Selasa, 30 Agustus 2016

Pendekatan Ekspresif Menurut M.H Abrams



Abrams merupakan salah satu pencipta teori sastra yang sangat berpengaruh, dalam bukunya The Mirror and The Lamb dia menjelaskan definisi-definisi yang berkaitan dengan istilah kesusastraan, oleh karena itu bukunya menjadi salah satu pegangan wajib bagi para penelaah sastra. selain menjadi wejangan dasar bagi para penelaah sastra, dalam bukunya Abrams juga mengklasifikasikan teori satra menjadi empat kelompok, yakni: objective theory, mimetic, espresif, dan pragmatik.
Keempat landasan teori yang dikemukakan oleh abrams tersebut, wajib diketahui oleh setiap penelaah sastra. untuk itu, kita akan melihat penjelasan setiap kelompok teori sastra yang diusung oleh Abrams agar mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai penganalisisan karya sastra.
Jika teori mimetik melihat bahwa karya sastra menupakan bentuk peniruan alam semesta, maka pada terori ekspresif sastra lebih dekat hubungannya dengan kajian biografis. Sastra dinilai tidak pernah lepas dari manifesto si pengarang. Dalam karya sastra, penulis tidak hanya mengekspressikan perasaan yang dimilikinya tetapi juga memberikan ide dan pandangannya terhadap masalah tertentu.

Meskipun teori ekspresif ini lebih cenderung dekat dengan pengkajian biografi, namun keduanya tidaklah sama. Dalam pengkajian biografi fokus utama penganalisisan adalah diri si pengarang, sedangkan dalam teori ekspresif yang menjadi fokus kajian tidak hanya berupa diri si pengarang itu saja, tetapi juga ide-ide, pikiran, perasaan, dan ciptaan dari si pengarang.

Teori ekspresif ini memungkinkan untuk dikolaborasikan dengan teori-teori yang lain, seperti contoh penganalisisan karya-karya yang bersifat postcolonial terutama yang terfokus dengan studi orientalisme. Kita dapat melihat karya sastra sebagai alat dari si pengarang untuk menyampaikan ide-ide colonialnya, dengan melihat hubungan antara karya sastra, niai-nilai colonialisme, dan pemikiran-pemikiran dari si pengarang.

Dengan adanya teori ekspresif ini, maka terbantahlah asumsi bahwa karya sastra tidak dipengaruhi oleh aspek-aspek ekstrinsik yang meliputi keadaan sosial dan latar belakang dari si pengarang. Pengarang memegang peranan penuh terhadap karya yang dibuatnya, seningga pengarang bisa dengan mudah menambahkan nilai-nilai yang ada pada dirinya yang kemudian disampaikan kepada para pembaca lewat karya sastra yang dihasilkannya.

Pendekatan ekspresif adalah cara menilai karya sastra dengan cara menghubungkan karya satra dengan pengarangnya.
Pendekatan ekspresif ialah suatu pendekatan yang lebih mendasar pada pengarang sebagai pencipta karya satra tersebut dan lebih menitik beratkan kajiannya pada ekspresi perasaan dan temperamen penulis.
Pendekatan ekspresif tersebut mengenai batin dan perasaan seseorang yang kemudian di ekspresikan dan dituangkan kedalam bentuk karya satra dan tulisan hingga membentuk sebuah karya sastra yang bernialai rasa tersendiri, dan menurut isi kandungan yang ingin disampaikan oleh pengarang ( berupa karya seni).
Dalam keterangan diatas kita dapat mengetahui bahwa karya satra tidak dapat hadir bila tidak ada yang menciptakannya, sehingga pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya dalam kegiatan kajian dan apresiasi sastra pikiran dan perasaan pengarang. Sebab pada hakikatnya karya satra ialah tuangan pengalaman penulis dari segala gagasan, cipta rasa, emosi, ide, angan-angan yang memandang suatu karya satra yang esensial sebagai dunia internal (pengarang) yang terungkap, sehingga menjadi dunia eksternal (berupa karya seni) sebagai perwujudan proses kreatif.

Pikiran dan perasaan pengarang adalah sumber utama dan pokok masalah dalam suatu novel misalnya, adalah sifat-sifat dan tindakan-tindakan yang berasal dari pemikiran pengarangnya, sehingga karya sastra merupakan sarana atau alat untuk memahami keadaan jiwa pengarang. Guna pendekatan ekpresif ini dimaksudkan untuk mengtahui sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengungkapkan gagasan-gagasan, imajinasi dan spontanitasnya.

