banyak. Sebuah skenario film mengandung 20.000 kata dibandingkan dengan novel yang terdiri dari  100.000 kata (Eneste, 1991:9-10).
Asrul Sani, dalam kumpulan Essai Surat-Surat Kepercayaan (1997:194)  menyatakan bahwa gambar-gambar yang dihadirkan  film  disertai suara dan  musik, sehingga membatasi seorang  penonton untuk berimajinasi. Selain itu, faktor film yang terikat dengan durasi menyebabkan para pekerja film harus kreatif untuk dapat memilah dan memilih peristiwa-peristiwa penting untuk difilmkan. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman berkesan bagi pembaca pada saat membaca novel tidak selalu ditemukannya pada saat menonton film hasil transformasi dari novel.
Eneste (1991:63) juga menjelaskan bahwa pada proses pemindahan novel ke layar putih, perubahan terjadi pada penceritaan, alur, penokohan, latar atau suasana, tema, dan amanat. Misalnya, pada novel Dokter Zhivago yang menampilkan seorang tokoh yang terlibat dalam peperangan, pengkhianatan, revolusi, dan kemanusiaan. Tokoh Yury hanyalah seorang dokter dalam Revolusi Oktober di Rusia. Ia tidak mampu menghalangi pengkhianatan yang dilakukan Kamarovsky terhadap Lara. Tetapi di dalam film yang dikerjakan oleh David Lean, tokoh Yury sangat menonjol. Semua peristiwa berkisar pada kehidupan Yury sehingga tokoh tersebut telah berubah menjadi tokoh penting dalam film Dokter Zhivago. Itulah sebabnya, orang yang pada saat membaca novel Pasternak, kemudian menonton film Lean merasakan banyak perbedaan di antara keduanya. Perbedaan yang terjadi antara novel dengan filmnya tersebut tidak dapat dilepaskan dari pembacaan para pekerja film terhadap novel yang akan diadaptasinya tersebut. Iser menyatakan sebagai berikut:
“The text is a whole system of such processes, there must be the place market by the gaps in text. It consists in the blanks which the reader is to fill in. they cannot be filled in by the system itself, so they can only be filled in by another system. Whenever the reader bridges the gaps, communication begins. The blanks, then, stimulate the process of ideation to be performed by the readers on terms set bythe text (1987:169).”
Kutipan di atas menjelaskan bahwa teks merupakan keseluruhan sistem yang di dalamnya terdapat blank. Blank tersebut tidak dapat diisi oleh yang terdapat dalam teks itu sendiri namun harus diisi oleh  pembaca dengan interpretasinya. Ketika pembaca mengisi blank tersebut maka terjadi komunikasi antara teks dengan pembaca itu sendiri. Blank itulah yang merangsang ide pembaca teks. Oleh karena itu, interpretasi karya sastra antara pembaca satu dengan pembaca lainnya memiliki perbedaan  tergantung pada storage masing-masing pembaca tersebut. Alasan ini  menjadi dasar terjadinya perbedaan antara film dengan novel yang di adaptasinya selain karena perbedaan medium di antara keduanya (jika film menggunakan medium gambar dan musik maka novel menggunakan medium bahasa). 
Perbedaan-perbedaan yang terjadi antara film dan novel yang diadaptasinya, menurut Eneste merupakan proses kreatif yang dapat dilakukan oleh sutradara dengan cara mengadakan penambahan, pengurangan, dan  pemunculan variasi-variasi alur cerita. Bermacam-macam penambahan, pengurangan, dan pemberian variasi-variasi tersebut adalah sebagai akibat medium yang berbeda antara film hasil transformasi dengan novel yang diadaptasi, sehingga mengakibatkan pula terjadinya perubahan fungsi khususnya dalam alur cerita. Asumsi adanya perbedaan tersebut yang menjadi kajian dalam penelitian ini.