ISLAM, ARAB, DAN QURAISY


BAB I
PENDAHULUAN
A        Latar Belakang
Islam, Arab, dan Quraisy merupakan tiga komponen yang tidak dapat dipisahkan ketika kita membahas tentang sejarah peradaban Islam. Ketiga komponen tersebut merupakan unsur utama yang saling melengkapi. Kita tidak dapat membahas sejarah peradaban Islam tanpa mengetahui Islam itu sendiri. Dan ketika kita membahas Islam tidak dapat terlepas dari bangsa Arab yang merupakan tokoh utama dalam pembentukan serajah peradaban Islam. Demikian juga dengan suku Quraiys yang merupakan suku paling berpengaruh di dunia Arab saat itu.
Sebuah peradaban manusia tidak hadir begitu saja dalam ruang kehidupan, ia senantiasa terbentuk oleh proses perjuangan yang melatari dalam rentang waktu yang tidak sebentar. Tidak hanya itu, peradaban baru sengaja hadir untuk menggantikan peradaban lama di masa silam. Proses pergantian peradaban tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena pondasi bangunan dari peradaban lama seperti struktur sosial, pola interaksi, nilai, norma, adat istiadat dan tradisi telah berakar kuat pada setiap generasi dalam lipatan masa yang tidak terhitung lamanya. Untuk mengubahnya, yang diperlukan bukan saja agen perubahan yang tangguh namun konsep perubahan sosial yang diusung harus pula memiliki nilai tawar yang lebih menjanjikan di masa depan.
Begitu pula dengan peradaban masyarakat padang pasir di kala Islam masih belum hadir dalam ruang kehidupan mereka. Sebagai sebuah entitas kebudayaan masyarakat dunia, jazirah Arab memiliki peradaban khas dibanding dengan komunitas masyarakat pada umumnya. Sebuah peradaban yang telah berlangsung dalam rentang waktu ratusan tahun dan dilestarikan keberadaannya secara turun temurun dalam proses pewarisan tradisi. Ini mengindikasikan bahwa bangunan peradaban yang terbentuk telah mengkristal dan terabadikan hingga dalam bentuknya yang paling sederhana.
Kemudian datanglah Muhammad yang berperan sebagai agen perubahan sosial dengan membawa gagasan perubahan yang jauh berbeda dengan tatanan kehidupan masyarakat jazirah Arab. Sebuah perubahan revolusioner dalam ranah ketuhanan dan hubungan kemanusiaan menjadi  gagasan utama dalam gerakannya. Kehadiran Muhammad beserta konsep kehidupan baru yang dibawanya secara perlahan mampu merasuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Arab. Implikasinya tentu mengarah pada munculnya peradaban baru di tengah-tengah peradaban Arabia yang lebih dikenal dengan masa jahiliyah. Akhirnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama peradaban masyarakat Mekkah muncul menjadi kekuatan baru di sepanjang Jazirah Arab dan sekitarnya. Sebuah peradaban yang dimotori oleh sang agen perubahan yang bernama Muhammad ini bernama Peradaban Masyarakat Islam.

B        Rumusan Masalah
Terkait dengan latar belakang di atas, maka pada makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah yang berusaha penulis bahas, antara lain:
1           Bagaimana peran Islam dalam pembentukan sejarah peradaban Islam?
2           Bagaimana peran bangsa Arab dalam pembentukan sejarah peradaban Islam?
3           Bagaimaan peran suku Quraiys dalam pembentukan sejarah peradaban Islam?










BAB II
PEMBAHASAN

A          Pengertian Peradaban Islam
Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyah. Kata Arab ini sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan Islam. “Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” (Arab, al-Tsasaqafah; Inggris, culture). Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kedubayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama), dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.[1]
Landasan “peradaban Islam” adalah “kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan Islam” adalah agama. Jadi, dalam Islam, tidak seperti masyarakat yang menganut agama “bumi” (nonsamawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.[2]
Dari pengertian peradaban di atas, pemakalah akan berusaha membahas tentang peran Islam, Arab, dan Quraisy dalam pembentukan sejarah peradaban Islam.
B          Masyarakat Arab Pra-Islam
Sebelum membahas tentang peradaban Islam, tentunya kita harus mendalami terlebih dahulu tentang bangsa Arab yang merupakan bangsa yang sangat berperan dalam pembentukan sejarah peradaban Islam. Hal tersebut dikarenakan hampir semua peradaban Islam dimulai dan terjadi di Jazirah Arab. Baik kelahiran Islam itu sendiri, perkembangannya dan masa kejayaannya.
Bangsa Arab sebelum Islam biasanya disebut Arab Jahiliyah, bangsa yang belum berperadaban, bodoh, tidak mengenal aksara. Sebutan itu tidak perlu menyebabkan kita berkesimpulan bahwa tidak seorang pun dari penduduk Jazirah Arab yang mampu membaca dan menulis; karena beberapa orang sahabat Nabi diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam. Baca tulis ketika itu belum menjadi tradisi, tidak dinilai sebagai sesuatu yang penting, tidak pula menjadi ukuran kepandaian dan kecendekiaan.[3]
Akan tetapi, Bangsa Arab, terutama Arab Utara, dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam menggubah syair, dan syair-syair itu diperlombakan dan yang unggul di antaranya ditulis untuk digantung di Ka’bah. Melalui tradisi sastra tersebut di atas diketahui bahwa peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh pada dan mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang menyertai peristiwa-peristiwa penting itu mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti kisah, dongeng, nasab, nyanyian, syair, dan sebagainya.
Secara keseluruhan, masyarakat Arab terutama yang berada di luar kota adalah bangsa yang mandiri dan bangga dengan kemandiriannya, khususnya dalam menghadapi kehidupan ekonominya. Mereka hidup secara nomaden guna mencari tempat yang subur untuk menggembala. Menunggang unta adalah hasil revolusi teknologi terbesar zaman itu. Mereka menangkap dan menjinakkan unta di Arabia utara.[4]
Jazirah Arabia adalah tempat lahirnya agama Islam dan kemudian menjadi pusat Islam, merupakan pusat dari peradaban dan kebudayaan Islam. Oleh karena itu, perlu dijelaskan mengenai keadaan geografi, penduduk, politik, ekonomi, dan sosial, bahkan agama, sebelum lahirnya agama Islam.[5]

1             Keadaan Negeri Arabia
Negeri Arabia terletak di sebelah barat daya Asia, dan merupakan semenanjung yang dikelilingi laut dari tiga jurusan; Laut Merah, Lautan Hindia, dan Teluk Persia.
Negeri-negeri Arabia pada umumnya terdiri dari padang pasir (sahara), tetapi tidak semuanya tandus, ada pula yang subur.
Para ahli geografi membagi Jazirah Arabia sebagai berikut:
a         Arabia Petrix, yaitu daerah-daerah yang terletak di sebelah barat daya Lembah Syria.
b         Arabia Deserta, yaitu daerah Syria sendiri.
c         Arabia Felix, yaitu negeri Yaman, yang terkenal dengan sebutan “Bumi Hijau”.
Adapun ahli sejarah membagi penduduk Jazirah Arabia sebagai berikut:
a         Arab Baidah (bangsa Arab yang telah punah), yaitu orang-orang Arab yang telah lenyap jejaknya dan tidak diketahui lagi, kecuali karena tersebut dalam kitab-kitab suci, seperti kaum Ad, dan Samud. Di antara kabilah meraka yang termashyur, yaitu Ad, Samud, Thasam, Jadis, dan Jurham.
b         Arab Baqiyah (bangsa Arab yang masih lestari), dan mereka terbagi dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut:
1           Arab Aribah, yaitu kelompok Qahthan, dan tanah air mereka yaitu Yaman. Di antara kabilah-kabilah mereka yang terkenal, yaitu Jurham, Ya’rab, dan dari Ya’rab ini lahirlah suku-suku Kahlan dan Himyar.
2           Arab Musta’rabah, mereka adalah sebagian besar penduduk Arabia, dari dusun sampai ke kota, yaitu mereka yang mendiami bagian Jazirah Arabia dan negeri Hijaz sampai ke Lembah Syria. Mereka dinamakan Arab Musta’rabah karena pada waktu Jurham dari suku Qathaniyah mendiami Mekah, mereka tinggal bersama Nabi Ibrahim as. serta ibunya, di mana kemudian Ibrahim dan putra-putranya mempelajari bahasa Arab.