Proses di atas muncul pada alur cerita film “Filosofi Kopi” karya Angga Dwimas Sasongko yang diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karya Dewi Lestari yang dibukukan menjadi sejumlah 139 halaman. Setelah novel tersebut diangkat ke layar lebar, fakta menunjukkan bahwa untuk menguraikan alur cerita tersebut, durasi film “Filosofi Kopi” hanya menghabiskan waktu 117 menit.
Peneliti menentukan novel “Filosofi Kopi” karya Dewi Lestari yang diterbitkan pada Tahun 2015 cetakan ke-13 dan film “Filosofi Kopi” karya Angga Dwimas Sasongko pada tahun 2015 sebagai objek penelitian ini didasarkan pada terdapatnya perbedaan pada alur, penokohan, latar ruang dan waktu antara kedua karya sastra tersebut.
Penulis menganalisis novel yang diadaptasi dan film adaptasinya dengan menempatkan keduanya sebagai sebuah sistem sastra dan sistem film. Sistem yang dianalisis adalah alur cerita keduanya, ditinjau dari kernel dan satelitnya, sehingga diperoleh perubahan fungsi yang terjadi pada film. Perubahan fungsi itulah yang menghasilkan beragam perbedaan antara kedua karya sastra tersebut dan merupakan proses pentransformasian atau ekranisasi.  
Proses telaah sistem sastra dan sistem film difokuskan pada kernel (kernel)  dan satelit (satellite) novel dan film  yang berdasarkan pada pemikiran Chatman menempatkan novel dan film pada posisi imbang dan sejajar, yaitu meletakkan keduanya sebagai suatu struktur naratif. Hal itulah yang menyebabkan sistem sastra dan sistem film dapat dianalisis dengan mempergunakan kaidah masing-masing. Selanjutnya, hasil analisis struktur naratif dapat dibandingkan untuk melihat perubahan fungsi yang terjadi melalui tinjauan intertekstual film terhadap novel aslinya.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas,  rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) kernel dan satelit novel “Filosofi Kopi” selaku hipogram dari film “Filosofi Kopi, (2) kernel dan satelit film “Filosofi Kopi” sebagai hasil transformasi terhadap novel aslinya, (3) perbedaan dalam alur cerita, penokohan, dan setting waktu serta tempat yang terdapat dalam film “Filosofi Kopi” berdasarkan novel yang diadaptasi, dan (4) perubahan fungsi yang terjadi pada filmFilosofi Kopi”  terhadap novel selaku hipogramnya.
Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi dasar sebagai berikut: (1) adanya perbedaaan kernel dan satelit antara novel dan film “Filosofi Kopi” dikarenakan perbedaan interpretasi karya sastra setiap pembaca, (2) terdapat perubahan pada alur cerita, penokohan, dan setting waktu serta tempat dalam film “Filosofi Kopi” berdasarkan novel yang diadaptasi, dan  (3)  terdapat perubahan fungsi yang terjadi pada film sebagai transformasi terhadap novel selaku hipogramnya.
MANFAAT PENELITIAN
Manfaat teoretis penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui hasil analisis alur cerita melalui kernel dan satelit berdasarkan sistem sastra dan sistem film “Filosofi Kopi. Kedua, untuk mengetahui bermacam – macam perbedaan film adaptasi terhadap novel hipogramnya. Ketiga, untuk mendapatkan hasil telaah perubahan fungsi sebagai hasil interpretasi dari analisis intertekstual film terhadap novel aslinya. Dari analisis ekranisasi tersebut, penelitian dapat mengembangkan teori estetika resepsi, teori naratif, dan teori interktekstual, dalam penerapannya, serta mengenalkan istilah kernel dan satelit pada pembelajan teks naratif terhadap buku siswa SMP dan SMA. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengayaan kepada masyarakat mengenai sebuah karya dari seorang sastrawan termasyhur di Indonesia Dewi Lestari, yaitu novel berjudul “Filosofi Kopi” yang telah mengalami perubahan bentuk melalui medium lain yaitu audio visual berupa film dengan judul yang sama. Dengan demikian, melalui pengayaan tersebut diharapkan mampu menumbuhkan apresiasi dan penghargaan masyarakat terhadap hasil dan bentuk karya seni, baik berupa karya sastra maupun film dan menambah pendidikan dan wawasan tentang kekayaan alam, adat, dan budaya di Indonesia.