Menurut ahli riwayat Abul Fidaa mengatakan bahwa bangsa Arab terbagi tiga bagian, yaitu: Baidah, Aribah dan Musta’ribah.[6]
Arab Musta’ribah, Arab Adnaniyah akhirnya bercabang menjadi dua suku besar yaitu Kabiah dan Mudlar. Dari Kabiah muncul kabilah Asad yang menempati utara lembah Rimmah dan kabilah Wail yang bercabang menjadi kabilah Qais Ailan yang menurunkan marga Hawazin dan Sulaiman; kabilah Tamim, kabilah Hudzail menempati pegunungan dekat Mekah, dan kabilah Kinaah dimana suku Quraisy datang darinya.[7]
2             Kerajaan-Kerajaan Arab
Sebelum Islam, di negeri-negeri Jazirah Arabia, telah berdiri beberapa kerajaan, yang sifat dan bentuknya ada dua macam, yaitu sebagai berikut:[8]
a         Kerajaan yang berdaulat, tetapi tunduk kepada kerajaan lain (mendapat otonomi dalam negeri).
b         Kerajaan tidak berdaulat, tetapi mempunyai kemerdekaan penuh, ini lebih tepat disebut Induk Suku dengan kepala sukunya. Ia memiliki apa yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan yang sebenarnya.
Menurut A. Hasjmy, ada beberapa Kerajaan Arabia yang berdaulat, di antaranya sebagai berikut:
a         Kerajaan Makyan, kerajaan ini terletak di selatan Arabia, yaitu di daerah Yaman.
b         Kerajaan Saba, kerajaan ini juga berdiri di daerah tanah Yaman, yang pada waktu kerajaan Saba ini menggantikan kerajaan Makyan. Kerajaan Saba sangat maju dan terkenal dalam sejarah, terutama terkenal dengan bendungan raksasanya “Saddul Maarib”, sebagai bendungan raksasa pertama di dunia.
c         Kerajaan Himyar, kerajaan ini terletak antara Saba dan Laut Merah, yang meliputi daerah-daerah yang bernama Qitban sehingga kerajaan ini kadang-kadang dinamakan juga Kerajaan Qitban.
d         Kerajaan Hirah, beberapa kabilah Arab yang tinggal dekat dengan perbatasan Kerajaan Romawi dan Persia mengenyam kemerdekaannya yang penuh. Mereka mendirikan kerajaan-kerajaan dan mereka menganut politik bersahabat dengan kerajaan besar tetangganya (Persia dan Romawi).
e         Kerajaan Ghasan, kerajaan ini terletak di daerah Syam. Kerajaan ini sangat rapat hubungannya dengan Kerajaan Romawi Timur, sehingga satu waktu menjadi wilayah dari Kerajaan Romawi.
f          Negeri Hijaz, Hijaz mempertahankan kemerdekaannya sejak lama, juga kerajaan Romawi dan Persia tidak dapat menjajah Hijaz.
3             Agama Bangsa Arab
Penduduka Arab menganut agama yang bermacam-macam, antara lain yang terkenal adalah penyembahan terhadap berhala atau paganisme. Namun demikian di kalangan bangsa Arab masih ada yang tidak suka menyembah berhala, di antara mereka ialah Waraqah ibn Naufal dan usman bin Huwairis yang menganut agama masehi.[9]
4             Keadaan Politik
Bangsa Arab terbagi atas dua bagian yaitu: pertama Badui, penduduk padang pasir yang tidak memiliki tempat tinggal tetap dan selalu berpindah-pindah untuk mencari sumber air di oase-oase bagi ternak mereka. Meraka merupakan bagian terbesar dari masyarakat Arab. Dan kedua, penduduk yang sudah mempunyai tempat tinggal menetap.
Prinsip demokrasi dan persamaan di antara penduduk Arab telah mereka kenal namun prinsip ini hanya terbatas pada kabilah atau sukunya saja dan tidak di luar suku. Prinsip ini dapat dilihat dari acuan dalam menyelesaikan perselisihan, dilakukan dengan cara musyawarah dan juga menghargai pendapat anggota seperti musyawarah dalam memutuskan untuk berperang dan memilih shaikh kabilah.
Kehidupan suku-suku atau kabilah ini telah dikondisikan oleh alam untuk tetap berpencar-pencar menjadi bagian-bagian tersendiri yang mempertahankan hak-hak kehidupannya. Mereka membentuk aturan-aturan serta memberlakukannya pada setiap anggota yang ada di dalamnya, hingga tumbuh perasaan “soidaritas keanggotaan” yang membabi buta. Kabilah-kabilah biasanya terbentuk oleh kesatuan emosiaonal tradisional, darah, harga diri, serta pengakuan terhadap adanya hak dan kewajiban bersama, sesuai dengan geneologi Arab yang berdimensi “patriahat”, garis kebapakan.[10]
5             Keadaan Ekonomi dan Sosial
Sesuai dengan tanah Arab yang sebagian besar terdiri dari padang sahara, ekonomi mereka yang terpenting yaitu perdagangan. Masyarakat Quraisy berdagang sepanjang tahun. Di musim dingin mereka mengirim kafilah dagang ke Yaman, sedangkan di musim panas kafilah dagang mereka menuju Syiria.
Perdagangan yang paling ramai di Kota Mekah yaitu selama musim “Pasar Ukaz”, yaitu pada bulan Zulqaidah, Zulhijjah, dan Muharram. Adapun keadaan social mereka, terdapat beberapa segi yang baik dan ada pula yang buruk. Segi-segi yang baik, misalnya setia kepada kawan dan setia kepada janji, menghormati tamu, tolong menolong antara anggota-anggota kabilah. Segi-segi yang buruk, misalnya merendahkan derajat wanita, suka bermusuhan atau berperang lantaran masalah sepele.
6             Kehidupan Intelektual
Sekalipun Jazirah Arab, terutama Hijaz dan Najd, terpencil dari dunia luar, namun mereka memiliki daya intelektual yang sangat cerdas. Bukti dari kecerdasan mereka dapat dilihat pada berbagai peninggalan mereka, baik dalam bidang politik, ekonomi, dan social. Bukti kecerdasan akal mereka dalam ilmu pengetahuan antara lain tentang: ilmu astronomi, ilmu meteorologi, ilmu mitologi, ilmu tenung, dan ilmu thib (kedokteran).
7             Bahasa
Dalam bidang bahasa dan seni bahasa, bangsa Arab sebelum Islam sangat maju. Bahasa mereka sangat indah dan kaya. Syair-syair mereka sangat banyak. Dalam lingkungan mereka seorang penyair sangat dihormati. Hal tersebut terbukti dengan diadakannya beberapa kegiatan rutin antara lain:
        Khithabah
Khithabah (retorika) sangat maju, dan inilah satu-satunya alat komunikasi yang sangat luas medannya. Di samping sebagai penyair, bangsa Arab Jahiliah pun sangat fasih berpidato dengan bahasa yang sangat indah dan bersemangat. Ahli pidato mendapat derajat tinggi dalam masyarakat, sama halnya dengan penyair.
        Majlis Al-Adab dan Sauqu Ukaz