KAJIAN KEPUSTAKAAN
Teori Estetika Resepsi
Teori estetika resepsi yang dikemukakan oleh Iser (1987:11), Throughout the reading process there is a continual interplay between expectation and transformed memories. However, the text doesn’t formulated expectation or specify  how the connectibility of memories. This is the province of the reader himself and so here we have a first insight into how the synthetizing activity of the reader enables the text to be translated and transferred to his own mind”. Hal ini yang mendasari setiap pembaca untuk memiliki interprestasi yang berbeda-beda dengan pembaca lainnya ketika teks diterjemahkan dan ditransfer dalam pikiran tiap–tiap pembaca.
Teori Naratif
Novel dan film merupakan bentuk-bentuk dari teks naratif. Chatman  menempatkan novel maupun film dalam posisi yang imbang dan sejajar, yaitu meletakkan keduanya sebagai suatu struktur naratif sehingga membuat sistem novel dan film dapat dianalisis. Struktur naratif menurut Chatman (1980:22–26) dibagi menjadi dua; yang pertama yaitu cerita atau isi, dan yang kedua yaitu wacana atau ekspresi. Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam petikan ini “If narrative structure is semiotic – that is. Communicates meaning in its own right it should contain (1) a form and substance of expression , and (2) a form and substance of content”.
“According to Barthes, major event - which I call kernel –advances the plot by raising and satisfying question. Kernels cannot be deleted without destroying the narrative logic. A minor plot event – a satellite- is not crucial. Its function is that of filling in, elaborating, completing the kernel; they form the flesh on the skeleton” (1980:53-54).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa beberapa peristiwa cerita lebih penting daripada lainnya. Barthes via Chatman mengemukakan bahwa peristiwa mayor atau yang disebut kernel yaitu saat naratif memunculkan inti atau pokok arahan peristiwa. Oleh karena itu, kernel tidak dapat dihapus karena akan merusak logika cerita. Peristiwa minor atau satelit yaitu peristiwa dalam alur yang dapat dihilangkan tanpa merusak kelogisan cerita meskipun dengan menghilangkannya dapat mengurangi keestetikan naratifnya. Fungsi satelit adalah mengisi, menjelaskan dan melengkapi kernel. Satelit dapat berkembang seluas-luasnya tanpa batas.  Satelit tidak selalu terjadi di dekat kernel sebab wacana tidak setara dengan cerita. Dalam hal ini satelit dapat mendahului atau mengikuti kernel. Namun satelit dapat juga berada jauh dari kernel. Jadi, satelit berfungsi sebagai “ daging yang membungkus tulang ( kernel)”.
Teori Intertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Misalnya, ia dilakukan untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur instrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejahteraannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejahteraan itu (Teeuw, 1983:62-65) dalam Nugiyantoro (2013:76).
Pada penelitian ini digunakan beberapa prinsip intertekstual untuk mengetahui perubahan fungsi yang terjadi pada proses ekranisasi, prinsip-prinsip tersebut adalah:
a. Transformasi
Transformasi adalah penjelmaan, pemindahan atau pertukaran suatu teks ke teks lain. Penerapan unsur ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu formal dan abstrak. Secara formal, transformasi adalah pemindahan, penjelmaan atau pertukaran teks secara keseluruhan atau hampir keseluruhan. 
b. Haplologi
Haplologi merupakan unsur intertekstual berupa pengguguran, pembuangan atau penghilangan sehingga tidak seluruh teks dihadirkan.
c. Ekserp
Ekserp adalah unsur intertekstual yang dalam penerapannya mengambil intisari dari sebagian episode, petikan atau suatu aspek secara sama atau hampir sama dengan teks yang telah ada sebelumnya.
d. Modifikasi
Modifikasi adalah penyesuaian atau perubahan suatu teks terhadap teks yang telah ada sebelumnya. Biasanya, prinsip ini dipergunakan dengan tujuan untuk melakukan penyesuaian, perbaikan ataupun perlengkapan dalam teks yang muncul kemudian berdasarkan pada teks yang telah ada sebelumnya. Pada umumnya, penyesuaian atau perubahan berlaku pada pemikiran, alur, atau gaya yang lain dibangun dalam karya tersebut.
e. Ekspansi 
            Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan terhadap suatu teks (Napiah via Rokhani, 1994: xxiv-xxv).
Pengertian Film
Menurut Palapah dan Syamsudin (1986: 114) mendefinisikan film sebagai “salah satu media yang berkarakteristik masal, yang merupakan kombinasi antara gambar-gambar bergerak dan perkataan”.
Pengertian Novel
Burhan Nurgiyantoro (2005:22) bahwa sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang salingberkaitan secara erat dan saling menggantungkan.
Analisis Film dan Sastra
Boggs via Asrul Sani juga menyatakan bahwa film dan novel memiliki persamaan yakni berfungsi sebagai media bercerita. Jadi, film dan novel dapat dianalisis secara bersama–sama. Analisa film yang perseptif dibangun atas unsur–unsur yang dipakai dalam analisa sastra.  Prinsip sastra yang tidak dapat terlepas dalam film adalah plot atau jalan cerita dan tokoh. Kedua hal tersebut tidak terpisahkan. Film umumnya memiliki sebuah plot atau alur cerita yang berkesinambungan dimana satu kejadian membawa kita ke kejadian lain secara wajar dan logis. Biasanya antara kejadian–kejadian tersebut terdapat suatu hubungan sebab akibat yang kuat. Dengan demikian, setiap kejadian tumbuh dengan alamiah dari plot itu sendiri. Plot yang  bersatu tidak memunculkan satu peristiwa yang kebetulan atau aneh sebagai sesuatu yang jatuh dari langit. Misalnya, sebuah film yang memvisualisasikan iringan kereta kuda yang diserang oleh gerombolan orang Indian yang jumlahnya ribuan. Kehancuran boleh dikatakan sudah merupakan suatu kepastian. Tapi tiba-tiba entah dari mana, muncul satu batalyon pasukan berkuda Amerika (yang kebetulan tengah melakukan manuver dan lewat di tempat itu, seratus mil dari benteng mereka). Walaupun kebetulan-kebetulan seperti itu bisa saja terjadi dalam kehidupan sebenarnya, namun dalam fiksi, hal tersebut tidak bisa diterima. Peristiwa tersebut hanya dapat diterima akal jika sebelumnya sudah dikemukakan alasan yang cukup dalam plot (misalnya, sebelumnya ada penunggang kuda yang dikirim menjemput mereka). Biarpun kesatuan plot merupakan persyaratan, film bisa memusatkan diri pada penggambaran satu tokoh tunggal yang unik, kesatuan hubungan sebab akibat antara kejadian-kejadian tidaklah begitu penting (1992:23-25). 

METODE PENELITIAN
Menurut Mardalis (2004:24) metode adalah suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam penelitian, sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran. Dalam penelitian ini, Jenis metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2011:9). Pada penelitian tersebut yang menjadi instrument kunci adalah peneliti sendiri.