Telah menjadi kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah, yaitu mengadakan majelis atau nadwah (klub), di tempat inilah mereka mendeklamasikan sajak, bertanding pidato, tukar-menukar berita dan sebagainya. Terkenallah dalam kalangan mereka “Nadi Quraisy” dan “Darun Nadwah” yang berdiri di samping Ka’bah.
C          Kota Mekah dan Arti Pentingnya
Mekah merupakan pusat keagamaan dan perdagangan yang penting. Hal ini terutama karena ia menjadi jalur perdagangan internasional. Karena kedudukannya yang strategis inilah sehingga Abrahah, raja Absyinia dari Yaman selatan, bermaksud menjadikan San’a sebagai pusat perdagangan, menggantikan Mekah. Namun demikian, maksud ini tidak kesampaian, dan Mekah tetap menjadi pusat perdagangan dan agama terpenting Arab pagan. Mekah terletak di sepanjang pegunungan yang tandus, berbatu-batu dan tidak ada lapisan tanah. Karena tanahnya yang tandus sehingga tidak memungkinkan adanya pertanian. Dengan demikian penduduk Mekah terpaksa mendapatkan bahan makanan dari tempat lain melalui perdagangan.[11]
Ketika Nabi Muhammad saw lahir (570 M), Mekah adalah sebuah kota yang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai, menghubungkan Yaman di selatan dan Syria di utara. Dengan adanya Ka’bah di tengah kota, Mekah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala utama, Hubal. Mekah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat Arab dengan luas satu juta mil persegi.[12]
Untuk mengamankan para peziarah yang datang ke kota itu, didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa, yaitu Jurhum, sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim), sebagai pemegang kekuasaan atas Ka’bah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpina Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik dan urusan-urusan yang berhubungan dengan Ka’bah. Semenjak itu, suku Quraisy menjadi suku yang mendominasi masyarakat Arab. Ada sepuluh jabatan tinggi yang dibagi-bagikan kepada kabilah-kabilah asal suku Quraisy, yaitu hijabah, penjaga kunci-kunci Ka’bah; siqayah, pengawas mata air zamzam untuk dipergunakan oleh para peziarah; diyat, kekusaan hakim sipil dan kriminal; sifarah, kuasa usaha negara atau duta; liwa’, jabatan ketentaraan; rifadah, pengurus pajak untuk orang misin; nadwah, jabatan ketua dewan; khoimmah, pengurus balai musyawarah; khazinah, jabatan administrasi keuangan; dan azlam, penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa. Dalam pada itu, sudah menjadi kebiasaan bahwa anggota yang tertua mempunyai pengaruh paling besar dan memakai gelar rais.[13]
D          Suku Quraisy
Nabi Muhammad merupakan keturunan Quraisy, yaitu suatu suku yang berkembang dari Kinanah Ibn Khuzaimah. Ada dua pandangan terkait dengan pemilikan gelar Quraisy ini yaitu Nadr Ibn Kinanah dan Fihr Ibn Malik Ibn Nadr. Suku Quraisy dapat dikatakan sebagai suku yang terhormat dan terkuat diantara kabilah-kabilah yang ada di Jazirah Arab bagian tengah yang pernah mempertahankan Ka’bah dari serbuan tentara Hunyar dari Yaman. Selain itu mereka terkenal sebagai pedagang ulung yang menguasai jalur perniagaan ke seluruh penjuru Hijaz dengan Mesir, Yaman, Siria, Irak dan Persia, dan menguasai perdagangan lokal, karena peran Ka’bah sebagai pusat pertemuan kabilah-kabilah Arab. Hal ini disebabkan semenjak Qushai merebut Mekah dan menguasainya dari bani Khuza’ah secara otomatis otoritas agama dan politik berada di tangan Quraisy. Pengembalian pengelolaan Ka’bah ke tangan suku Quraisy ini memberikan pengaruh luas bagi perannya dalam penguasaan seluruh aspek termasuk di dalamnya adalah perdagangan dan politik.[14]
Suku Quraisy umumnya terbagi menjadi beberapa sub-klan utama, yang kemudian terbagi lagi menjadi sub-klan, antara lain:
1           Bani 'Abdud-Dâr — sub-klan dari Quraisy
2           Bani 'Abdul-Manâf — sub-klan dari Quraisy
3           Bani Naufal — sub-klan dari Bani 'Abdul-Manâf
4           Bani Muththalib — sub-klan dari Bani 'Abdul-Manâf
5           Bani Hâsyim — sub-klan dari Bani 'Abdul-Manâf, klan dari Muhammad dan Ali.
6           Bani Abbasiyah — turunan dari Bani Hâsyim
7           Bani 'Abdus-Syams — sub-klan dari Bani 'Abdul-Manâf,
8           Bani Umayyah — sub-klan dari Bani 'Abdus-Syams, klan dari Abu Sufyan, Utsman bin Affan dan Muawiyah
9           Bani Makhzum — sub-klan dari Quraisy, klan dari Khalid bin Walid, Walid bin Mughirah
10        Bani Zuhrah — sub-klan dari Quraisy, klan dari Sa'ad bin Abi Waqqas
11        Bani Taim atau Bani Tamim — sub-klan dari Quraisy, klan dari Abu Bakar
12        Bani 'Adi — sub-klan dari Quraisy, klan dari Umar bin Khattab
13        Bani Asad — sub-klan dari Quraisy, klan dari Abdullah bin Zubair dan Khadijah.[15]
E          Islam sebagai Sistem Kemasyarakatan dan Sosial Politik
Islam bukanlah sekedar sebuah agama di masyarakat Arab. Islam merupakan bentuk peradaban yang akan selalu mengikuti perkembangan jaman. Islam juga membawa perubahan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Arab. Jika awalnya mereka dikenal sebagai bangsa jahiliyah yang jauh dari peradaban dan tertinggal dari bangsa-bangsa lain di dunia, maka ketika Islam turun di Arab membawa pencerahan dan peradaban yang nantinya dikenal di seluruh dunia.
Bukanlah hal yang mudah untuk merubah tatanan masyarakat yang sudah mendarah daging di dunia Arab saat itu. Dimana penghormatan kepada nenek moyang yang berlebihan dan penyembahan terhadap berhala-berhala yang dianggapnya sebagai pengganti Tuhan. Serta perbedaan yang sangat mendasar dalam strata kehidupan masyarakatnya dan kebiasaan hidup bermewah-mewah yang akhirnya menimbulkan penyakit sosial.
Hal pertama yang dilakukan Islam untuk menghilangkan penyakit sosial tersebut adalah menekankan kesatuan, yaitu menghilangkan sekat-sekat kesukuan. Kedua, menekankan persamaan derajat di antara para umatnya tanpa memandang status sosial atau asal-usul suku. Kaum budak juga memiliki derajat yang sama dengan umat Islam lainnya.[16]