Objek formal dalam penelitian ini adalah transformasi atau pemindahan bentuk dari novel ke film “Filosofi Kopi, khususnya dalam alur cerita, tokoh dan penokohan, serta setting tempat dan setting waktu. Objek material yang  diteliti dan dikaji dalam penelitian ini adalah novel dan film “Filosofi Kopi”. Novel Filosofi Kopi” yang menjadi objek material dalam penelitian ini adalah novel “Filosofi Kopi” cetakan ke-13 yang ditulis di Indonesia pada Maret 2015 sebanyak 139 halaman, namun peneliti memfokuskan penelitian pada cerita yang berjudul “Filosofi Kopi” sebanyak 30 halaman karena cerita lain dalam novel tersebut tidak berkaitan dengan film “Filosopi Kopi”, diterbitkan oleh PT. Bentang Pustaka, dan dicetak di Sleman, Yogyakarta-Indonesia. Sementara itu, film “Filosofi Kopi” yang menjadi objek material dalam penelitian ini adalah film “Filosofi Kopi” yang diproduksi oleh Anggia Kharisma, Handoko Hendroyono, dan Glenn Fredly di Visinema Pictures, Indonesia pada tahun 2013. Film tersebut disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko. Pemeran utama film tersebut adalah Rio Dewanto sebagai Jody (tokoh I) dan Chicco Jerico sebagai Ben (tokoh II). Durasi film “Filosofi Kopi adalah 117 menit.

HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian menemukan bahwa pada novel Filosofi Kopi memiliki kernel sejumlah 28 buah dengan satelit sejumlah 86 buah, sedangkan pada film Filosofi Kopi  memiliki kernel sejumlah 47 buah dengan satelit sejumlah 181 buah, dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah kernel dan satelit film lebih banyak dibandingkan dengan novel karena durasi film yang mendukung pengembangan dari cerita Filosofi Kopi pada novel. Berikut contoh penulisan kernel dan satelit novel dan film Filosofi Kopi pada penelitian ini:
Kernel dan Satelit Novel Filosofi Kopi
Kernel novel Filosofi Kopi ditunjukkan oleh penomoran Latin. Sementara itu, satelitnya ditunjukkan dengan penggunaan huruf Abjad (a–z). Masing-masing kernel memiliki jumlah satelit yang beragam, berikut contoh kernel nomor 9 yang memiliki satelit (a-d) pada novel:
9)      Narator mendatangi Ben di Kedai Filosofi Kopi tengah malam.
a.       Ben menyodorkan segelas kopi kepada narator.
b.      Narator merasakan kesempurnaan rasa dari kopi yang telah dibuat Ben.
c.       Narator menjabat tangan Ben keras-keras sampai badannya terguncang-guncang dan saling tertawa setelah menyeruput kopi hasil buah kerja keras Ben untuk memenangkan tantangan.
d.      Narator dan Ben memberikan nama kopi tersebut “Ben’s Perfecto”.
Kernel dan Satelit Film Filosofi Kopi
Kernel Film Filosofi Kopi ditunjukkan oleh penomoran Latin. Sementara itu, satelitnya ditunjukkan dengan penggunaan huruf Abjad (a–z). Masing-masing kernel memiliki jumlah satelit yang beragam. Berikut contoh kernel nomor 12 yang memiliki satelit (a-h):
12)  Perbincangan narator dan Ben ketika makan siang.
a.       Narator menyodorkan kopi Aceh Gayo yang telah dibelinya dari Bang Norma untuk Filosofi Kopi kepada Ben.
b.      Ben menanyakan kepada Narator akan dijual berapa kopi tersebut di Kedai.
c.       Narator mengeluarkan ide agar semua pelanggan bisa bebas menentukan harga kopinya.
d.      Narator mengajak Ben untuk segera kembali ke Kedai Filosofi Kopi.
e.       Narator memberitahukan Ben ketika kedai buka pada jam makan siang income/pendapatan Kedai akan meningkat karena banyak orang membutuhkan kopi pada jam makan siang.
f.       Narator mengingatkan Ben jika tetap tutup pada jam makan siang akan mengurangi pegawai yang ada di Kedai Filosofi Kopi.
g.      Ben tidak menghiraukan apa yang dikatakan Narator.
h.      Narator terus mengingatkan kepada Ben untuk meminimalisir pengeluaran dan memaksimalkan pendapatan Kedai sepanjang perjalanan kembali ke Kedai Filosofi Kopi dari warung makan.