Dalam ajaran Islam, kesempurnaan seseorang selaku individu akan memberikan dampak yang sangat besar pada berbagai aspek kehidupan sosial karena individu merupakan anggota pokok dalam struktur masyarakat. Tidak ada dinding pemisah antara kualitas kehidupan individu dan kualitas kelompok masyarakatnya, dan pada realitasnya Islam menempatkan keseimbangan di antara kemaslahatan keduanya. Dalam membangun keseimbangan itulah, Islam telah menawarkan aturan-aturan yang jelas bagi manusia, antara hak dan kewajibannya selaku makhluk individu serta hak dan kewajibannya selaku makhluk sosial.[17]
Sejalan dengan kenyataan seperti itu, etika sosial Islam yang tercakup dalam nilai-nilai syariah bahkan, dalam berbagai sejarah kemasyarakatan di dunia Islam telah terbukti dikontribusikan dalam rangka menjalin mekanisme kehidupan sosial secara integral. Dan, ternyata konsep “amar ma’rif nahi munkar” yang tertuang dalam konsep kemasyarakatan ideal (khair al-ummah) yang dijelaskan Al-Qur’an (Q.S. Ali-Imran: 104,110) itu bukan sekedar konsep sederhana, tetapi terbukti secara filosofis dan historis, ia telah menjadi “mesin penggerak” yang cukup kompleks dalam menciptakan dinamika peradaban umat manusia.[18]
Dan sejak kehadirannya di Mekah, Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw telah membawa arus transformasi yang sangat radikal dan komprehensif, terutama bagi perubahan  kehidupan individual dan sosial. Ia telah merombak total perilaku keseharian dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang berakar kuat pada tradisi yang sudah turun temurun; yang menyangkut ketuhanan, standar-standar penilaian, cara pandang seseorang terhadap tata kehidupan, alam, dan penempatan posisi manusia itu sendiri. Begitupun dalam struktur kemasyarakatan, Islam telah memberikan format yang sangat tegas dalam pembentukannya sehingga sebagian struktur sosial yang telah ada atau bahkan hampir seluruhnya tergeser secara sosiologis.
Dari sudut pandang keimanan dan aqidah (teologis), islam merepresentasikan suatu lompatan dari penghambaan sesuatu yang nyata, seperti patung-patung, binatang yang dapat dilihat dan diraba menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat digambarkan atau dipadankan dengan sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Inilah lompatan besar dalam sejarah manusia, dari akal primitif yang hanya bisa bersentuhan dengan materi-materi nyata menuju akal berperadaban tinggi yang mampu menyerap konsep keberadaan dan kebenaran keesaan Tuhan (tauhid), yaitu ketika seluruh totalitas dan potensi kemanusiaan; akal, perasaan dan pengalaman menjadi aktif dalam menemukan dan membenarkan keberadaan-Nya. Tuhan menjadi ada di mana-mana yang meliputi dan mengawasi seluruh totalitas alam semesta raya, termasuk di dalamnya perbuatan manusia.[19]
Perkembangan peradaban Islam di Mekah kurang begitu menunjukkan peningkatan yang signifikan, apalagi dalam bidang sosial politik. Peradaban Islam di bidang sosial politik semakin berkembang ketika Islam telah sampai di Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala Negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis sebagai kepala negara.
Oleh karena itu, Nabi kemudian meletakkan dasar-dasar masyarakat Islam di Madinah, sebagai berikut:
1           Mendirikan masjid, tujuannya untuk mempersatukan umat Islam dalam satu majelis, sehingga di majelis ini umat Islam bisa bersama-sama melaksanakan shalat jama’ah secara teratur, mengadili perkara-perkara dan bermusyawarah.
2           Mempersatukan dan mempersaudarakan antara kaum Anshar dan Muhajirin.
3           Membuat perjanjian saling membantu antara sesama kaum muslimin dan bukan muslimin.
4           Meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial untuk masyarakat baru.
Di bidang ekomoni dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial, serta dalam bidang kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan derajat antara masyarakat atau manusia, dengan penekanan bahwa yang menentukan derajat manusia adalah ketakwaan.[20]
F           Peran Bangsa Arab dalam Pembentukan Sejarah Peradaban Islam
Setelah mengetahui karakteristik bangsa Arab, kita akan mencoba untuk menggali lebih jauh tentang peran bangsa Arab dalam pembentukan sejarah peradaban Islam. Bahwa sejarah peradaban Islam tidak dapat dilepaskan dari bangsa Arab. Meski demikian kita tidak dapat mengatakan bahwa peradaban Arab adalah peradaban Islam atau pun sebaliknya. Karena selain peradaban Arab bersifat lokal yaitu hanya di kawasan Arab saja sedang peradaban Islam bersifat global juga karena dalam peradaban Islam terdapat campur tangan Allah.
Kita mulai pembahasan ini dari segi bahasa. Bahasa Arab yang akhirnya dijadikan bahasa Al-Qur’an merupakan faktor terpenting dalam peradaban Islam. Ketinggian bahasa, keindahan, halus susunannya, kaya kata-katanya, paling lengkap kaedahnya dan paling tinggi sastranya merupakan pilihan yang tepat dijadikan bahasa kitab suci Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Melalui bahasa Arab inilah Al-Qu’ran dapat diterima oleh semua kalangan. Karena ketinggian bahasa Arab menjadikan Al-Qur’an mudah dipahami dan dipelajari. Hal tersebut seperti yang terdapat di dalam surat al-Zukhruf ayat 3: “Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)”.[21] Ayat di atas menegaskan betapa bahasa Arab merupakan bahasa yang mudah dipahami oleh siapapun.
Jazirah Arab juga merupakan tempat Nabi meletakkan dasar-dasar peradaban Islam. Wahyu pertama yang turun adalah perintah membaca. Membaca adalah awal dari pembangunan peradaban. Meskipun Nabi dikenal sebagai seorang yang ummi (tidak bisa baca tulis), namun tidak semua masyarakat Arab demikian. Ada beberapa sahabat yang dapat membaca dan menulis. Meskipun baca tulis belum menjadi peradaban pada masa itu, tetapi Nabi telah memberikan motivasi kepada sahabatnya untuk senantiasa menuntut ilmu. Tidak sebatas ilmu mempelajari Al-Qur’an saja namun juga pada bidang ilmu yang lainnya.