Perbedaan dalam alur cerita, penokohan, dan setting waktu serta tempat yang terdapat dalam film “Filosofi Kopi” berdasarkan novel yang diadaptasi terjadi disebabkan oleh perbedaan medium yang digunakan antara novel dan film dalam penyampaian cerita dan pesan masing-masing, serta pemahaman teks karya sastra yang berbeda oleh setiap individu. Sehingga pesan yang disampaikan novel dan film bisa diterima oleh berbagai kalangan masyarakat dengan tidak meninggalkan pesan yang dimaksud oleh karya sastra itu sendiri. Hasil penelitian telah menemukan berbagai perbedaan tersebut, berikut adalah beberapa contohnya:
No
Aspek
Film
Novel
1
Alur cerita
Nama Kedai Filosofi Kopi sudah terlahir pada awal alur cerita film.
Narator hanya menceritakan pengalaman Ben dan sejarah perintisan kedai kopi oleh mereka berdua pada awal alur cerita novel, yang mana kedai kopi tersebut akan berubah nama menjadi Kedai Filosofi Kopi pada alur cerita berikutnya.
2
Penokohan
Tokoh Elania seorang Q-grader yang mengenalkan Pak Seno dan kopi tiwus  kepada narator dan Ben.
Pria setengah baya seorang penggila kopi sebagai pemberi kabar keberadaan kopi tiwus di Jawa Tengah kepada narator dan Ben.
3
Setting waktu
Peristiwa masa lalu Ben dengan orang tua dan kampung halamannya.
Novel hanya menceritakan Ben semasa dewasanya bersama narator dan tidak sama sekali menyinggung masa lalu Ben.
4
Setting tempat
Lapangan golf menjadi latar tempat Peristiwa persetujuan antara Bos penantang dengan narator dan Ben ditampilkan film.
Peristiwa persetujuan akan tantangan yang diberikan sebatas pertemuan di Kedai Filosofi Kopi.

Berdasarkan hasil penelitian telah ditemukan berbagai perubahan fungsi yang terjadi pada film terhadap novel selaku hipogramnya, berikut ini adalah beberapa contohnya:
Modifikasi
Film menampilkan Elania seorang penulis kopi dan Q-grader  yang credible/terpercaya tengah melakukan wawancara tentang Ben’s Perfecto untuk penelitian dalam tulisannya tentang kopi. Elania merupakan modifikasi tokoh wanita yang sebelumnya pada novel  merupakan seorang pria paruh baya. Perubahan fungsi tersebut sebagai: pertama, memodifikasi tokoh pemuda paruh baya dalam novel yang berkunjung ke Kedai Filosofi Kopi dan memberi kabar tentang kopi tiwus. kedua, penguat data tentang penilaian kopi yang dibuat dari buah kerja keras Ben.    
Ekspansi
Film menceritakan peristiwa problematika yang dihadapi narator tentang hutang sepeninggalan almarhum Ayahnya, yang mana peristiwa tersebut berfungsi sebagai salah satu pemicu konflik antara Narator dan Ben pada alur cerita berikutnya. Film melakukan ekspansi atau penambahan alur cerita dalam peristiwa tersebut, karena novel tidak menceritakan masalah kepemilikan hutang narator yang diturunkan dari almarhum ayahnya.