Bangsa Arab juga dikenal suka berperang. Peperangan antar suku tidak pernah berhenti, saling berebut kekuasaan dan pengaruh merupakan kepahlawanan yang dibanggakan. Namun di balik semua itu, bangsa Arab sejak dahulu memiliki sifat kesatria, setia kepada kawan, dan menepati janji. Bangsa Arab suka menghormati tamu dan memberi suaka kepada siapa pun yang meminta perlindungan ke rumah mereka. Mereka juga memberi makan dan minum kepada kafilah padang pasir dan menghargai kepahlawanan, sebagai contoh bahwa bangsa Arab Quraisy suka membela orang-orang yang tidak berdaya dari golongan mereka sendiri serta bermusyawarah dalam persoalan keluarga.[22]
Dari karakter-karakter di ataslah yang nantinya membentuk peradaban masyarakat Islam. Nilai-nilai peradaban Islam berkembang tanpa meninggalkan karakteristik positif yang dimiliki bangsa Arab sebelum Islam datang. Islam mengapresiasi peradaban Arab yang sudah ada dengan tidak meninggalkan peradaban itu dalam peradaban Islam.
G          Peran Suku Quraisy dalam Pembentukan Sejarah Peradaban Islam
Peradaban Islam tidak dapat dilepaskan dari peranan suku Quraisy. Hal tersebut dikarenakan Nabi sendiri sebagai peletak dasar-dasar peradaban Islam juga berasal dari suku Quraisy. Namun karena beliau keturunan Bani Hasyim, suku yang kurang berpengaruh di Mekah sehingga banyak hambatan-hambatan yang beliau terima selama mengembangkan Islam di Mekah.
Ada beberapa faktor mengapa kaum kafir Quraisy menentang dakwah Nabi, antara lain:
1           Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan.
2           Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy.
3           Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
4           Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
5           Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[23]
Banyak cara dan upaya yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad saw, namun selalu gagal, baik secara diplomatik dan bujuk rayu maupun tindakan-tindakan kekerasan secara fisik. Puncak dari segala cara itu adalah dengan diberlakukannya pemboikotan terhadap Bani Hasyim yang merupakan tempat Nabi Muhammad saw berlindung. Pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun, dan merupakan tindakan yang paling melemahkan umat Islam pada saat itu. Pemboikotan ini baru berhenti setelah kaum Quraisy menyadari bahwa apa yang mereka lakukan merupakan tindakan yang sangat keterlaluan. [24]
Kekejaman dengan penganiayaan dan penyiksaan berat yang dilancarkan kaum Quraisy terhadap pengikut Nabi tidak mampu merenggut keimanan mereka. Namun ketika dilihatnya kaum Quraisy semakin meningkatkan tekanan pada pengikut Nabi, akhirnya Nabi memutuskan untuk mengungsikan mereka berhijrah ke Habsy, karena Negus, raja Habsyi adalah seorang yang adil dan bijaksana, sedang Quraisy tidak mempunyai pengaruh besar di sana.[25]
Kegagalan kaum Quraisy yang kesekian kali itu, menambah geram dan kebencian terhadap kaum muslim, sebaliknya bagi kaum muslim telah mempertebal keimanan mereka akan kebenaran agama Islam. Hal inilah yang menjadi salah satu daya tarik, sehingga sebagian kaum Quraisy yang dulunya sangat memusuhi Islam, satu per satu mereka mengakui ajaran Nabi. Seperti Hamzah Ibn Abd Muthalib bergabung pada tahun 615 M, kemudian Umar Ibn Khattab. Dengan masuknya kedua orang tokoh besar ini semakin memperkuat barisan Islam, bahkan menambah keberanian mereka menyatakan sikapnya di depan umum.[26]
Pada tahun kesepuluh kenabian, Allah mengisra’ dan memikrajkan Nabi untuk menghibur beliau yang ditimpa duka baik karena penyiksaan kaum Quraisy maupun karena ditinggalkan kedua orang yang dicintai dan menjadi pelindungnya, yaitu Khadijah istrinya dan Abu Thalib pamannya. Berita tentang isra’ mi’raj ini menggemparkan masyarakat Mekah. Bagi orang kafir, ia dijadikan bahan propaganda untuk mendustakan Nabi. Sedangkan, bagi orang yang beriman, ia merupakan ujian keimanan.
Setelah peristiwa Isra’Mi’raj, suatu perkembangan kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang berhaji ke Mekah. Mereka yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang. Pertama pada tahun kesepuluh kenabian, beberapa orang dari suku Khazraj baiat kepada Nabi. Kedua, pada tahun keduabelas kenabian, terdiri dari sepuluh orang suku Kharaj dan dua orang suku ‘Aus serta seorang wanita menemui Nabi di Aqabah. Pada musim haji berikutnya yang datang dari Yatsrib berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yatsrib, mereka meminta pada nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela nabi dari segala ancaraman. Nabi pun menerima usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini disebut perjanjian ‘Aqabah kedua’.[27]
Setelah kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara nabi dan orang-orang Yatsrib itu, mereka kian gila melancarkan intimidasi terhadap kaum Muslimin. Hal ini membuat Nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib.
Meskipun demikian ada alasan lain yang menyebabkan mereka hijrah. Saah satunya adalah alasan berdanga, di mana umumnya orang Mekah berdagang karena sebagian mereka yang berada di Absinia menjalani hidup dengan berdagang. Itulah yang menjadi alasan lain yang digunakan Nabi Muhammad untuk mengajak mereka behijrah.[28]
Selanjutnya, peran Quraisy lebih banyak terhadap terjadinya peperangan antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy. Di antara peperangan yang terkenal antara lain Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Mu’tah, Fathu Mekah, Perang Hunain, Perang Tha’if, Perang Tabuk, dan perang Widan.
Kaum muslimin diperbolehkan untuk berperang melawan kaum kafir Quraisy dengan dua alasan. Pertama, untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya. Kedua, untuk menjaga keselamatan dalam menyebarkan kepercayaan dan mempertahankannya dari mereka yang menghalang-halanginya.[29]







BAB III
KESIMPULAN

Islam, Arab dan Quraisy masing-masing memiliki peranan yang tidak dapat dipisahkan dalam pembentukan sejarah peradaban Islam. Ketiganya merupakan kesatuan yang membentuk sejarah peradaban Islam.
Islam memberikan dasar-dasar terbentuknya tatanan kemasyarakatan yang merupakan salah satu pilar terbentuknya peradaban. Islam juga memberikan petunjuk dalam bermasyarakat dan bernegara. Islam juga mengubah cara pandang masyarakat Arab terhadap Tuhan yang awalnya menyembah berhala sebagai perwujudan Tuhan yang akhirnya dikenalkan dengan ajaran tauhid.
Arab dengan karakteristik wilayah dan masyarakatnya memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pembentukan sejarah peradaban Islam. Meskipun awalnya dikenal sebagai bangsa jahiliyah namun akhirnya mampu memberikan konstribusi yang luar biasa atas berkembangnya peradaban Islam.
Quraiys meskipun suku yang terkenal sangat memusuhi Islam pada awal perkembangannya namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tokoh-tokoh Quraiys yang berperan dalam mengembangkan Islam. Tidak semua suku Quraisy memusuhi Islam. Bani Hasyim merupakan salah satu klan Quraisy yang memberikan perlindungan atas dakwah Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw.







DAFTAR PUSTAKA

Al-Sharqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam. (Bandung: Penerbit Pustaka, 1986).
Ali Engineer Asghar, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Terjemahan Imam Baehaqi dari The Origin and Development of Islam. (Yogyakarta: Insist bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 1999).
Depag, Al-Qur’an dan Terjemah. (Surabaya: Mahkota Surabaya, 1989).
Hamka, Sejarah Umat Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981)
Hashem Fuad, Sirah Muhammad Rasulullah-Kurun Mekah. (Jakarta: Tama Publisher, 2005).
Montgomery Watt, William, Butir-butir Hikmah Sejarah Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2002)
Mufrodi Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. (Jakarta: Logos, 1997).
Munir Amin Samsul, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2010).
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah Peradaban Islam. (Surabaya: Pustaka Islamika, 2003).
Thohir Ajid, Kehidupan Umat Islam pada Masa Rasulullah SAW. (Bandung: Pustaka Setia, 2004).
Wikipedia, Suku Quraisy, online, http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Quraisy, diakses 18 Oktober 2011.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
Yatim Badri, Historiografi Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).