Haplologi
Peristiwa tersasarnya Narator dan Ben dalam perjalanan ke warung Pak Seno yang diceritakan novel tidak diceritakan pada film, akan tetapi film menekankan dengan memberikan visualisasi suasana pedesaan disekitar warung Pak Seno. Film melakukan haplologi atau penghilangan cerita tersebut disebabkan: pertama,  fungsi alur cerita novel tidak memberikan peran penting dalam alur cerita film, kedua, perjalanan narator dan Ben ke warung Pak Seno mengalami modifikasi dengan penambahan tokoh Elania sebagai pengantar perjalanan pada alur cerita film.
Ekserp
Film mengambil intisari dari peristiwa keramaian yang ada di Kedai Filosofi Kopi setelah terciptanya Ben’s Perfecto yang dibuat dari tangan Ben. Fungsi dari pengambilan intisari tersebut adalah sebagai penyesuaian durasi film dengan tidak menghilangkan pesan cerita novel, sehingga antara novel dan film memiliki pesan cerita yang sama.

PEMBAHASAN
Pengangkatan novel ke sebuah film atau yang biasa disebut dengan istilah ekranisasi telah banyak dilakukan oleh para seniman di Indonesia. Berkembangnya teknologi perfilman di dunia membuat novel-novel terbaik karya anak bangsa diangkat ke dalam sebuah film. Akan tetapi, proses ekranisasi tersebut tentu menuai kritik dari berbagai pihak termasuk pembaca novel, penulis novel, dan penikmat film itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kemampuan manusia dalam menginterpretasi karya sastra yang berbeda-beda, setiap orang akan memiliki pemahaman tentang estetika resepsi pada ruang akalnya masing-masing, seperti yang dikemukakan oleh Iser, bahwa setiap teks memiliki blank atau kekosongan di dalamnya,  kemampuan menginterpretasi setiap individulah yang akan mengisi kekosongan tersebut, atas dasar inilah proses kritik terjadi dalam pemahaman sebuah teks karya sastra.
Penelitian ini menempatkan novel Filosofi Kopi menjadi hipogram atau teks tertentu yang menjadi latar penciptaan sebuah karya, dan menempatkan film Filosofi Kopi sebagai transformasi atau teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogramnya. Hal ini sesuai dengan yang telah dipaparkan tentang teori intertekstual yang menganggap bahwa keberadaan teks transformasi didasarkan atas penyerapan dari teks hipogramnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis proses pengangkatan novel ke dalam film atau ekranisasi dapat dilakukan dengan menjadikan kedua karya tersebut sebuah teks naratif. Sehingga dapat dibandingkan dengan memposisikan keduanya sejajar. Hal ini sesuai dengan teori dikemukakan oleh  Chatman tentang teori naratif.
Pada dasarnya Chatman melakukan pengembangan teori naratif yang dikemukakan oleh Rolland Barthes tentang peristiwa mayor dan peristiwa minor dalam sebuah teks naratif. Kemudian Chatman mengembangkan teori tersebut menjadi kernel yaitu peristiwa inti yang tidak dapat dihilangkan dalam sebuah struktur teks naratif karena akan merusak kelogisan cerita, dan satelit yaitu peristiwa  yang membungkus kernel, dapat dihilangkan tetapi akan mengurangi nilai estetik dalam sebuah cerita.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa durasi film Filosofi Kopi yang mendukung pengembangan cerita terhadap novel aslinya membuat film ini melakukan banyak ekspansi yang terjadi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kernel dan satelit yang dimiliki novel lebih sedikit dibandingkan dengan kernel dan satelit yang dimiliki film.
Perbedaan alur cerita, penokohan, dan setting tempat serta waktu pada film Filosofi Kopi terhadap novel aslinya dapat dilihat dengan memposisikan susunan kernel dan satelitnya secara sejajar. Sebagaimana yang dipaparkan pada hasil penelitian dengan menghadirkan tabel untuk meletakkan keduanya dengan seimbang, maka ditemukan berbagai perbedaan yang ada.
Teori intertektual yang digunakan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai perubahan fungsi yang terjadi pada film Filosofi Kopi terhadap novel aslinya, penelitian ini menerapkan prinsip-prinsip interkstual yang dikemukakan oleh Julia Kristeva berupa modifikasi, haplologi, ekspansi, dan ekserp. Hasil Penelitian menujukkan kesesuaian, dan belum menemukan adanya perbedaan tentang prinsip-prinsip intertekstual yang telah dipaparkan.
Perbedaan dan perubahan fungsi yang terjadi pada setiap proses ekranisasi disebabkan oleh perbedaan media yang digunakan dalam penyampaian pesan kedua karya sastra tersebut, serta proses kreatif yang dilakukan oleh seorang sutradara.  Dengan adanya penelitian ini, kita dapat mengetahui perbedaan dan perubahan fungsi yang terjadi dalam proses ekranisasi dengan menerapkan beberapa teori yang telah dipaparkan, sehingga makna yang disampaikan dalam proses kritik sastra berjalan sistematis dan dapat diterima oleh para pengkaji sastra.

KESIMPULAN
Proses ekranisasi atau pengangkatan novel ke dalam film telah banyak terjadi pada era modern ini. Hal disebabkan oleh perkembangan teknologi yang berbanding lurus dengan perkembangan dunia kesusasteraan. Penelitian tentang hal tersebut dapat dilakukan melalui analisis kernel dan satelit, yang kemudian dibandingkan dengan posisi sejajar untuk mengetahui perbedaan alur cerita, penokohan, dan setting tempat, serta waktu antara kedua karya sastra tersebut berdasarkan teori struktur naratif, untuk mengetahui perubahan fungsi yang terjadi dalam proses ekranisasi tersebut, analisis dapat dilakukan dengan menggunakan implementasi dari prinsip-prinsip teori intertekstual  yang berupa modifikasi, haplologi, ekspansi, dan ekserp. Sehingga perubahan fungsi yang terjadi dapat ditentukan dengan sistematis sesuai dengan struktur naratif pada novel dan film.
Saran kepada peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis, hendaknya dapat mengambil cakupan permasalahan yang lebih luas lagi, agar kajian penelitian dapat lebih mendalam, agar lebih bermakna dalam pengembangan dunia pendidikan dan sastra. Kepada guru Bahasa Indonesia, novel dan film Filosofi Kopi merupakan karya yang baik untuk dijadikan bahan pengajaran Bahasa Indonesia karena kedua karya sastra ini memberikan pelajaran tentang nilai-nilai persahabatan, kehidupan, dan kekayaan alam Indonesia. Penelitian menggunakan teori naratif tersebut juga dapat dikembangkan dalam pembelajaran teks naratif siswa SMP dan SMA.





DAFTAR RUJUKAN
Bluestone, George. 1957. Novels Into Film. Berkeley and Los Angeles: University California Press.
Boggs, Joseph M. 1992. Cara Menilai Sebuah Film (diterjemahkan oleh Asrul Sani). Jakarta: Yayasan Citra.
Chatman, Seymour. 1980. Story and Discourse: Narrative Structure in Fiction and Film. Ithaca.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan  Film. Flores: Penerbit Nusa Indah.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading. London: The John Hopkins University Press.
Kristeva, Julia. 1987. Desire In Language: A Semiotics Approach to literature And Art. England: Basil Blackwell Ltd.
Lestari, Dewi. 2015. Filosofi Kopi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Mardalis. 2004. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta : Bumi Aksara.
Maurier, Daphne Du. 1938. Rebecca. New York: Pocket Book Inc.
Napiah, Abdul Rahman. 1994. Tuan Jebat Dalam Drama Melayu: Satu Kajian Intertekstualiti. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press. (Edisi revisi)
Palapah dan Syamsudin. 1986. Studi Ilmu Komunikasi. Bandung: Universitas Padjajaran.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Bandung: Dunia Pustaka Jaya.
Yunus, Umar. 1985. Resepsi Sastra : Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.